Showing posts with label Presiden Jokowi. Show all posts
Showing posts with label Presiden Jokowi. Show all posts

Monday, October 25, 2021

Memprediksi Akhir Pemerintahan Jokowi


Tanggal 20 Oktober 2019 yang lalu adalah momentum bersejarah bagi Presiden Jokowi yang pernah menjabat sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Di tanggal itulah ia dilantik menjadi Presiden Indonesia untuk ke dua kalinya.

Tepat di hari 2 tahun kepemimpinannya Presiden Jokowi merayakannya dengan meresmikan Jembatan Sungai Alalak di Banjarmasin dan meresmikan pabrik biodiesel milik H. Andi Syamsudin Arsyad (Haji Isam) seorang pengusaha batubara ternama. Pada saat yang sama mahasiswa berdemo di istana untuk mengkritisi kepemimpinannya.

Selama dua tahun memimpin bangsa Indonesia di periode keduanya, banyak kemajuan telah dicapai namun banyak pula catatan merah yang mewarnai perjalanan pemerintahannya. Berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam membangun bangsa tentu patut diapresiasi sebagai wujud keseriusannya bekerja memajukan bangsa Indonesia.

Rizal Ramli

Namun catatan merahnya perlu juga mendapatkan perhatian sebagai wujud kepedulian kita bersama dalam meluruskan arah perjalanan bangsa menuju negara yang adil makmur sejahtera sebagaimana amanat pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

Diantara catatan merah itu adalah adanya fakta dimana negara tidak mampu mengendalikan kaum oligarki yang sudah menguasai hampir seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menjadi batu sandungan yang serius bagi upaya mencapai tujuan negara. Bahkan menurut penilaian ekonom senior Rizal Ramli, presiden yang sedang berkuasa sekarang bekerja untuk kepentingan mereka. Karena kaum oligarki telah dapat mengatur kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menguntungkannya.

Benarkah di dua tahun masa pemerintahannya ini pemerintahan Jokowi semakin mesra berpelukan dengan kelompok oligarki dalam menjalankan sistem pemerintahannya? Model oligarki macam apa yang saat ini sedang dipraktekkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa?

Sebagai konsekuensi pemerintahan yang sudah terkulai dipelukan oligarki, mungkinkah pemerintahan yang berkuasa saat ini bisa bertahan sampai akhir masa jabatannya? Seperti apakah wajah kepemimpinan Indonesia pasca presiden Jokowi mengakhiri masa jabatannya?


Pelukan Oligarki
Oligarki seringkali didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dikendalikan oleh sekelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, militer atau keluarga. Bangunan oligarki ini disinyalir sudah begitu merajalela sehingga berhasil menyusup ke segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara termasuk di era pemerintah yang sekarang berkuasa.

Ekonom senior Rizal Ramli seperti dikutip oleh law-justice, 20/10/21 mengatakan, pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini bekerja untuk oligarki sehingga orang-orang kaya (para pengusaha -red) dapat mengatur kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan mereka.

Hal itu menurutnya berkaca dari kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada kepentingan rakyat Indonesia. Kebijakan itu dicontohkannya seperti dinaikkannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menguntungkan orang-orang kaya. Karena kenaikan pajak itu di satu sisi semakin menyengsarakan rakyat kecil tapi pada sisi yang lain menguntungkan kelompok oligarki dan pihak-pihak asing yang dipotong pajaknya. “Rezim ini bekerja untuk oligarki, untuk orang yang kaya, super kaya, mereka kaya berkali-kali lipat, karena mereka berhasil membeli, dan mengatur kebijakan negara,” begitu katanya.

Pernyataan dari ekonom senior Rizal Ramli tersebut kiranya tidak mengada-ada jika kita cermati secara seksama dengan keluarnya beberapa kebijakan yang bernuansa kontroversial selama pandemi virus corona.


Selain kebijakan soal pajak, kelompok oligarki ini sangat diuntungkan oleh adanya kebijakan lainnya seperti perpanjangan konsesi batu bara lewat Undang-Undang mineral dan barubara (Minerba). Lewat Undang-Undang itu selain konsesinya diperpanjang, kaum oligarki juga meminta supaya royalty batubara dikurangi sehingga lebih banyak untung yang didapatnya. Negara menjadi rugi tidak mengapa yang penting oligarki diuntungkannya. Penerbitan UU Minerba seakan menjadi bukti hasil kongkalikong antara taipan tambang dengan pembentuk undang-undang untuk menggolkan aturan ini dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Upaya sistematis untuk membuat oligarki di Indonesia terlihat semakin berjaya telah dilakukan sejak munculnya upaya pelemahan KPK. Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo seperti dikutip law-justice 04/06/21, menyebut ada beberapa alasan mengapa akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dimatikan eksistensinya. Karena KPK dinilai sudah masuk terlalu jauh ke dimensi korupsi politik yang bisa merugikan oligarki penguasa. Itulah kiranya yang menjadi landasan bagi oligarki untuk mematikan KPK.

