Showing posts with label Presiden SBY. Show all posts
Showing posts with label Presiden SBY. Show all posts

Thursday, October 9, 2014

Sang Demokrat atau Sutradara Tonil?


Dari balik dinding tahanan, sayup-sayup saya mendengar hiruk-pikuk pengesahan RUU Pilkada. Musababnya, sikap Fraksi Demokrat yang walk out (WO) menjelang voting. Alasan Demokrat karena 10 poin perbaikan yang diusungnya tidak diterima oleh koalisi pendukung pilkada langsung.

Kekecewaan publik terhadap sikap Demokrat, khususnya kepada Ketua Umum DPP Partai Demokrat, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) merebak, bahkan mengalahkan kekecewaan atas “kalahnya” pilkada langsung dalam voting tersebut.

Bahkan saya berhipotesis, jika Demokrat ikut voting dan pilkada langsung tetap kalah, masyarakat tidak akan sekecewa ini karena manfaat versus mudarat pilkada langsung atau lewat DPRD adalah diskusi yang bisa terus berkembang seiring berjalannya waktu. Metode pilkada bukanlah perkara halal-haram yang mutlak.

Masyarakat lebih marah atas ketidakjelasan sikap. Masyarakat marah kepada Demokrat sebagai pihak yang seharusnya bisa melakukan sesuatu, mengambil sikap yang jelas untuk memperjuangkan suatu pilihan, tetapi membuang kesempatan itu karena kepentingan yang sulit diterima logika publik.


Tak Ada Pilihan
Apa yang dimaksud kepentingan yang sulit diterima publik? Kita tahu bahwa sejak lama hubungan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Megawati Soekarnoputri membeku. Kebekuan ini menyebabkan SBY, selaku ketua umum Partai Demokrat dan juga presiden yang akan lengser, kesulitan untuk membangun komunikasi dengan Jokowi-JK, baik sejak pilpres hingga pasangan itu menjadi presiden dan wakil presiden terpilih.

SBY tahu, dan tidak punya pilihan, kecuali mendekat kepada Jokowi-JK untuk melancarkan proses transisi pemerintahan dan mengamankan diri dan keluarganya di masa datang. Karena itu, sejak pilpres, Demokrat membangun citra netral, walaupun itu pasti mengundang kekecewaan Hatta Rajasa, pasangan Prabowo dalam pilpres yang juga mantan menteri yang paling loyal sekaligus besan SBY.

Kita bisa menyaksikan betapa selama pilpres, Demokrat bergerak bak tari poco-poco dari Kawanua: ke kanan lalu ke kiri lalu ke depan, goyang-goyang sebentar, lalu kembali ke titik semula alias tidak ke mana-mana. Ada orang-orang yang diutus ke kedua kubu, tapi setahu saya tidak terlalu digubris, khususnya oleh kubu Jokowi-JK. Kegagalan poco-poco pada pilpres itulah yang membuat SBY tidak punya pilihan.

Berbeda dengan bukunya yang berjudul “Selalu Ada Pilihan”. SBY tahu salah satu momen terakhir yang bisa digunakan untuk mencairkan kebekuan komunikasi dirinya dengan kubu Jokowi-JK tinggal pengesahan RUU Pilkada. Sebagai seorang perancang skenario yang apik, SBY sudah menjalankan permainannya sejak “tampil” di YouTube dan mengatakan mendukung pilkada langsung. Kita membaca di media betapa pernyataan SBY tersebut masih ditanggapi kader Demokrat sebagai gagasan, bukan perintah.

Kader Demokrat juga menganggap saat itu SBY berbicara sebagai presiden, bukan ketua umum Partai Demokrat. Sikap Demokrat baru jelas beberapa hari kemudian lewat konferensi pers. Yang menarik, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah Djohan menyatakan pemerintah telah memasukkan 10 poin perbaikan pilkada langsung yang diajukan Demokrat ke dalam RUU.


