Showing posts with label Setya Novanto. Show all posts
Showing posts with label Setya Novanto. Show all posts

Friday, October 13, 2017

The Power of Setya Novanto


Harus diakui, Setya Novanto memiliki kemampuan lobi diatas rata-rata. Sebagai pengusaha muda ia sempat melejit. Ia pun sukses berkiprah di panggung politik. Benarkah ia hebat?

Bulan Agustus tahun 1999, barangkali bulan yang paling gegap-gempita dalam catatan hidup Setya Novanto. Hari-hari belakangan ini, pengusaha muda yang selalu tampil necis dengan semerbak parfum ini bak seorang selebriti yang memancarkan aura popularitas. Ia diburu puluhan wartawan dalam negeri dan luar negeri. Kilatan lampu blitz dan sorotan kamera televisi kerap mengiringi ayunan langkahnya.

Bahkan, ketika berakhir pekan dengan putranya di bioskop pun ia tak lepas dari kuntitan wartawan. Para nyamuk pers ini setia menongkrongi kediamannya di Pondok Indah, Jakarta Selatan. “Saya capai, betul-betul capai,” ungkap Nova ––begitu ia akrab disapa–– sembari mengusap muka dengan kedua tangannya.

Belakangan ini, hampir semua media cetak dan TV memuat wawancara dan sepak terjangnya. Jangan salah, bukan popularitas yang didapat. Hujatan dan kecurigaan mengarah ke ayah sepasang putra-putri ini. “Bagi saya pribadi tak soal, saya sudah tahan banting,” ujarnya kalem. Ia mengaku tak bisa menikmati publikasi media akhir-akhir ini. Maklum, yang diberitakan bukan lagi prestasinya sebagai pengusaha. “Saya sedih karena dampak pemberitaan itu juga dirasakan keluarga saya,” tuturnya dengan wajah muram.


Suami Luciana Lily Herliyanti ini memang wajar menyimpan kegundahan. Akibat liputan pers akhir-akhir ini, orang tuanya jatuh sakit. “Kedua anak saya pun pulang sekolah menangis dan mengadu pada ibunya, apa dosa Bapak? Bapak ditangkap, ya? Bapak salah enggak sih?” ceritanya.

Masih dengan nada sedih, Nova mengungkapkan keprihatinannya kepada guru putrinya di sekolah bergengsi yang khusus untuk orang-orang berduit, Sekolah Global Jaya. “Kamu tanya bapakmu siapa,” ungkapnya. Ia mengaku akan protes keras kepada guru tersebut. Namun, setelah dijelaskan, buah hatinya, Rezha Herwindo (11 tahun) dan Dwina Michaela (9 tahun), bisa mengerti. “Yang jelas, saya tidak mungkin melakukan kesalahan dalam hal ini,” tandas menantu mantan Wakil Kapolda Jawa Barat, Brigjen Sudharsono ini.

Siang itu Nova yang mengenakan setelan celana dan jas dark blue terlihat muram dan kuyu. Gurat-gurat kelelahan tak bisa ia sembunyikan, meski ia berusaha rileks dan banyak mengumbar senyum. “Saya ngantuk sekali, saya mau cuci muka dulu, ya,” pintanya kepada SWA yang siang itu, Kamis 5 Agustus lalu (th 1999), menemuinya di ruang kerjanya yang cukup lapang dan tertata apik di Plaza Bank Mandiri, lantai 26.

Sembari berbincang-bincang, ia yang ditemani beberapa stafnya tak bisa duduk tenang. Ia kerap mondar-mandir antara meja tamu dan meja kerjanya. Bahkan, beberapa kali ia minta izin keluar ruangan. Entah apa yang dikerjakan. Ia pun beberapa kali menerima telepon masuk. “Gila, kasus ini benar-benar menguras energi saya. Dalam seminggu ini berat badan saya turun dua kilogram,” ungkapnya terus terang.


