Showing posts with label Jakarta. Show all posts
Showing posts with label Jakarta. Show all posts

Monday, September 9, 2019

Memindahkan Ibu Kota


Setelah Presiden Joko Widodo mengusulkan secara terbuka pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, langkah berikutnya harus segera disiapkan.

Wacana memindahkan ibu kota negara bergulir sejak masa Presiden Soekarno, yang pada 1957 memilih Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebagai ibu kota. Presiden Soeharto memilih Jonggol, Jawa Barat, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mewacanakan pemindahan ibu kota.

Permukiman kumuh dibalik gedung-gedung tinggi di Jakarta.

Jakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis serta jasa keuangan dan perdagangan. Peran berganda itu dimungkinkan karena infrastruktur pendukung sangat baik. Harian Kompas menuliskan laporan khusus bagaimana kota-kota baru tumbuh di sekitar Ibu Kota sehingga Jakarta tumbuh menjadi kawasan sangat besar. Dampaknya sangat terasa bagi warga Jakarta. Macet menjadi bagian keseharian.

Daya dukung kota merosot dalam penyediaan air bersih dan perumahan layak bagi setiap warga. Saat musim kemarau kering seperti sekarang, kualitas udara memburuk, salah satunya karena arus lalu lintas kendaraan penduduk kota-kota sekitar menuju ke Ibu Kota. Ketika tiba musim hujan, banjir menjadi ancaman sebagian warga meskipun upaya memperbaiki aliran sungai terus dilakukan.

Landmark ibu kota baru pengganti Monas?

Presiden Joko Widodo, Senin (26/8/2019), di Istana Negara, Jakarta, memilih sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kaltim, sebagai lokasi baru ibu kota. Selanjutnya adalah proses politik, sebab harus mendapat persetujuan DPR. Setidaknya ada lima undang-undang (UU) yang perlu direvisi, dua UU dapat direvisi atau dapat dibuat baru, dan dua UU harus dibuat baru.

Reaksi terhadap usul Presiden beragam. Selain mendukung karena setuju alasan pemindahan, yaitu daya dukung Jakarta dan pemerataan pembangunan, tidak kurang pula yang mengingatkan pentingnya kajian menyeluruh dan mendalam terhadap aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lingkungan.

Apakah pemindahan ibu kota negara akan mengurangi ketimpangan Jawa-luar Jawa, memeratakan pembangunan, mengurangi beban Jakarta, dan menumbuhkan pusat ekonomi baru di luar Jawa? Kekhawatiran juga muncul mengenai kelestarian hutan Kalimantan, salah satu paru-paru dunia yang juga penting bagi Indonesia.


Sejumlah yang lain menginginkan transparansi rencana induk pembangunan, termasuk tata ruang dan tata wilayah serta desain kota agar tidak mengulangi pengalaman Jakarta menjadi kota yang tumbuh tidak beraturan.

Pertanyaan lain, sudahkah disiapkan rekayasa sosial bagi masyarakat setempat untuk menerima perubahan besar yang akan terjadi? Juga bagi aparat sipil dan keluarganya yang harus berpindah kerja. Belum lagi biaya yang ditaksir hingga Rp 466 triliun dan harus disiapkan saat ekonomi sedang dalam tantangan besar.

Dengan begitu banyak pertanyaan dari masyarakat, proses diskusi —bukan sekadar diseminasi rencana— perlu dilakukan agar semua pihak mendukung rencana tersebut. Prinsipnya, lebih baik mengutamakan kehati-hatian meskipun mungkin memerlukan waktu yang lebih panjang.

Tajuk Rencana Kompas
KOMPAS, 28 Agustus 2019

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak.

Tanggapan Greenpeace Indonesia
Terhadap Rencana Pemindahan Ibukota Indonesia ke Kalimantan Timur

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur, di daerah yang akan mencakup sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Greenpeace Indonesia sebagai organisasi lingkungan memiliki beberapa kekhawatiran terkait keputusan ini, karena akan membutuhkan konversi hutan dan lahan untuk pembangunan kota, yang tentunya akan berdampak pada lingkungan.

Dalam tanggapannya Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak mengatakan:

“Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur jika tanpa menjadikan perlindungan lingkungan sebagai pertimbangan utama, dikhawatirkan hanya akan menciptakan berbagai masalah-masalah lingkungan di ibu kota baru nanti, seperti yang terjadi di Jakarta saat ini.