Masyarakat Menilai
Ternyata “10 poin perbaikan” inilah yang dijadikan sebagai bargaining Demokrat. Ini juga yang menjadi alasan walk out menjelang Rapat Paripurna. Mereka berdalih bahwa 10 poin perbaikan tidak diterima oleh forum lobi fraksi. Yang menarik jika kita membaca media, menjelang rapat, anggota DPR RI dari PDI Perjuangan Arif Wibowo menyatakan pihaknya secara prinsip sepakat dengan Demokrat mengenai perbaikan pilkada langsung, hanya masih ada hal-hal kecil yang perlu dibicarakan dengan Demokrat dan fraksi-fraksi lain.

Menurut Arif Wibowo, untuk sekarang (menjelang Rapat Paripurna) pihaknya fokus pada hal-hal pokok. Lalu apakah Demokrat bersikap drastis hanya karena hal-hal kecil? Seperti layaknya film India, jagoannya datang belakangan. Seperti kita tahu, SBY kemudian menyatakan kecewa dengan proses dan hasil rapat paripurna dan akan memperjuangkan pilkada langsung melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi.

SBY menyatakan akan mencari siapa dalang dibalik WO Fraksi Demokrat menjelang voting. Belakangan setelah kembali dari luar negeri SBY menyatakan akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), termasuk memasukkan 10 poin perbaikan. Terhadap materi ini, sulit dibedakan apakah SBY sedang berposisi sebagai presiden RI atau ketua umum Partai Demokrat.


Sebagai orang yang pernah di Partai Demokrat, pernyataan terakhir ini sangat lucu. Mereka yang memahami struktur dan proses pengambilan keputusan di internal Demokrat paham betul bagaimana tidak ada sehelai daun pun jatuh tanpa persetujuan SBY. Jadi pernyataan “mencari dalang” lebih tepat dibaca “mencari kambing hitam” agar sinetron ini terus berlanjut. Orang awam pun bisa menilai skema permainan ini.

Dalam kalkulasi politik pencitraan SBY, jika skenario uji materi dikabulkan MK, maka kredit dan pujian akan berdatangan kepadanya sebagai pahlawan demokrasi. Insiden WO Fraksi Demokrat adalah kesalahan segelintir oknum. Apalagi, SBY punya alibi sedang berada di luar negeri, persis ketika terjadi rapat tentang Bank Century dan beberapa peristiwa penting lainnya di tanah air. Boleh jadi SBY mengharapkan masyarakat lupa, siapa yang sebenarnya memperjuangkan pilkada langsung.

Jika nanti pilkada langsung diterapkan, itu akan diklaim sebagai legacy SBY. Ini juga yang akan digunakan sebagai modal merehabilitasi hubungan dengan kubu Jokowi-JK. Demikian halnya dengan skenario menerbitkan perppu yang dianggap sebagai pilihan populer karena sesuai dengan selera opini publik. Jika perppu disetujui DPR, jelas akan menjadi kredit politik penting bagi SBY.


Apalagi secara substansi, ide politik itu sejalan dengan yang diperjuangkan oleh koalisi politik pendukung Jokowi-JK. Dengan demikian, secara citra dapat poin, secara politik juga mendapat keuntungan. Tapi akhirnya poco-poco tetaplah sebuah tarian hiburan. Walau SBY sudah balenggang pata-pata dan pe goyang pica-pica, masyarakat punya penilaiannya sendiri. Ternyata penilaian itu bukanlah tepuk tangan, apalagi standing ovation di akhir pertunjukan.

Masyarakat sudah cerdas dan mampu mengekspresikan dirinya. Tagar #ShameOnYouSBY yang sampai menjadi trending topic dunia di Twitter hingga menarik perhatian media internasional adalah “hadiah” sekaligus simbol perlawanan masyarakat kepada presiden yang akan segera undur diri itu. Sekali lagi, masyarakat lebih marah kepada ketidakjelasan dan kepalsuan sikap, ketimbang terhadap sebuah kekalahan dalam suatu pertandingan yang jujur dan fair. Inilah pelajaran penting demokrasi bagi bangsa ini.

Demokrasi memang membutuhkan demokrat sejati. Nah, yang perlu dijawab adalah, apakah yang tersedia adalah sosok Sang Demokrat atau sutradara tonil (teater)?
Wallahu a‘lam. Hanya Tuhan yang tahu.

