Showing posts with label Media Massa. Show all posts
Showing posts with label Media Massa. Show all posts

Sunday, January 15, 2017

Hoax dan Demokrasi


Hoax terbaik adalah versi penguasa. Sebab, mereka memiliki peralatan  lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media, dan dst…" Itu inti cuitan saya beberapa hari lalu. Dan, dari satu kalimat itu, kontroversi masih berlanjut sampai hari ini.

Apakah saya pro berita bohong? Bukan itu soalnya. Yang saya persoalkan adalah sikap reaktif pemerintah terhadap "maraknya" adu bohong di media massa. Padahal pemerintah sendiri tak memiliki sistem evaluasi opini publik.

Periksalah. Secara serampangan pemerintah memblokir sumber informasi tanpa ukuran yang jelas: apakah sebuah situs berisi info bohong, misinformasi, atau disinformasi? Demarkasi yang diajukan cuma satu: sumber informasi yang "bukan mainstream" harus dicurigai sebagai hoax. Sikap inilah yang justru membahayakan demokrasi karena publik diarahkan untuk hanya percaya kepada "media mainstream".

Padahal, justru melalui media mainstream itulah kekuasaan menyelundupkan kepentingan hegemoninya. Media adalah bagian dari kurikulum legitimasi kekuasaan. Dalam negara demokratis sekalipun, dalil itu bekerja sempurna: kekuasaan selalu berkehendak absolut. Mengendalikan informasi adalah cara "dingin" untuk melemahkan oposisi.


Masalah muncul bila pengetahuan dan akal politik pemerintah tak lagi mampu mengendalikan informasi. Publik segera mengenalinya sebagai "krisis legitimasi". Dalam kondisi itu, hoax mengambil alih diskursus politik publik. Begitulah sistem demokrasi bekerja demi mengukur legitimasi kekuasaan: surplus atau defisit?

Sekadar contoh hari-hari ini: apakah soal kegagalan tax amnesty adalah hoax atau bukan? Mengapa pemerintah tak satu pandangan dalam memberi penjelasan? Apakah soal "buruh Cina" itu bohong atau setengah bohong? Mengapa "bahasa tubuh" pemerintah penuh nuansa? Apakah kenaikan tarif surat kendaraan bermotor berasal dari usulan polisi atau menteri keuangan? Mengapa keduanya terkesan mengelak?

Jadi, bila informasi kehilangan daya persuasi, itu pertanda ada koordinasi yang kacau dalam pengendalian opini publik. Dalam soal berita Bloomberg yang disadur Antara (dan dikutip "media mainstream") demi memaksakan tafsir yang positif bagi prestasi pemerintah, bukankah kita menyaksikan semacam "penghinaan akal publik"?

Informasi adalah mata uang demokrasi. Pers mengedarkannya sebagai opini publik. Dalam peredaran itulah informasi dapat menjadi disinformasi: informasi tiba dengan pesan yang keliru. Tentu karena diselewengkan atau karena ketakcukupan nalar publik untuk mengolahnya. Namun yang paling menjengkelkan adalah bila penyelewengan itu dilakukan karena mengira akal publik dapat dibohongi (pakai) media mainstream.


Pertanyaannya adalah siapa yang berkepentingan dengan penyelewengan itu? Dalam etika politik, berlaku dalil niat baik tak perlu dibuktikan. Apakah pemerintah berniat baik memberantas hoax? Tak perlu dibuktikan. Yang perlu dipertanyakan adalah mengapa perlu suatu "operasi khusus" dengan "institusi khusus" untuk memburu hoax? Tentu ada saja jawaban normatif pemerintah adalah demi keutuhan, kesantunan, etika, dan seterusnya. Atau dengan alasan yang masih harus dicari relevansinya: Amerika Serikat dan Eropa juga sudah mendeklarasikan perang terhadap hoax. Boleh saja asal konsekuen dengan fakta yang ada: pelaku hoax di Amerika Serikat justru media mainstream.

Saya tak suka hoax. Itu buruk bagi kompetisi politik sehat. Tapi bila pemerintah tak punya sistem evaluasi opini publik dan justru mengambil keuntungan hegemonik dari "media mainstream" yang dikondisikan untuk mendukung pemerintah, hoax harus dibaca sebagai simbol krisis legitimasi. Hoax adalah sinyal bahwa alternatif kekuasaan sedang tumbuh.

Dalam kondisi semacam ini, pemerintah harus membaca politik dari posisi orang ketiga: kekuasaan yang tak lagi memiliki oposisi akan kehilangan alat ukur legitimasi.

Memang terlihat upaya konsolidasi pemerintah untuk menambah aset politiknya dengan "membeli" lahan oposisi. Secara etik, itu melemahkan demokrasi.


Demokrasi memiliki mekanisme koreksi. Terlalu banyak "kebenaran" dipromosikan berarti ada kebohongan yang sedang disembunyikan. Dilihat dari perspektif itu, hoax adalah fabrikasi politik. Bukan untuk merusak demokrasi, tapi justru untuk menunda konglomerasi kebenaran.

Politik adalah konfrontasi etik demi menghasilkan suatu "peristiwa". Hoax adalah konfrontasi terhadap monopoli kebenaran. Saya meninjau soal hoax ini dari perspektif dekonstruksi demi rekonsolidasi demokrasi yang kini merosot menjadi sekadar adu cacian dan olah dendam.

Kelak, sejarah akan menilai apakah kita berhasil mengkonsolidasikan kembali demokrasi melalui strategi berlapis atau gagal karena hanya mampu menikmati tukar-tambah kepentingan sesaat hari ini.