Upaya sistematis tersebut semakin menampakkan jati dirinya setelah disahkannya Undang-Undang Omnibus law Cipta kerja. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana, omnibus law hanya untuk kepentingan oligarki atau kepentingan pemerintah yang dijalankan oleh beberapa orang elite saja. Sebab, kata dia, aturan itu lebih banyak memihak pada investor. “Konsep hukum yang menggabungkan jadi satu. Hapus revisi pasal yang dinilai menghambat investasi. Tegas dan jelas ini untuk kepentingan oligarki,” kata Arif di Kantor LBH Jakarta, Minggu (19/1/2020) seperti dikutip kontan.co.id.


Praktek-praktek oligarki yang berkembang saat ini sebenarnya sudah tumbuh sejak lama. Awalnya dengan tumbangnya pemerintahan Orba, menyusul dicanangkannya pemilu secara langsung diharapkan akan mengikis keberadaan oligarki yang sudah mengakar saat Presiden Soeharto berkuasa. Namun ternyata konsolidasi demokrasi yang diharapkan bakal terjadi di saat pemerintahan reformasi berkuasa telah gagal mencapai tujuannya.

Gagalnya konsolidasi demokrasi pasca runtuhnya rejim otoritarianisme Soeharto membawa implikasi negatif bagi iklim demokrasi di Indonesia. Kebanyakan masyarakat terjebak pada euforia reformasi yang membuat mereka lupa bahwa runtuhnya Orba tidak disertai melenyapnya kekuatan oligarki yang sudah bercokol 32 tahun lamanya.

Justru, kekuatan oligarki yang semula bersenggama dengan rezim Soeharto mampu kembali mengonsolidasi diri (beradaptasi) dengan rezim reformasi yang jauh lebih menguntungkannya. Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa Indonesia pasca tumbangnya Orba kembali dikuasai oleh para oligark yang telah berkuasa sebelumnya.

Saat ini kalau kita amati kebanyakan penguasa yang kini menempati posisi strategis di berbagai institusi publik hingga partai politik, rata-rata adalah petarung lama. Para pimpinan (elite) partai, penguasa media mainstream, para pejabat pemerintahan yang berada di jajaran kabinet Jokowi, sampai pada seluruh jabatan strategis lainnya di dalam birokrasi pemerintahan saat ini hanyalah sirkulasi elit-elit lama.


Para oligark di atas, adalah termasuk orang-orang yang pernah diistimewakan di rezim kepemimpinan saat Soeharto berkuasa. Orang-orang lama yang penuh muslihat dan tipu daya semasa Orba, belakangan banyak yang tampil di garda depan sebagai tokoh pejuang demokrasi dengan kedok populisnya. Inilah wajah anomali demokrasi pasca tumbangnya pemerintahan Orba. Kebanyakan orang tertipu dengan politik pencitraan yang terus dipolesi oleh media, dimana medianya sendiri notabene adalah milik mereka.

Menurut Jeffrey A. Winters, Direktur Buffet Institute of Global Affairs, Jokowi adalah produk oligarki di masanya. “Kemenangan luar biasa populer Jokowi atas gubernur petahana terjadi berkat dukungan dari kalangan mahasiswa hingga asosiasi ibu rumah tangga yang mendoronganya menuju kemenangannya.

Namun, bagian penting kisah demokratis ini dimungkinkan oleh gerakan oligarki di mana kekuasaan kaum berduit menempatkan Jokowi di hadapan para pemilihnya. Meski dia mendapat dukungan akar rumput, dia bertarung dalam pemilihan gubernur bukan karena inisiatif atau gerakan politik akar rumput,” begitu katanya seperti dikutip Tirto, 9/12/21.

Dalam hal ini Jokowi berhasil menang karena partai politik dan kaum elite memutuskan untuk mengusungnya. Karena itulah hingga dia menjadi presiden dua periode seperti sekarang, dia tidak bisa melawan kepentingan elite dan partai politik yang telah mengusungnya. Dilihat dari latar belakangnya sangat wajar kalau pemerintah saat ini dinilai telah berpelukan begitu mesra dengan oligarki karena ia menjadi produknya.


Model Oligarki
Menurut Jeffrey A. Winters ada empat jenis oligarki, yaitu; oligarki penguasa kolektif, oligarki sultanistik, oligarki sipil dan oligarki panglima. Indonesia sendiri cenderung memiliki oligarki penguasa kolektif karena ada relasi kuasa yang kuat antara kuasa negara (eksekutif), legislatif, yudikatif, secara politik dan secara bersama-sama. Para elitnya diisi oleh mayoritas politisi yang berasal dari para pebisnis atau pengusaha.