Anas Urbaningrum,
Pernah Menjadi Politikus Partai Demokrat
KORAN SINDO, 3 Oktober 2014

Wednesday, June 25, 2014

Pemerintah Membiarkan Pers Terbelah


Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum, berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, fungsi pers adalah mendidik. Mengemukakan persoalan dan menawarkan pencerahan. Dalam perspektif kebebasan berekspresi sesuai dengan konsep clean and good governance, tugas media massa adalah membantu mengupayakan well-informed voters. Sekitar 190 juta pemilih dibantu mendapat pasokan fakta dan kebenaran yang tersedia cukup dan berimbang tentang rekam jejak para kontestan: partai politik, calon legislator, calon presiden, dan calon wakil presiden.

Pelaksanaan fungsi dan tugas itu kini bermasalah. Pertama, media dituduh sebagai penyebab turunnya elektabilitas parpol. Dalam Rapimnas Partai Demokrat di Jakarta (18/5/2014), Ketua Umum Partai Demokrat SBY mengemukakan, “Suara Partai Demokrat merosot tajam, juga karena digempur habis-habisan oleh televisi dan media cetak.

Kedua, pemerintah SBY membiarkan enam stasiun televisi milik penguasa parpol melanggar perundang-undangan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan kewenangannya, menjelang hangatnya kampanye pemilihan legislatif, telah merilis penilaiannya bahwa TVOne, ANTV, RCTI, Global TV, MNCTV, dan Metro TV melanggar peraturan bahwa program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran yang bersangkutan dan atau kelompoknya.


Ketua KPI Judhariksawan, di Jakarta (2/6/2014), menjelaskan bahwa lima media televisi nasional dinilai tidak netral dalam menyiarkan kegiatan capres-cawapres. TVOne, RCTI, MNCTV, dan Global TV dinilai memberikan porsi pemberitaan lebih banyak kepada pasangan Prabowo-Hatta. Sementara itu, Metro TV dinilai memberikan porsi pemberitaan lebih banyak kepada pasangan Jokowi-Kalla.

Ketiga, kampanye hitam yang menyesatkan rakyat dibiarkan. Kini pun kampanye hitam yang meracuni benak rakyat kita sedang memasuki panggung media massa, utamanya lewat media sosial. Menurut Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, di Jakarta (22/5/2014), sepanjang 2014 terdapat 5.551 pemberitaan yang berkaitan dengan kampanye jahat. Sebanyak 1.515 ekspose berita kampanye jahat tentang capres Jokowi dan 743 kampanye jahat tentang capres Prabowo. Kampanye jahat didasarkan pada tuduhan tidak berdasarkan fakta dan merupakan fitnah.

SBY mengharapkan pers mengawal demokrasi. Untuk mengatasi persoalan media sebagaimana dikemukakan, sebagai sahabat pers, Presiden SBY pun diharapkan mengawal pers dalam melaksanakan tugasnya mengawal demokrasi. Pertama, kembali memberi contoh dengan mengadukan pers yang memfitnah ke Dewan Pers. Berita negatif yang terindikasi beriktikad buruk pun dapat di-KUHP-kan.


Kedua, pemerintah jangan membiarkan media televisi terbelah. Penegakan hukum terhadap stasiun televisi yang melanggar hukum bukan wewenang KPI atau Bawaslu. Pasal 36 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebut, “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.” Sementara itu, pasal 55 mengatur, pelanggar pasal di atas dapat berakibat terkena sanksi administratif.

Ketentuan pemberian sanksi berupa denda, penghentian siaran, pembekuan kegiatan siaran, atau pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran mestinya disusun oleh pemerintah. Karena ketentuan pemberian sanksi sampai sekarang belum juga dibuat oleh pemerintahan SBY, maka pelanggaran UU oleh sejumlah media televisi hingga kini masih terus berlanjut.

Hanya dengan adanya ketentuan pemberian sanksi bagi para pelanggar, maka temuan KPI bisa diteruskan ke jalur hukum. Pembiaran tanpa ketentuan pemberian sanksi oleh pemerintah selama ini adalah penyebab pers media televisi menjadi terbelah.