Kita bisa lihat fakta bahwa polusi udara di Jakarta selain berasal dari sektor transportasi, juga bersumber dari banyaknya PLTU batu bara yang ada di sekeliling Jakarta. Jika nanti sumber energi ibu kota baru masih mengandalkan batu bara seperti saat ini di Jakarta, maka jangan harap ibu kota baru akan bebas dari polusi udara.

Apalagi jika pemerintah tetap membangun PLTU-PLTU batu bara mulut tambang, seperti yang direncanakan saat ini di beberapa lokasi di Kalimantan Timur. Rencana pembangunan PLTU-PLTU batu bara mulut tambang ini harus dihentikan, karena bertentangan dengan konsep smart, green city untuk ibu kota baru tersebut, di mana sumber energi kota seharusnya dari energi terbarukan.

Keberadaan tambang-tambang batu bara tersebut tidak hanya akan menghasilkan polusi udara, tapi juga berbagai bencana lingkungan lain seperti banjir dan kekeringan, seperti yang sudah terjadi di Samarinda, salah satu kota terdekat dengan wilayah ibu kota baru ini.”


“Ancaman krisis iklim yang berkombinasi dengan salah urus lingkungan Jakarta, juga jangan hanya menjadi alasan pemindahan ibu kota. Namun harus menjadi catatan kritis dan pertimbangan utama bagi strategi pembangunan Indonesia ke depan.

Saat ini laju penurunan permukaan tanah di Jakarta antara 1-15 cm per tahun, yang berkombinasi dengan kenaikan tinggi muka air laut yang sudah mencapai 8,5 cm, akan menyebabkan sebagian besar Jakarta Utara tenggelam pada tahun 2050. Pemindahan ibu kota ini hanya akan memindahkan atau bahkan menciptakan masalah-masalah lingkungan baru, bila tidak mempertimbangkan krisis iklim yang sudah berlangsung sekarang.

Diperlukan komitmen yang sangat kuat dari pemerintah untuk menjamin tidak ada konversi lahan berlebihan dan deforestasi tambahan, juga penerapan konsep compact city yang bertumpu pada transportasi publik massal berbasis listrik, pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber energi utama, dan pengelolaan sampah menuju zero waste city. Hanya dengan hal-hal tersebut ibu kota baru ini tidak memperburuk krisis lingkungan dan krisis iklim yang sudah terjadi sekarang,” tambah Leonard.


Data Greenpeace menunjukkan bahwa lokasi ibu kota baru ini pun tidak bebas dari kebakaran hutan dan kabut asap. Selama krisis kebakaran hutan tahun 2015 ada sebanyak 3.487 titik api di Kabupaten Kutai Kartanegara. Tahun ini sudah ada 105 titik api, dengan musim kebakaran hutan yang belum menunjukkan tanda berhenti.

Analisis Greenpeace menunjukkan total area ‘burnscar’ yang terkena dampak kebakaran hutan seluas 35.785 hektar antara 2015-2018. Pengembangan ibu kota baru harus dipastikan tidak menggunakan kawasan lindung atau cagar alam, karena pasti akan menyebabkan deforestasi tambahan dan ancaman terhadap hewan langka Kalimantan seperti Orangutan.

“Masalah lingkungan sekali lagi harus digarisbawahi sebagai pertimbangan mendasar dalam proses relokasi ibu kota. Sangat disayangkan bahwa proses ini dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak melalui proses konsultasi publik yang memadai. Dalam negara demokrasi, diskusi terbuka untuk mendengarkan aspirasi publik, termasuk dengan masyarakat adat setempat, harus menjadi bagian integral dalam pengambilan keputusan publik sepenting ini. Ini harus menjadi catatan penting bagi Presiden Jokowi,” tutup Leonard.

Greenpeace Indonesia
27 Agustus 2019

Wednesday, January 9, 2019

Proaktif Bencana dari Jurnal Ilmiah


Kita bangga bahwa kajian peneliti Indonesia tentang sesar aktif Jawa diterbitkan di jurnal internasional. Kita apresiasi kegigihan ilmuwan Indonesia tersebut.

Karya Endra Gunawan dan Sri Widiyantoro diterbitkan di Journal of Geodynamics. Karya Mudrik R Daryono, Danny H Natawidjaja, Benyamin Sapiie, dan Phil Cummins terbit di Journal Technophysics edisi Januari 2019.