Kasus transaksi pembelian hak piutang Bank Bali (BB) ke Bank Dagang Nasional Indonesia oleh PT Era Giat Prima (EGP) yang mencuat awal bulan ini telah melambungkan nama Nova. Maklum, Chairman kerajaan bisnis Grup Nova ––menaungi sekitar 11 perusahaan–– dan wakil bendahara Partai Golkar ini adalah orang nomor satu di EGP. Seiring dengan bergulirnya kasus pembobolan Rp 905 miliar yang menghebohkan itu, nama “harum” pengusaha bershio kuda ini pun dipertaruhkan. Pasalnya, kasus BB bukan semata transaksi bisnis. Ditengarai, dana miliaran rupiah yang masuk kocek pribadi dan EGP digunakan untuk kepentingan partai berlambang beringin demi mengegolkan B.J. Habibie ke kursi presiden yang kedua kali. Tak urung, isu money politic pun semakin keras menghantam partai yang di zaman reformasi ini kabarnya menawarkan paradigma baru.

Selama ini, Nova yang 12 November mendatang (th 1999) berusia 44 tahun memang memiliki dua “wajah”. Sebagai pengusaha, ia dikenal binaan konglomerat Sudwikatmono. Ia dipercaya Pak Dwi ––begitulah ia menyapa sang suhu–– menjadi tangan kanannya untuk menggerakkan roda bisnis Grup Global Putera Nasional, pemilik 15 anak perusahaan.

Menurut Dwi, ia dua kali bertemu dengan Nova. Yang pertama, beberapa hari setelah kasus BB mencuat ke permukaan, dan yang kedua, pada Senin, 2 Agustus lalu (th 1999). Dwi menuturkan, Nova datang bersama seorang temannya bernama Nursalim. “Kami ketawa-ketawa saja, yang dibicarakan hanya urusan bisnis,” ungkapnya. Sayangnya, ia tidak merinci bisnis apa yang dibicarakan itu. Memang, Dwi menanyakan kasus BB, dan menurut pengakuan Nova, apa yang ia lakukan hanya bisnis biasa. Dwi menambahkan, “Saya rasa dia tidak bohong, orangnya jujur, dan sampai sekarang dia tidak pernah membohongi saya.


Terlepas dari kasus itu, Dwi bangga karena kini Nova sudah berhasil sebagai pengusaha. “Saya senang, dia maju. Tapi, saya tidak tahu-menahu dan tidak mengikuti kasus itu,” jelasnya. Saat ini, tambahnya, ia tidak membimbing Nova lagi. Ia hanya menasihatinya, agar berhati-hati dalam menjalankan bisnis debt collection, sebab “Bisnis itu banyak risikonya.

Juga, agar Nova tidak mencampuradukkan bisnis dengan politik. Berdasarkan pengalaman Dwi, Nova dan Joko Soegiarto Tjandra, bos Grup Mulia, memang punya kemampuan lobi di atas rata-rata. “Mereka hebat kalau meyakinkan orang. Menurut saya, mereka jago lobi, dua-duanya hebat,” jelasnya. Namun, dalam pengamatan Dwi, dibandingkan Nova, Joko lebih matang.

Sebagai pengusaha, pamor Nova cepat melejit. Sederet perusahaan pun berhasil dibangunnya, mulai dari jasa, resort, padang golf, real estate, hotel, kafe, kawasan industri, granit, sampai pertambangan. Bahkan, ia juga sukses menggandeng ––tepatnya digandeng–– sejumlah pengusaha besar.

Putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut juga mempercayakan kemudi PT Citra Permatasakti Persada di tangannya. Perusahaan yang mengelola surat izin mengemudi swasta di Polri ini ditengarai meraup untung gede.


Nama mantan Pria Tampan se-Surabaya tahun 1975 ini memang mulai mencorong setelah ia diangkat menjadi anak binaan Sudwikatmono. Sebelumnya, meski telah malang melintang di dunia bisnis, ia boleh dibilang bukan siapa-siapa. Menerjuni rimba bisnis ketika masih belia ––setamat SMA IX Jakarta–– putra ketiga dari 6 bersaudara ini berjualan beras dan madu bersama seorang temannya. “Untuk mengisi waktu karena saya terlambat ikut ujian masuk ke Universitas Airlangga, Surabaya,” ceritanya pada SWA beberapa waktu lalu.