Ketiga, penegakan hukum terhadap pelaku kampanye hitam sungguh sangat mendesak. Karena kampanye hitam telah membodohi dan menipu masyarakat.

Presiden SBY sebagai the national policy and decision maker tidak cukup hanya berkicau lewat Twitter, “Saya tidak menginginkan jika kompetisi pilpres saling menghancurkan dengan kampanye hitam.” Presiden patut menugasi Polri dan BIN untuk menemukan pelakunya. Dulu Bakin selalu mengetahui ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, bahkan sekecil jarum pun yang menerpa negeri ini. Publik perlu tahu pelakunya, kawan atau lawan, misalnya sisa-sisa G30S/PKI atau Nekolim?

Media sosial yang tidak jelas identitasnya dan sumbernya, dan kegiatannya menyebarkan dusta, fitnah, dan kebencian, sama saja dengan surat kaleng yang menyebarkan desas-desus dusta dan fitnah. Apabila Menkominfo berani memblokir media seperti itu tentu saja tidak melanggar HAM.

Sebagai sahabat pers, Presiden SBY perlu bekerjasama dengan pers untuk mengupayakan media agar tidak terbelah. Dengan demikian, pers mau dan mampu membangun demokrasi yang mempersyaratkan kematangan serta fair play.

Sabam Leo Batubara,
Wartawan Senior
TEMPO, 23 Juni 2014

Saturday, January 18, 2014

Semiotik Politik Terimakasih


Walaupun ditahan KPK, Anas Urbaningrum tetap mengucapkan terima kasih yang ditujukan kepada sejumlah pihak. Tidak ada satu ahli komunikasi politik pun yang menginterpretasinya dalam makna denotasi. Lalu, masyarakat juga bertanya-tanya: makna apakah sebenarnya yang berada di belakang terima kasih itu?

Dalam bahasa dibedakan makna denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi merujuk makna kata atau makna kamus, sedangkan makna konotasi adalah sejumlah makna tambahan pada makna denotasi. Misalnya, makna denotasi Mercedes adalah mobil dengan buatan khusus. Karena mobil ini luks dan mahal, maka masyarakat memberinya makna konotasi ‘kekayaan, kemewahan, dan status’.

Ucapan terima kasih terdapat dalam berbagai budaya dan bahasa di dunia. Walaupun berbeda-beda, makna denotasinya kurang lebih sama, yaitu ‘ucapan syukur atau ucapan balas budi setelah menerima kebaikan dari seseorang’.

Berdasarkan pemahaman itu, ucapan terima kasih Anas tidaklah merupakan ucapan syukur yang tulus atas apa yang didapatkannya. Terima kasih dan penahanan tidak koheren. Lalu makna apakah yang dimasukkan Anas ke dalamnya?


Untuk memahami hal ini teori semiotik Peirce membantu. Peirce melihat kata, frasa, ujaran, dan wacana sebagai tanda. Bagi Peirce, tanda terlibat dalam suatu proses semiosis triadik.

Tanda terhubungkan dengan obyeknya lewat sebuah ide atau konsep. Obyek bisa berarti benda-benda, kelompok benda, bahkan konsep. Yang menarik di sana adalah hakikat hubungan antara tanda dan obyek. Apabila dibandingkan dengan semiologi Saussure yang melihat hubungan antara kata dan konsep (obyek) sebagai sebuah koin yang punya dua sisi yang tak terpisahkan, Peirce malah melihat adanya keterpisahan antara keduanya. Keterpisahan semacam itu disebut ruptur.

Dalam hal ini semiologi Saussure akan melihat ucapan terima kasih Anas sebagai kesalahan dalam berbahasa. Ia mempertahankan makna harfiah sebuah kata. Semiotik Peirce, pada pihak lain, mengatakan karena adanya ruptur antara kata dan benda, ucapan terima kasih dapat diisi dengan makna apa saja. Hal ini menunjukkan kebebasan manusia dalam memakai tanda dan kebebasan mengisi makna apa saja ke dalam sebuah kata.


Di sini Peirce mempertahankan makna penutur yang berbeda dari makna kata. Jadi, makna apakah yang ada di belakang kepala Anas ketika memakai ungkapan terima kasih itu?