Selain model oligarki penguasa kolektif, oligarki yang dipraktekkan di sini cenderung bersifat klasik/tradisional yang mengandalkan sumberdaya alam (SDA) sebagai lahan “jarahannya”. Mereka memiliki gurita kekayaan di banyak bidang seperti tambang, sawit, rokok dan lintas sektornya termasuk di bidang media. Kekayaan segelintir orang ini ada di tengah ketimpangan ekonomi rakyat pada umumnya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar, dalam diskusi daring bertajuk ‘SDA Hancur, Korupsi Subur’ pada Selasa (14/7/21), pernah menyampaikan beberapa hal mengenai isu korupsi Sumber Daya Alam (SDA). Ia mengatakan, data KPK menunjukkan ada ketimpangan parah dalam penguasaan SDA di Indonesia.

Dalam hal penguasaan kebun sawit, misalnya, 10 perusahaan menguasai lebih dari 2,5 juta hektar luasnya. Sedangkan, 2,1 juta pekebun sawit memiliki 4,7 juga hektar sisanya. Ketimpangan juga terlihat dalam penguasaan hutan, dimana lebih dari 40 juta hektar hutan dimiliki perusahaan, sementara itu “hanya” 1,7 juta hektar yang dimiliki masyarakat biasa.


Sektor SDA ini merupakan hal penting yang menjadi sumber pendapatan kelompok oligarki dalam menjalankan bisnisnya. Ini berkaitan dengan isu agraria, lingkungan hidup, penataan ruang, kehutanan, pertanian dan perkebunan, pertambangan dan energi, serta kelautan dan perikanan termasuk di dalamnya.

Lili menjelaskan, sektor SDA adalah pendukung ekonomi Indonesia. Sektor SDA memberikan kontribusi sekitar 10,89 persen (Rp 1.408 triliun) dari total Product Domestic Bruto Indonesia 2017 (Rp 13,589 triliun). Selain itu, sektor ini menyerap tenaga kerja lebih dari 37 juta orang dan juga menyumbangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak senilai Rp 99,91 triliun nilainya.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah menyebut oligarki seperti ini hanya menguntungkan kelompok di lingkaran penguasa saja. Para regulator di sekitar kekuasaan adalah pelaku usaha yang, tentu saja, membuat peraturan hanya untuk menguntungkan kelompok elitenya, bukan demi masyarakat kecil dan menengah seperti yang selama ini dicitrakannya.

Luhut B Panjaitan, Presiden Jokowi, Airlangga Hartarto.

Jatam mencatat, baik orang dekat Jokowi maupun pimpinan DPR, punya usaha yang berhubungan dengan tambang, khususnya batubara. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terkait dengan PT Bara Hanyu Kapuas dan PT Multi Harapan Utama. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan terkait dengan PT Toba Sejahtera.

Ketua DPR Puan Maharani punya suami yang aktif di Odira Energy Karang Agung dan PT Rukun Raharja. Sementara Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menjadi Komisaris di PT Sinar Kumala Naga.

Merah menganggap aturan yang belakangan ditetapkan, seperti omnibus law dan UU Minerba, juga hanya menguntungkan Jokowi beserta kelompoknya. “Benturan kepentingan ini yang ditunjukkan oleh relasi bisnis atau temali bisnis antara keluarga Jokowi atau keluarga Luhut. Relasi bisnis ini berkelindan dengan relasi politik,” ucap Merah kepada Tirto, Rabu (9/12/2020).


Model oligarki-oligarki penguasa kolektif yang bersifat klasik ini ujung-ujungnya memang merugikan kepentingan nasional, rakyat dan negara. Sebab sektor SDA adalah sektor yang rawan dikorupsi dan memberikan dampak besar pada kerugian negara. Data ICW tahun 2019 menunjukkan, dari empat kasus korupsi pertambangan sepanjang tahun itu, negara mengalami kerugian mencapai Rp 5,9 triliun. Sementara, sampai Mei 2020, KPK tengah menangani 27 kasus korupsi di sektor SDA.

Model oligarki-oligarki penguasa kolektif yang bersifat klasik ini sangat berbeda dengan model-model oligarki penguasa kolektif yang bersifat modern seperti yang terjadi di negara-negara maju yang lebih menjual branding produk yang mendunia. Mereka berkolaborasi untuk menghasilkan produk-produk unggulan yang menjadi konsumsi masyarakat dunia sehingga tidak merugikan rakyatnya.