Bentang patahan atau sesar Lembang yang membentuk garis tengah yang membatasi antara kawasan perkotaan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Bandung, Jawa Barat.
(Foto: KOMPAS).

Patahan ini memiliki dampak yang berbahaya jika terjadi gerakan atau pergeseran tanah pada patahan tersebut.

Bidang keilmuan yang mereka geluti, pada masa lalu, acap dipandang sebelah mata. Namun, kini, seiring meningkatnya literasi masyarakat akan ancaman bencana alam, khususnya gempa dan tsunami, pengetahuan itu menjadi ilmu yang vital. Di Pulau Jawa terdapat jalur patahan aktif yang berpotensi menimbulkan gempa skala besar. Perlu kita garis bawahi, sesar aktif itu ada di dua kawasan padat penduduk, yakni di selatan Jakarta dan utara Bandung.

Seperti dilaporkan harian ini, Senin (7/1/2019), kajian di atas harus mendapat perhatian serius untuk mitigasi bencana ke depan. Inilah yang kita mintakan perhatian kepada otoritas di wilayah yang di dalamnya ada sesar aktif.


Kajian tentang patahan kerak bumi itu tak disertai pernyataan kapan patahan itu akan bergerak dan menimbulkan bencana. Hingga saat ini, sains belum bisa meramalkan kapan gempa akan terjadi. Namun, informasi tentang aktifnya sesar, seperti diperlihatkan gerakan peregangan dan tekanan dilatasi (pengembangan), cukup untuk menjadi alasan bersiap diri.

Kita dituntut bersikap arif antisipatif. Informasi itu patut menjadi sinyal yang harus diperhatikan. Kita mempercayai, dalam urusan menghadapi bencana alam, semakin dini semakin baik, semakin menyeluruh semakin baik.

Sinyal geologi itu mendapat penguatan urgensi mengingat sesar tersebut melalui daerah padat penduduk. Kota seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya menjadi daerah yang masuk dalam peta ancaman. Tanpa bermaksud menakut-nakuti atau membuat hidup menjadi tidak nyaman, persiapan harus dilakukan justru ketika masih ada waktu. Peribahasa mengatakan, sedia payung sebelum hujan, jangan sampai sesal di kemudian hari tiada berguna.


Untuk bersikap antisipatif memitigasi bencana, dibutuhkan penataan ulang, dengan biaya yang tidak kecil. Dalam skala riil, bisa jadi dalam konteks penataan ulang tata ruang, sebagian kota harus dipindahkan. Kekuatan banyak konstruksi dicek ulang. Namun, kita berpandangan, langkah dan upaya ini akan bisa mengurangi kerugian material dan korban jiwa.

Di sinilah dilema muncul. Ancaman gempa termasuk subtil, tak kasatmata, bahkan berbeda dibandingkan dengan letusan gunung api yang jelas tanda dan gejalanya. Apa yang disampaikan oleh ilmuwan dalam jurnal ilmiah itu harus kita terima sebagai informasi yang cukup untuk mengambil langkah mitigatif.

Otoritas di Jawa mungkin akan sulit diyakinkan, dibandingkan otoritas di Sumatera. Gempa di Jawa jarang. Namun, seperti kita baca dalam berita kemarin, jarangnya gempa di Jawa, termasuk di Jakarta, sebenarnya adalah waktu pengumpulan energi. Kian lama tidak gempa, potensi gempa (kuat) justru kian besar. Ahli kita belajar dan mendapat pencerahan dari alam agar kita bisa mendapat pelajaran dan kearifan.

Tajuk Rencana
KOMPAS, 8 Januari 2019

Jakarta 'Terancam Gempa Lebih Dari 8 SR'

Jakarta berpotensi diguncang gempa besar dari megathrust, bahkan hingga lebih dari 8 Skala Richter. Para pakar menyebut potensi tersebut berasal dari zona kegempaan atau seismic gap yang ada di sekitar Jakarta.

Kekuatannya masih jadi perdebatan di antara para pakar. Diperkirakan antara 8,1 SR hingga 9 SR,” kata Kepala BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), Dwikorita Karnawati kepada BBC Indonesia, Jumat (02/03/2018).

Menurut Dwikorita, megathrust atau patahan lempeng naik menjadi ancaman besar bagi ibukota negara untuk dilanda gempa. “Belum ada kepastian kekuatannya,” kata dia.