Rocky Gerung,
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Koran TEMPO, 6 Januari 2017

Wednesday, June 25, 2014

Pemerintah Membiarkan Pers Terbelah


Berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum, berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, fungsi pers adalah mendidik. Mengemukakan persoalan dan menawarkan pencerahan. Dalam perspektif kebebasan berekspresi sesuai dengan konsep clean and good governance, tugas media massa adalah membantu mengupayakan well-informed voters. Sekitar 190 juta pemilih dibantu mendapat pasokan fakta dan kebenaran yang tersedia cukup dan berimbang tentang rekam jejak para kontestan: partai politik, calon legislator, calon presiden, dan calon wakil presiden.

Pelaksanaan fungsi dan tugas itu kini bermasalah. Pertama, media dituduh sebagai penyebab turunnya elektabilitas parpol. Dalam Rapimnas Partai Demokrat di Jakarta (18/5/2014), Ketua Umum Partai Demokrat SBY mengemukakan, “Suara Partai Demokrat merosot tajam, juga karena digempur habis-habisan oleh televisi dan media cetak.

Kedua, pemerintah SBY membiarkan enam stasiun televisi milik penguasa parpol melanggar perundang-undangan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan kewenangannya, menjelang hangatnya kampanye pemilihan legislatif, telah merilis penilaiannya bahwa TVOne, ANTV, RCTI, Global TV, MNCTV, dan Metro TV melanggar peraturan bahwa program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran yang bersangkutan dan atau kelompoknya.


Ketua KPI Judhariksawan, di Jakarta (2/6/2014), menjelaskan bahwa lima media televisi nasional dinilai tidak netral dalam menyiarkan kegiatan capres-cawapres. TVOne, RCTI, MNCTV, dan Global TV dinilai memberikan porsi pemberitaan lebih banyak kepada pasangan Prabowo-Hatta. Sementara itu, Metro TV dinilai memberikan porsi pemberitaan lebih banyak kepada pasangan Jokowi-Kalla.

Ketiga, kampanye hitam yang menyesatkan rakyat dibiarkan. Kini pun kampanye hitam yang meracuni benak rakyat kita sedang memasuki panggung media massa, utamanya lewat media sosial. Menurut Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, di Jakarta (22/5/2014), sepanjang 2014 terdapat 5.551 pemberitaan yang berkaitan dengan kampanye jahat. Sebanyak 1.515 ekspose berita kampanye jahat tentang capres Jokowi dan 743 kampanye jahat tentang capres Prabowo. Kampanye jahat didasarkan pada tuduhan tidak berdasarkan fakta dan merupakan fitnah.

SBY mengharapkan pers mengawal demokrasi. Untuk mengatasi persoalan media sebagaimana dikemukakan, sebagai sahabat pers, Presiden SBY pun diharapkan mengawal pers dalam melaksanakan tugasnya mengawal demokrasi. Pertama, kembali memberi contoh dengan mengadukan pers yang memfitnah ke Dewan Pers. Berita negatif yang terindikasi beriktikad buruk pun dapat di-KUHP-kan.


Kedua, pemerintah jangan membiarkan media televisi terbelah. Penegakan hukum terhadap stasiun televisi yang melanggar hukum bukan wewenang KPI atau Bawaslu. Pasal 36 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebut, “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.” Sementara itu, pasal 55 mengatur, pelanggar pasal di atas dapat berakibat terkena sanksi administratif.

Ketentuan pemberian sanksi berupa denda, penghentian siaran, pembekuan kegiatan siaran, atau pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran mestinya disusun oleh pemerintah. Karena ketentuan pemberian sanksi sampai sekarang belum juga dibuat oleh pemerintahan SBY, maka pelanggaran UU oleh sejumlah media televisi hingga kini masih terus berlanjut.

Hanya dengan adanya ketentuan pemberian sanksi bagi para pelanggar, maka temuan KPI bisa diteruskan ke jalur hukum. Pembiaran tanpa ketentuan pemberian sanksi oleh pemerintah selama ini adalah penyebab pers media televisi menjadi terbelah.


Ketiga, penegakan hukum terhadap pelaku kampanye hitam sungguh sangat mendesak. Karena kampanye hitam telah membodohi dan menipu masyarakat.

Presiden SBY sebagai the national policy and decision maker tidak cukup hanya berkicau lewat Twitter, “Saya tidak menginginkan jika kompetisi pilpres saling menghancurkan dengan kampanye hitam.” Presiden patut menugasi Polri dan BIN untuk menemukan pelakunya. Dulu Bakin selalu mengetahui ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan, bahkan sekecil jarum pun yang menerpa negeri ini. Publik perlu tahu pelakunya, kawan atau lawan, misalnya sisa-sisa G30S/PKI atau Nekolim?

Media sosial yang tidak jelas identitasnya dan sumbernya, dan kegiatannya menyebarkan dusta, fitnah, dan kebencian, sama saja dengan surat kaleng yang menyebarkan desas-desus dusta dan fitnah. Apabila Menkominfo berani memblokir media seperti itu tentu saja tidak melanggar HAM.

Sebagai sahabat pers, Presiden SBY perlu bekerjasama dengan pers untuk mengupayakan media agar tidak terbelah. Dengan demikian, pers mau dan mampu membangun demokrasi yang mempersyaratkan kematangan serta fair play.

Sabam Leo Batubara,
Wartawan Senior
TEMPO, 23 Juni 2014