Dengan model penerapan oligarki penguasa kolektif klasik seperti yang terjadi di Indonesia, maka negara ini tetap akan menjadi pangsa pasar bagi negara maju sementara kekayaan alamnya dinikmati oleh investor mancanegara yang berkolaborasi dengan elit lokal sebagai mitranya. Dengan pola seperti ini maka sampai kapanpun upaya pencapaian tujuan negara hanya akan menjadi utopia belaka karena elite penguasa akan lebih sibuk memikirkan isi kantongnya ketimbang memikirkan nasib rakyatnya.


Bertahan atau Tumbang?
Dibawah pelukan oligarki, pemerintah yang berkuasa saat ini nampak sedang berselancar di tengah samudera kebijakan kontroversialnya. Dampaknya mulai terasa dimana kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah yang menguntungkan oligarki mulai mendapatkan perlawanan dari masyarakat sipil yang menentangnya.

Mandulnya kekuatan oposisi formal saat ini telah digantikan oleh elemen-elemen sipil termasuk mahasiswa yang sudah mulai angkat suara. Mereka mengekspresikan kekecewaannya dengan berunjuk rasa maupun melalui sosial media. Semuanya itu sebagai dampak kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat jelata.

Pada sisi lain adanya kelompok perlawanan dari masyarakat sipil tersebut telah mendapatkan perlawanan cukup sengit dari pendukung pemerintah yang sedang berkuasa, mulai dari para buzzer sampai dengan elemen masyarakat di Papua, NTT, Sulawesi Utara dan daerah-daerah lain yang fanatik pendukungnya.

Leonard C. Sebastian dan kawan-kawan dalam Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform menilai Jokowi sebagai presiden berlatar belakang sipil telah kelabakan menjaga kekuasannya. Pilihan dia akhirnya adalah menyandarkan diri kepada kelompok militer baik polisi maupun tentara.


Selain memperkuat konsolidasi kekuasaan, aliansi dengan militer mempermudah Jokowi mencapai ambisinya. Jokowi memastikan mendapat dukungan nasional dari seluruh daerah militer Indonesia yang bisa dijadikan perpanjangan tangan pemerintah memastikan jalannya kebijakan pusat di daerah-daerah terpencil,” tulis Sebastian dan kawan-kawan seperti dikutip Tirto, 11/12/20.

Upaya untuk mempertahankan kekuasaan bagi pemerintah yang sedang berkuasa memang bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pada era Soekarno, Soeharto maupun Gus Dur, mereka juga mempunyai cara untuk bertahan di kursinya di tengah kontroversi kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Mereka juga mempunyai pendukung-pendukung fanatik yang siap berkorban untuk membela pemimpin yang didukungnya.

Tetapi semuanya itu bisa menjadi tidak ada gunanya manakala arus besar muncul untuk perubahan bersama. Karena para pemimpin yang awalnya dianggap sangat kuat dan tak tergoyahkan ternyata bisa juga tumbang sebelum akhir masa jabatannya.

Kita berharap pemerintah yang berkuasa sekarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya tetap bisa bertahan sampai akhir periode jabatannya. Meskipun ia disebut-sebut sebagai penguasa produk oligarki dan bekerja untuk mereka.

Karena bisa jadi jika pemerintah tumbang sebelum berakhir masa jabatannya, keadaan tidak bakal lebih baik dari sebelumnya. Penggantinya bisa jadi lebih buruk karena kelompok oligarki sudah hampir pasti telah menyiapkan “putra mahkotanya”. Kolaborasi antara kartel politik di partai yang bergandengan tangan dengan oligarki pengusaha akan menghasilkan presiden boneka selanjutnya.


Rasanya bangsa ini masih akan panjang jalannya untuk lepas dari jerat oligarki yang sudah merangsek ke dalam sendi-sendi kehidupan bangsa. Harapan untuk adanya perubahan melalui momen pemilu rasanya juga masih menjadi kendala dengan getolnya kelompok oligarki untuk mempengaruhi prosesnya. Penetapan presidential threshold maupun parlemen threshold sepertinya juga diarahkan ke sana. Agar kelompok oligarki bisa membatasi peluang “orang baik” untuk maju menjadi pemimpin Indonesia kedepannya.

Kini diantara calon-calon pemimpin bangsa yang sudah mengemuka, kita berharap ada sosok yang benar-benar bisa mengemban amanah rakyat Indonesia. Sosok yang benar-benar berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara dan bukan bekerja untuk kepentingan oligarki sebagai penopangnya.

Sosok ini bisa jadi akan sulit ditemukan, bahkan mungkin tidak ada karena hampir semua elite calon pemimpin bangsa yang beredar saat ini tidak lepas dari pengaruh kelompok oligarki yang sudah demikian menggurita. Tetapi diantara pilihan-pilihan yang tidak ideal tersebut tentunya ada yang lebih mendingan.