Dengan modal Rp 82.500, ketika itu ia mengaku bisa kulakan tiga kuintal beras. Ketekunannya berusaha membuat ia bisa berjualan beras sampai dua truk yang langsung diambil dari pusatnya di Lamongan. Saat itu ia juga punya kios di pasar Keputren, Surabaya. Sayang, usaha tersebut tak bertahan lama. Predikat juragan beras pun terpaksa ditanggalkannya karena mitra usahanya mulai tidak jujur. Toh, pehobi tenis meja ini tak lantas patah arang. Bersama putra Direktur Bank BRI Surabaya, Hartawan, Nova mengibarkan bendera CV Mandar Teguh. Seiring dengan itu, ia pun ditawari bekerja oleh bos PT Sinar Mas Galaxi –dealer Suzuki untuk Indonesia Bagian Timur– sebagai salesman. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Ia pun memilih membubarkan CV yang baru seumur jagung. Keputusan tersebut tak dinyana malah mengantarkannya ke tangga sukses. Dalam waktu relatif singkat, berkat kepiawaiannya menjual, Nova yang waktu itu berusia 22 tahun dan tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Widya Mandala Surabaya dipercaya menjadi Kepala Penjualan Mobil untuk wilayah Indonesia Bagian Timur.

Toh, kesuksesan itu tak menyurutkan cita-citanya menjadi pengusaha. “Itu cita-cita saya sejak kecil,” ungkapnya. Dengan jujur dan berani sebagai pijakan bisnisnya, ia pun melanglang belantara bisnis. Dengan niat melanjutkan kuliahnya dan meluaskan cakrawala bisnisnya, ia hijrah ke Jakarta. Di sela-sela kegiatannya sebagai mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas Trisakti, Jakarta, ia tetap menjalankan kiprahnya sebagai pengusaha. Dibantu istri tercinta, ia mengembangkan pompa bensin milik mertuanya di Cikoto, Tangerang.


Bisnisnya terus merambah. Bersama beberapa rekannya ia mendirikan PT Obor Swastika yang mengusahakan peternakan. Lewat usaha inilah putra perwira AURI ini mengenal jasa bank. Ia mendapat suntikan dana sebesar Rp 200 juta dari Bank Dagang Negara. Langkahnya pun makin maju seiring intuisi bisnisnya yang makin tajam. Kemashyuran nama mertua pun secara tak langsung membantu bisnisnya. Pabrik tekstil Naintex di Bandung mempercayakan pengadaan bahan baku tekstil maklon kepadanya. Tak sampai di situ, ia pun berhasil menembus pabrik kertas PN Padalarang dan PN Sandang dengan memasok pulp bahan baku kertas. “Saat itu saya mulai berkenalan dengan mitra dagang dari mancanegara,” ceritanya.

Rupanya Dewi Fortuna terus mendampinginya. Masih di tahun 1980-an, ia berhasil mendapatkan tender pembangunan kawasan industri kayu Marunda, Jakarta Utara. Ia mengaku tak gampang memenangkan tender senilai Rp 1,6 miliar tersebut. Menurut pengakuannya, ia mesti menongkrongi kantor Wali Kota Jakarta Utara sejak pagi hari. Soalnya, ia empat kali gagal menemui Pak Wali Kota. Berkat kegigihan dan tangan dinginnya, bisnisnya terus melaju kencang. Ia pun tak berhenti hanya sebatas jadi kontraktor. Ia melangkah pula ke bidang transportasi dan industri lewat PT Duta Kencana Bakti dan PT Citra Wahana.

Perjalanan membangun bisnisnya memang tak selalu mulus. Ia juga kerap mendapat kendala. Toh, ambisinya menjadi pengusaha besar tak goyah. “Saya malah semakin tertantang,” katanya kalem. Pengalaman dianggapnya merupakan pelajaran yang paling berharga. Dari pengalaman ia menilai, kekuatan lobi menjadi bagian dari kunci sukses usaha. Karenanya, ia mulai menebar jaring dengan menjalin persahabatan kepada para pejabat tinggi dan pengusaha besar. Ia mendekati orang-orang yang dekat dengan mereka, seperti ajudan, sekretaris pribadi, sampai bawahan si pejabat.