Jujur, untuk mengetahui hal itu hanya Anas-lah yang bisa menjawabnya. Namun, dalam semiotik dikenal ungkapan the death of author, ‘kematian seorang pengarang’. Karena telah dilempar ke ruang publik, makna pengarang dinyatakan tidak berlaku dan hak pendengar dan pembaca untuk menggerakkan interpretan sebagai tanda yang diterima dan memaknainya.

Masyarakat politik menginterpretasinya secara bermacam-macam. Walaupun setiap penutur bebas memasukkan makna ke dalam interpretasinya, yang terpenting diingat ialah menghindari interpretasi yang sangat individualistis dan berpihak kepada yang konvensional. Selain itu, sebuah interpretasi harus mempunyai dasar ilmiah empiris.


Terima kasih bertingkat
Ucapan terima kasih Anas diatur secara bertingkat. Ucapan terima kasih pertama-tama ditujukan kepada satu kelompok orang, yaitu Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad serta tim penyidik dan penyelidik KPK. Kemudian, kepada Presiden SBY ia mengatakan: “Di atas segalanya, saya berterima kasih yang besar kepada Pak SBY. Mudah-mudahan peristiwa ini punya arti, punya makna, dan jadi hadiah Tahun Baru 2014” (Kompas, 11/1/14).

Penataan penyebutan satu per satu penerima ucapan terima kasih mengindeks pengategorisasian kedua kelompok ini ke dalam satu kelompok saja. Walaupun ia berada dalam konteks hukum, kedua kelompok dikategorikan sebagai kelompok politisi atau tepatnya kelompok politisi yang mengatasnamakan hukum. Diyakini, unsur politiklah yang menyeretnya ke ranah hukum yang kemudian akan menghancurkan karier politik. Kedua kelompok ini jadi lawan bicaranya yang juga jadi lawan politiknya. Karena itu, dia ragu apakah ia akan mendapatkan keadilan.

Penambahan kata-kata ‘yang lain-lain nanti saja’ mungkin menunjuk pada halaman-halaman penting berikutnya. Karena lawan politiknya memakai politik untuk menjerumuskannya ke hukum, kemungkinan metode ini yang dipakainya. Anas dikenal pandai memakai senjata lawan.

Dapat diduga, seperti kata para ahli komunikasi politik di satu stasiun televisi swasta, ia akan memanfaatkan sidang pengadilan untuk mengungkap kebenaran tentang aliran uang Hambalang yang mengalir ke Cikeas. Tentu saja ini suatu pernyataan politis yang akan menyeret lawan politiknya ke ranah hukum dengan tujuan menghancurkan karier politiknya.

Kalau tujuan itu tercapai, penahanannya boleh jadi diterimakasihi secara tulus, apalagi setelah menunggu statusnya sebagai tersangka terlalu lama sejak setahun. Pembeberan keterlibatan Cikeas di pengadilan mungkin akan menghancurkan karier politik mereka, apalagi kalau bisa terlaksana sebelum April 2014.


Pedang bermata dua
Ucapan terima kasih semacam ini mengingatkan saya pada satu adegan di sebuah film koboi pada era 1970-an. Dalam salah satu adegan di film itu, seorang koboi mengucapkan terima kasih kepada bosnya dengan meninju sang pemimpin.

Lalu, apakah kehebatan politik terima kasih bertingkat ini? Secara semiotik kehebatannya terletak pada tatanan di mana makna politik berkendaraan di atas makna denotasi. Keduanya melakukan kerja berbeda, membangun suatu ambiguitas efektif dalam penyerangan politik. Apabila makna politik berfungsi ‘menghancurkan’ lawan secara sinis, makna denotasi mengokohkan diri dengan merendah (biarpun ditahan aku terima kasih juga). Dalam penyerangan ada ke-halus-an.

Terima kasih adalah pedang bermata dua yang dipakai dalam perang simbolis para politisi di permulaan tahun politik ini.

Stanislaus Sandarupa,
Dosen Antropolinguistik pada Fakultas Ilmu-ilmu Budaya Unhas
KOMPAS,  18 Januari 2014