Apakah Anda mempunyai pandangan siapa mereka?

Desmon J Mahesa,
Anggota DPR dari Partai Gerindra
Wakil Ketua Komisi III DPR RI

law-justice.co, 23 Oktober 2021

Sunday, October 13, 2019

Meragukan Komitmen Demokrasi Presiden Jokowi


Menjamin demokrasi dengan represi?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang lebih dari 30 tokoh kebangsaan ke Istana Merdeka, Kamis (26/9/2019) lalu. Di hadapan mereka, Presiden Jokowi menegaskan komitmennya dalam menjaga iklim demokrasi di Indonesia, termasuk menjamin kebebasan pers dan kebebasan menyampaikan pendapat.

Pilar demokrasi yang harus terus kita jaga dan kita pertahankan. Jangan sampai bapak ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini,” katanya.

Beberapa jam setelah ia menyampaikan sikapnya di hadapan para tokoh bangsa, dua orang aktivis dan jurnalis, Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu dijemput polisi. Dandhy dituduh melakukan pelanggaraan hukum berupa provokasi berbasis SARA dan diancam UU ITE. Sementara Ananda Badudu diduga mendanai aksi mahasiswa yang berujung ricuh.

Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu.

Sebelum Dandhy dan Ananda, mahasiswa di Kendari, ditembak mati. Sementara satu yang lain meninggal karena luka. Tindakan represif aparat dalam merespon demonstrasi sungguh bertolak belakang dengan komitmen yang baru disampaikan oleh Presiden. Ini membuat kami bingung. Siapa yang harus dipercaya? Presiden atau aparat negara?

Sebelumnya kami masih merawat harapan, bahwa Jokowi adalah presiden sipil yang punya komitmen pada demokrasi dan kepentingan publik. Kami masih ingat pesan Jokowi dalam acara Indonesian Young Changemaker Summit (IYCS) 2012 beberapa bulan sebelum dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pesan ini yang membuat kami merasa bangga, punya presiden yang tidak anti rkitik.

Saya kangen sebetulnya didemo. Karena apa? Apapun… apapun… pemerintah itu perlu dikontrol. Pemerintah itu perlu ada yang peringatin kalo keliru. Jadi kalau enggak ada demo itu keliru. Jadi sekarang saya sering ngomong di mana-mana ‘tolong saya didemo’. Pasti saya suruh masuk,” kata Jokowi dalam video itu.

"Saya kangen sebetulnya didemo ..... "

Tapi mengapa, setelah berkuasa, setelah terpilih dua periode, Presiden membiarkan Menristekdikti mengancam mahasiswa? Presiden Joko Widodo meminta Menristek untuk ajak mahasiswa tak lagi aksi di jalan. Mengapa perintah ini diterjemahkan sebagai perintah ancaman? Mengapa Menristekdikti menekan Rektor untuk memberikan sanksi pada dosen yang mendorong aksi mahasiswa? Pada siapa presiden berpihak sebenarnya?

Sikap karismatik, terbuka, dan tak anti kritik Jokowi saat itu sungguh memukau. Sebagai representasi sipil, Jokowi menjadi anti tesis Orde Baru yang selalu bilang kritik harus membangun, yang banyak membungkam aktivis dengan kekerasan dan juga teror. Sikap pro demokrasi ini berulang kali ditunjukkan oleh Jokowi, seperti saat Presiden Jokowi menghadiri peringatan hari Ibu ke-86 Desember 2014.

Saat itu Jokowi juga menyerahkan grasi simbolik kepada Eva Bande, aktivis agraria, asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Saat itu presiden berkata “Jangan sampai ada lagi aktvis perempuan yang memperjuangkan hak rakyat, justru malah akhirnya masuk ke tahanan,” Lalu kemana sikap presiden ini?


Kami juga dulu diyakinkan bahwa Presiden Joko Widodo menjamin prinsip kemerdekaan jurnalisme dan kebebasan berpendapat. Ia bahkan mendapatkan penghargaan Kemerdekaan Pers karena dianggap komitmennya pada kebebasan pers. Tapi saat penghargaan ini dijawab dengan kekerasan, intimidasi, dan penangkapan Jurnalis saat meliput demonstrasi di Jakarta. Apakah kami tidak boleh meragukan anda?

Kini posisi kami berganti, keraguan membuat kami harus bertanya, di mana keberpihakan Presiden Joko Widodo?

Dalam protes yang diajukan oleh Kelompok mahasiswa dan aliansi masyarakat sipil. Tuntutan mereka cukup jelas, mendesak pemerintah untuk memenuhi tujuh tuntutan. Isinya adalah penolakan terhadap RUU yang bermasalah, mendesak pengesahan RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Presiden membatalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR, penolakan TNI dan Polri menempati jabatan sipil, menghentikan aksi militerisme di Papua dan daerah lain, dan bebaskan tahanan politik Papua segera.