Sifat pantang menyerah sepertinya melekat dalam jiwa Nova. Keteguhan dan kegigihannya makin teruji ketika ia berniat mendekati Sudwikatmono. Usai menyelesaikan proyek Nagoya Plaza Hotel di Batam yang menelan investasi Rp 8,5 miliar (th 1986) bersama tiga pengusaha Indonesia, ia melihat kawasan Pulau Batam potensial dikembangkan menjadi daerah wisata. Untuk mewujudkan impiannya, ia melirik sang taipan itu. Soalnya, tanah yang diincarnya di Pantai Nongsa, Batam, adalah milik Dwi, Ciputra dan Liem Sioe Liong. “Saya baru bisa bicara dengan Pak Dwi setelah berhari-hari mencegatnya di lapangan parkir,” ceritanya. Malahan, sebelum ketemu Dwi, ia mengaku telah mengumpulkan sejumlah bekal menyangkut biodata Dwi dan jurus-jurus jitu meyakinkannya.

Kesabaran dan ketahanan mental yang luar biasa memang. Akhirnya, kegigihannya membuahkan hasil. Ia tak cuma bisa mewujudkan impiannya membangun Talvas Resort Island Batam –padang golf bertaraf internasional seluas 2x18 hole di atas tanah seluas 400 hektare yang menelan investasi US$ 100 juta. Ia pun mampu meyakinkan Dwi bahwa ia patut menjadi anak didiknya. “Karena krisis, proyek pembangunan resort dan hotelnya agak tertunda,” jelasnya. Kerjasamanya dengan Dwi lewat PT Pan Island Development tersebut –patungan pengusaha Indonesia (40%, yang 30% dimilikinya bersama Dwi dan Komatsubara Kensha Jigyodan Co, Jepang (60%)– semakin melekatkan pertalian antara keduanya.

Sang guru rupanya semakin kepincut dengan semangat tinggi si murid. Proyek-proyek prestisius lainnya pun mulai mereka garap, seperti bidang telekomunikasi (PT Putri Selaka Kencana), proyek real estate dan kawasan industri di Batam yang menggandeng mitra dari Taiwan, Ericaro Industrial Development, industri water pump dan paper cup juga di Batam, dan pembangunan hotel dan kota satelit di Palembang. “Sampai saat ini saya masih bermitra dengan Pak Dwi,” ujarnya menampik tudingan “anak durhaka”, yang dialamatkan kepadanya. Di matanya, Dwi tetap gurunya. “Saya hormat dan bangga padanya. Beliau yang mendidik saya. Segala usaha saya tak lepas dari peran beliau,” tuturnya.

Setya Novanto dibalut selendang batik, hasil karya seniman Photoshop, Agan Harahap.

Angin reformasi yang merubuhkan kekuasaan Soeharto pada Mei 1998 yang berdampak pada perubahan politik dinilainya juga mempengaruhi iklim bisnis di Indonesia. “Kalau dulu kami masih bisa berbisnis dengan para senior, seperti Pak Eka Wijaya, Pak Dwi, Pak Prajogo, kenyataannya mereka sekarang pada ambruk semua,” ungkapnya lirih. Karenanya, ia melihat perubahan besar terjadi pada peta bisnis di Indonesia. “Sekarang beralih ke generasi muda yang berarti ada perubahan pemikiran,” tuturnya sembari mencomot kudapan yang tersedia di atas meja tamu.

Ia menjelaskan, bisnis-bisnisnya pun tak luput dari hantaman krisis ekonomi. “Ya, efisiensi di sana-sini,” katanya. Ia mengaku beberapa proyeknya memang ditunda, seperti proyek real estate di Batam dan sejumlah proyek lainnya. Sayangnya, ia menampik merincinya. “Ya, adalah beberapa,” tambahnya. Sementara core business Grup Nova dikatakannya masih tetap di bidang industri, investment company (EGP), pariwisata, properti dan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, di antaranya ke Arab Saudi. “Yang menjadi andalan bisnis ekspor damar kucing (bahan untuk cat) ke New York,” jelasnya.