Gempa terakhir yang menguncang Jakarta, yang terjadi pada Januari 2018 lalu sempat membikin panik warga karena guncangannya cukup keras. Gempa berkekuatan 6,1 SR tersebut berpusat di Samudera Hindia, sekitar 61 kilometer dari Lebak, Banten.


Menurut Dwikorita, sumber gempa besar yang mengancam Jakarta berasal dari patahan lempeng yang ada di Selat Sunda. Yakni antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia.

Posisinya tepat di bawah pulau Jawa dan Sumatera. Sekitar 300 kilometer dari Jakarta,” kata Dwikorita yang juga mantan rektor UGM ini.

Perhitungan besarnya gempa hingga lebih dari 8 SR, lanjut dia, berdasarkan hitungan geometri patahan yang akan terjadi. “Itu perkiraan atau estimasi,” ujarnya.

Dwikorita menambahkan secara umum, seluruh wilayah Indonesia berada di atas lempeng tektonik yang punya potensi menghasilkan gempa. “Gempa akan terus terjadi. Semua sudah sadar kondisi ini,” kata dia.

Soal waktu kejadian, lanjut Dwikorita, memang tidak bisa diprediksi oleh para pakar. Karena tidak ada yang bisa memastikan kapan gempa terjadi atau kapan lempeng bergeser.


Pakar gempa Jaya Murjaya menjelaskan gempa berasal dari zona kegempaan kosong atau seismic gap. Pulau Jawa, lanjut Jaya, sudah beberapa kali dilanda gempa berkekuatan lebih dari 7 SR.

Menurut Jaya, semua wilayah tersebut masih berpotensi akan terjadinya gempa yang besar.

Jika disimulasikan untuk wilayah Jakarta, dengan kekuatan 8,7 SR, maka akan berdampak pada guncangan dengan skala intensitas VI sampai VII MMI,” kata Jaya.

Data dari Pusat Studi Gempa Nasional menyebutkan jumlah sesar aktif di Indonesia juga bertambah, yakni dari 81 sesar pada tahun 2010 menjadi 295 sesar aktif pada tahun 2017.


Antisipasi terhadap gempa besar
Karena gempa adalah sesuatu yang tak bisa ditolak atau dicegah, maka yang perlu dipersiapkan adalah antisipasi jika gempa terjadi. Hal pertama adalah soal struktur bangunan.

Menurut Dwikorita, perlu pemeriksaan apakah semua gedung di Jakarta sudah memenuhi standar antigempa. Mulai dari building code, standar ketahanan gempa, hingga SNI (Standar Nasional Indonesia).

Yang berikutnya adalah soal edukasi masyarakat bagaimana menghadapi gempa, apa yang harus dilakukan ketika gempa terjadi, dan sebagainya.

Tujuannya adalah meminimalisir korban jiwa. Karena biasanya banyak korban jatuh disebabkan keruntuhan bangunan,” kata dia.


Untuk edukasi masyarakat menghadapi gempa, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyatakan berencana membangun taman hiburan dan edukasi terkait gempa dan juga meningkatkan kesiapsiagaan warga.

Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Jakarta Edy Junaidi memastikan setiap gedung bertingkat di Jakarta sudah memenuhi syarat SNI tahan gempa sebagai syarat perizinan. “Hingga kekuatan 8 SR,” kata Edy.

Menurut Edy, syarat gedung bertingkat tahan gempa itu sudah lama diterapkan di Jakarta. Sehingga, kata dia, soal ketahanan gedung bertingkat terhadap gempa seharusnya sudah bukan menjadi isu.

Para konsultan tidak mungkin membangun gedung tanpa standar antigempa. Mulai dari bahan bangunan, struktur, dan sebagainya,” kata Edy.


Sayangnya, syarat tahan gempa itu hanya berlaku bagi bangunan tinggi namun tidak untuk rumah pribadi atau pemukiman. Namun Edy mengaku tidak khawatir soal rumah di Jakarta.

Saya tanya, kapan pernah terjadi gempa sampai rumah rubuh di Jakarta?” kata dia. “Untuk rumah-rumah saya belum terlalu khawatir.

Menerapkan syarat tahan gempa untuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah pribadi, kata Edy, adalah sesuatu yang sulit dilakukan. “Rumah saya saja tidak standar gempa. Apa harus saya bongkar?” pungkasnya.

Tito Sianipar
BBC Indonesia
2 Maret 2018
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43254735