Di mana keberpihakan Presiden Jokowi?

Bukannya mendengar, Pemerintah seolah tutup telinga dan justru makin membakar protes publik. Salah satu dari tujuh tuntutan, yaitu menghentikan kriminalisasi aktivis malah dilakukan, setelah Surya Anta dan Veronica Koman, kini Polisi menangkap Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu. Meski keduanya telah dibebaskan, sikap diam Jokowi sudah jelas. Anda tidak peduli dengan tuntutan Aliansi Masyarakat Sipil dan Mahasiswa.

Untuk itu, kami The Geotimes, mendesak Presiden Joko Widodo melakukan koreksi dan reformasi total pada pemerintahannya. Menuntut pelaku pelanggaran HAM untuk dihukum berat, membebaskan para aktivis tanpa syarat, dan menjamin supremasi sipil.

Redaksi Geotimes
https://geotimes.co.id/kolom/sikap-redaksi-kami-meragukan-komitmen-presiden-joko-widodo/

Monday, September 9, 2019

Memindahkan Ibu Kota


Setelah Presiden Joko Widodo mengusulkan secara terbuka pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, langkah berikutnya harus segera disiapkan.

Wacana memindahkan ibu kota negara bergulir sejak masa Presiden Soekarno, yang pada 1957 memilih Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sebagai ibu kota. Presiden Soeharto memilih Jonggol, Jawa Barat, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mewacanakan pemindahan ibu kota.

Permukiman kumuh dibalik gedung-gedung tinggi di Jakarta.

Jakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis serta jasa keuangan dan perdagangan. Peran berganda itu dimungkinkan karena infrastruktur pendukung sangat baik. Harian Kompas menuliskan laporan khusus bagaimana kota-kota baru tumbuh di sekitar Ibu Kota sehingga Jakarta tumbuh menjadi kawasan sangat besar. Dampaknya sangat terasa bagi warga Jakarta. Macet menjadi bagian keseharian.

Daya dukung kota merosot dalam penyediaan air bersih dan perumahan layak bagi setiap warga. Saat musim kemarau kering seperti sekarang, kualitas udara memburuk, salah satunya karena arus lalu lintas kendaraan penduduk kota-kota sekitar menuju ke Ibu Kota. Ketika tiba musim hujan, banjir menjadi ancaman sebagian warga meskipun upaya memperbaiki aliran sungai terus dilakukan.

Landmark ibu kota baru pengganti Monas?

Presiden Joko Widodo, Senin (26/8/2019), di Istana Negara, Jakarta, memilih sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kaltim, sebagai lokasi baru ibu kota. Selanjutnya adalah proses politik, sebab harus mendapat persetujuan DPR. Setidaknya ada lima undang-undang (UU) yang perlu direvisi, dua UU dapat direvisi atau dapat dibuat baru, dan dua UU harus dibuat baru.

Reaksi terhadap usul Presiden beragam. Selain mendukung karena setuju alasan pemindahan, yaitu daya dukung Jakarta dan pemerataan pembangunan, tidak kurang pula yang mengingatkan pentingnya kajian menyeluruh dan mendalam terhadap aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lingkungan.

Apakah pemindahan ibu kota negara akan mengurangi ketimpangan Jawa-luar Jawa, memeratakan pembangunan, mengurangi beban Jakarta, dan menumbuhkan pusat ekonomi baru di luar Jawa? Kekhawatiran juga muncul mengenai kelestarian hutan Kalimantan, salah satu paru-paru dunia yang juga penting bagi Indonesia.


Sejumlah yang lain menginginkan transparansi rencana induk pembangunan, termasuk tata ruang dan tata wilayah serta desain kota agar tidak mengulangi pengalaman Jakarta menjadi kota yang tumbuh tidak beraturan.

Pertanyaan lain, sudahkah disiapkan rekayasa sosial bagi masyarakat setempat untuk menerima perubahan besar yang akan terjadi? Juga bagi aparat sipil dan keluarganya yang harus berpindah kerja. Belum lagi biaya yang ditaksir hingga Rp 466 triliun dan harus disiapkan saat ekonomi sedang dalam tantangan besar.

Dengan begitu banyak pertanyaan dari masyarakat, proses diskusi —bukan sekadar diseminasi rencana— perlu dilakukan agar semua pihak mendukung rencana tersebut. Prinsipnya, lebih baik mengutamakan kehati-hatian meskipun mungkin memerlukan waktu yang lebih panjang.

Tajuk Rencana Kompas
KOMPAS, 28 Agustus 2019

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak.