Selain dikenal sebagai pengusaha, peraih ASEAN Entrepreneur Award 1993 ini juga dikenal luas sebagai politisi dan aktif di organisasi keolahragaan.

Memang, kedekatannya dengan Dwi membuat jalan baginya semakin mulus. Ia dengan mudah bisa melobi kalangan pejabat tinggi dan pengusaha besar lainnya. Berkat Dwi pula, ia bisa dipercaya menduduki kursi Bendahara Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Ia pun pernah tercatat sebagai Pembina Golf Putra-Putri ABRI dan Pembina Olahraga Generasi Muda Kosgoro (1995). Sederet jabatan lainnya pun pernah mampir di pundaknya, sebut saja Bendahara Lemkari (1997), Bendahara Proyek Sea Games XVIII/1995, Bendahara Proyek Olympic Games XXVI/1996 dan Wakil Bendahara PON XIV/1996.


Di panggung politik, kiprahnya dimulai sebagai kader Kosgoro (1974). Lewat organisasi massa inilah ia menjalin persahabatan dengan mantan Menpora Hayono Isman yang telah dikenalnya ketika sama-sama menjadi siswa SMA IX, Jakarta. Dalam satu kesempatan ia mengaku merasa memperoleh binaan dari tiga orang. “Sudwikatmono adalah pembina usaha saya, Hayono Isman membina saya dalam politik, dan Wismoyo Arismunandar (jenderal purnawirawan, kini Ketua KONI, Red.) membina wawasan pengabdian pada bangsa dan negara,” tuturnya bangga. Toh, Hayono menilai lain. “Dia baru belajar politik,” ujarnya.

Belakangan kedekatan mantan Ketua Umum Badan Musyawarah Pengusaha Swasta Kosgoro dan anggota Pimpinan Pusat Kolektif Kosgoro ini dengan putra pendiri Kosgoro itu retak. Pasalnya, ia menuduh Hayono berada di balik kebijakan supaya Kosgoro memisahkan diri dari Golkar. Hayono yang kemudian keluar dari rimbunan Pohon Beringin akhirnya bergabung dengan Partai Keadilan dan Persatuan yang dimotori mantan Pangab dan Menhankam Edi Sudrajat. Sementara Nova memilih mengundurkan diri dari Kosgoro dan tetap “berlindung” di kerindangan partai tersebut sampai akhirnya pada Munaslub Partai Golkar, Juli tahun lalu, ia terpilih sebagai Wakil Bendahara dan Ketua Korwil IV. Kini, ia juga tercatat sebagai calon legislatif jadi dari daerah Timor-Timur yang dalam waktu dekat akan melakukan jajak pendapat untuk menentukan nasibnya sendiri.

Politik ini pendidikan kader sebenarnya yang akan mengasah kita untuk bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan yang jernih kepada perjuangan rakyat Indonesia,” jelasnya. Ia menambahkan, dengan terjun ke gelanggang poltik ia menjumpai pengalaman yang luas. Toh, ia menampik punya ambisi.

Dengan begini saja, sudah cukup,” ujarnya sembari tertawa. Menurutnya, ada bagusnya pengusaha terjun sebagai politisi. “Bisa memberikan nuansa yang bijaksana dalam pengambilan keputusan,” tandasnya. Ketika ditanya apakah politik ia pakai sebagai kendaraan untuk meraih sukses, Nova tertawa. “Wah, kalimat yang bagus. Apa tadi, jangan menggunakan politik sebagai kendaraan untuk menuju sukses. Kalimat bagus, tolong dicatat, nanti saya pasang gede-gede,” pintanya kepada salah seorang stafnya yang serta-merta mencatat kalimat tersebut pada secarik kertas.