Tanggapan Greenpeace Indonesia
Terhadap Rencana Pemindahan Ibukota Indonesia ke Kalimantan Timur

Presiden Joko Widodo telah mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur, di daerah yang akan mencakup sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Greenpeace Indonesia sebagai organisasi lingkungan memiliki beberapa kekhawatiran terkait keputusan ini, karena akan membutuhkan konversi hutan dan lahan untuk pembangunan kota, yang tentunya akan berdampak pada lingkungan.

Dalam tanggapannya Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak mengatakan:

“Rencana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur jika tanpa menjadikan perlindungan lingkungan sebagai pertimbangan utama, dikhawatirkan hanya akan menciptakan berbagai masalah-masalah lingkungan di ibu kota baru nanti, seperti yang terjadi di Jakarta saat ini.

Kita bisa lihat fakta bahwa polusi udara di Jakarta selain berasal dari sektor transportasi, juga bersumber dari banyaknya PLTU batu bara yang ada di sekeliling Jakarta. Jika nanti sumber energi ibu kota baru masih mengandalkan batu bara seperti saat ini di Jakarta, maka jangan harap ibu kota baru akan bebas dari polusi udara.

Apalagi jika pemerintah tetap membangun PLTU-PLTU batu bara mulut tambang, seperti yang direncanakan saat ini di beberapa lokasi di Kalimantan Timur. Rencana pembangunan PLTU-PLTU batu bara mulut tambang ini harus dihentikan, karena bertentangan dengan konsep smart, green city untuk ibu kota baru tersebut, di mana sumber energi kota seharusnya dari energi terbarukan.

Keberadaan tambang-tambang batu bara tersebut tidak hanya akan menghasilkan polusi udara, tapi juga berbagai bencana lingkungan lain seperti banjir dan kekeringan, seperti yang sudah terjadi di Samarinda, salah satu kota terdekat dengan wilayah ibu kota baru ini.”


“Ancaman krisis iklim yang berkombinasi dengan salah urus lingkungan Jakarta, juga jangan hanya menjadi alasan pemindahan ibu kota. Namun harus menjadi catatan kritis dan pertimbangan utama bagi strategi pembangunan Indonesia ke depan.

Saat ini laju penurunan permukaan tanah di Jakarta antara 1-15 cm per tahun, yang berkombinasi dengan kenaikan tinggi muka air laut yang sudah mencapai 8,5 cm, akan menyebabkan sebagian besar Jakarta Utara tenggelam pada tahun 2050. Pemindahan ibu kota ini hanya akan memindahkan atau bahkan menciptakan masalah-masalah lingkungan baru, bila tidak mempertimbangkan krisis iklim yang sudah berlangsung sekarang.

Diperlukan komitmen yang sangat kuat dari pemerintah untuk menjamin tidak ada konversi lahan berlebihan dan deforestasi tambahan, juga penerapan konsep compact city yang bertumpu pada transportasi publik massal berbasis listrik, pemanfaatan energi terbarukan sebagai sumber energi utama, dan pengelolaan sampah menuju zero waste city. Hanya dengan hal-hal tersebut ibu kota baru ini tidak memperburuk krisis lingkungan dan krisis iklim yang sudah terjadi sekarang,” tambah Leonard.


Data Greenpeace menunjukkan bahwa lokasi ibu kota baru ini pun tidak bebas dari kebakaran hutan dan kabut asap. Selama krisis kebakaran hutan tahun 2015 ada sebanyak 3.487 titik api di Kabupaten Kutai Kartanegara. Tahun ini sudah ada 105 titik api, dengan musim kebakaran hutan yang belum menunjukkan tanda berhenti.

Analisis Greenpeace menunjukkan total area ‘burnscar’ yang terkena dampak kebakaran hutan seluas 35.785 hektar antara 2015-2018. Pengembangan ibu kota baru harus dipastikan tidak menggunakan kawasan lindung atau cagar alam, karena pasti akan menyebabkan deforestasi tambahan dan ancaman terhadap hewan langka Kalimantan seperti Orangutan.

“Masalah lingkungan sekali lagi harus digarisbawahi sebagai pertimbangan mendasar dalam proses relokasi ibu kota. Sangat disayangkan bahwa proses ini dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak melalui proses konsultasi publik yang memadai. Dalam negara demokrasi, diskusi terbuka untuk mendengarkan aspirasi publik, termasuk dengan masyarakat adat setempat, harus menjadi bagian integral dalam pengambilan keputusan publik sepenting ini. Ini harus menjadi catatan penting bagi Presiden Jokowi,” tutup Leonard.

Greenpeace Indonesia
27 Agustus 2019

Friday, December 14, 2018

Bukalah Matamu!


Mulai agak meroket September, Oktober. Nah, pas November itu bisa begini (tangan menunjuk ke atas),” kata Jokowi di Istana Bogor, Rabu 5 Agustus 2015. (banyak media cetak dan televisi menjadi saksi).

Keinginan untuk subsidi BBM, saya kira tidak ada masalah. Subsidi bagi rakyat kecil adalah sebuah keharusan,” ujar Jokowi menanggapi permintaan para tukang ojek, di Jl. Borobudur 18 (16/6/2014, Republika).

Klausulnya jelas, Indosat bisa diambil kembali, hanya belum kita ambil. Kuncinya hanya satu, kita –buy back–, kita beli kembali. Tapi ke depan ekonomi harus tumbuh 7 persen,” janji Jokowi. (22/6/2014, Tempo.com).

Kita harus berani stop impor pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok,” kata Jokowi di Gedung Pertemuan Assakinah, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (2/7/2014, Kompas.com).

Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. Menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun,” jelasnya saat ditemui di Gedung DPR, Selasa (3/6/2014, Liputan 6).


Janji adalah hutang
Hasilnya? Hingga November 2017 dan November 2018, meroket yang dimaksud tak pernah kunjung terjadi. Keharusan subsidi bagi rakyat kecil yang disampaikan dihadapan para tukang ojek itu bukan hanya dicederai, tapi malah diberi beban yang amat dahsyat. Meski baru empat tahun memerintah, Jokowi bukan hanya mencabut, tapi sudah 12 kali menaikkan harga BBM. Padahal tukang ojek itu ibaratnya mereka ‘bernapas’ dengan BBM.

Tentang janji –buy back– Indosat yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen, itu pun jauh dari kenyataan. Bahkan tragisnya, pemerintah justru sedang bersiap-siap melego aset-aset Pertamina. Itu sebabnya ribuan karyawan Pertamina, jumat (20/7/18) lalu, melakukan demo. Jika masih nekad, maka puluhan ribu karyawan Pertamina akan mogok.

Lalu, soal impor macam-macam: beras, daging, sayur, buah, kedelai yang secara berapi-api dikatakan akan distop, faktanya? Jokowi menikmati impor-impor berikutnya. Petani, nelayan, pedagang mengalami kesulitan dan mereka sama sekali tidak dihiraukan. Jutaan ton beras diimpor dengan tenang.


Terkait hutang yang juga dengan gagah perkasa dikatakan tidak akan dilakukan lagi, nyatanya? Per-Mei 2018 melonjak Rp 4.180 triliun. Menurut RMOL.co, hutang Indonesia memasuki babak paling beresiko.

Masih sederet janji yang tak ditepati. Anehnya orang seperti Denny Siregar masih membelanya. Lebih tepat memujanya seakan ia mampu menutupi seluruh fakta yang ada.

Dan membuat orang seperti Kapitra Ampera yang selama ini berada dalam barisan perjuangan bela ulama, terseret ke gelombang kekuasaan hingga mau berada dalam lingkaran itu, meski janji penguasa dan fakta tak dipenuhi.

Bahkan ulama sekelas TGB pun seolah dibutakan dengan apapun alasan yang ia kemukakan, faktanya ia secara sadar berpaling ke tempat yang seharusnya dikritisi. Apalagi dia memiliki basis agama yang kuat.

Bahkan ucapan-ucapannya seolah menjadi pembenar perbuatan yang tak sama antara janji dengan kenyataan. Janji dalam agama mana pun bisa dikatagorikan dengan hutang. Dan hutang, hukumnya wajib dibayar.


Mendukung dan memilih memang menjadi hak privat, hak yang dilindungi undang-undang. Tapi, menafikan fakta-fakta yang ada, sungguh tak bisa dipahami akal sehat. Dan, kelak akan dimintakan pertanggung jawaban di pengadilan yang sesungguhnya.

Fakta yang ada, tersaji dengan terang-benderang. Bahkan janji kontra fakta juga terlihat dengan jelas. Tak ada alasan untuk tidak melihatnya. Tak ada pula alasan dengan cara apa pun untuk membenarkannya.

Semua terbuka di atas meja. Tapi anehnya, semua seperti tersamarkan. Bahkan ada yang berani memfatwakannya bahwa hanya Jokowi-lah yang terhebat memimpin negeri.

Coba simak lirik lagu Ebiet G Ade “Masih ada waktu”:

Kita dapat mencoba meminjam catatan-Nya
Sampai kapankah gerangan
Waktu yang masih tersisa
Semuanya menggeleng, semuanya terdiam,
semuanya menjawab tak mengerti
Yang terbaik hanyalah segera bersujud,
mumpung kita masih diberi waktu

Ya, mumpung masih ada waktu.

M. Nigara,
Wartawan senior,
Mantan Wasekjen PWI
https://opiniindonesia.com/2018/12/14/bukalah-matamu/