Sumber:
Harmanto Edy Djatmiko 
Reportase: Firdanianty, Sudarmadi dan Albert Weldison.
Riset: Tantri Riyanthi.
Sajian Khusus Majalah SWA (Setya Novanto),
Majalah SWA Edisi 16 Tahun 1999

Tuesday, December 22, 2015

Freeport dan Bisnis Orang Kuat


Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan salah satu politisi Senayan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan DPR-RI yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapat jatah 20,64 persen saham PT Freeport Indonesia yang didivestasikan ke pihak nasional (pemerintah pusat, daerah, BUMN-BUMD, dan swasta nasional).

Politisi itu juga meminta jatah 49 persen saham PLTA Urumuka, sebuah PLTA yang direncanakan menjadi pembangkit listrik terbesar di Indonesia. Permintaan itu muncul dalam transkrip pembicaraan antara politisi, salah satu pengusaha, dan perwakilan Freeport. Jika Freeport sepakat dengan permintaan politisi itu, maka raksasa tambang asal Amerika Serikat itu bisa mengakumulasi modal dari kekayaan tambang emas dan tembaga di Grasberg, Papua, sampai tahun 2041.

Freeport memang sedang melakukan renegosiasi kontrak; penerimaan negara, luas lahan, perpanjangan kontrak, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dalam negeri, dan kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri dengan pemerintah. Renegosiasi adalah meninjau kembali kontrak-kontrak lama yang dianggap merugikan negara. Renegosiasi kontrak adalah perintah konstitusi UUD 1945 yang mengamanatkan pertambangan strategis perlu dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat.

Menteri ESDM Sudirman Said.

Namun, sampai saat ini, Freeport dan pemerintah belum sepakat untuk membangun smelter di Papua. Freeport bersikukuh tetap membangun smelter di Gresik, Jawa Timur, berpartner dengan Mitsubishi Material Corp. Pembangunan smelter baru ini juga untuk mengantisipasi produksi tembaga dari tambang underground; Deep Ore Zone Block Cave, Big Gossan, Deep Mill Level Zone Block Cave, dan Grasberg Block Cave, sebesar 24.000 pound tembaga tahun 2018.

Padahal, pilihan lokasi pembangunan smelter di Gresik tak adil. Antara Papua dan Gresik adalah jarak yang jauh. Melintasi pulau yang jauh dan melewati lautan luas minus infrastruktur laut. Lokasi yang jauh membutuhkan logistik pengangkutan. Pilihan lokasi pembangunan smelter di Gresik menyebabkan Papua kehilangan kesempatan investasi karena produk ikutan dari tembaga sangat banyak.

PT Smelting yang berkapasitas 300.000 ton, misalnya, memproduksi sulfuric acid (920.000 ton per tahun), gypsum (35.000 ton, untuk industri semen), copper slag (655.000 ton untuk semen dan beton), anode slime (1.800 ton untuk pemurnian emas dan perak), dan copper telluride (50 ton, untuk semikonduktor). Jika smelter baru dibangun di Mimika, Papua mendapat untung besar karena produk ikutan itu akan membuka ruang bagi mekarnya proses industrialisasi di Papua.

Ketua DPR Setya Novanto, Presiden Joko Widodo, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin.

Bukan hanya smelter. Freeport dan pemerintah juga belum sepakat soal masa berakhir kontrak. Freeport meminta perpanjangan kontrak sampai 2041, sementara kontrak berakhir hanya sampai 2021. Ruang bagi perusahaan milik negara seperti PT Aneka Tambang Tbk untuk mendapat saham yang didivestasikan Freeport Indonesia juga tertutup karena ketiadaan dana untuk membeli saham Freeport yang amat mahal itu.

Boleh jadi, itulah sebabnya mengapa DPR tak sepakat dengan upaya pemerintah memasukkan injeksi modal senilai 3 miliar dollar AS dalam APBN 2016. Padahal, injeksi modal itu sangat penting bagi perusahaan milik negara untuk mendapat saham Freeport sehingga BUMN menjadi kuat. Sayangnya, pemerintah dan politisi cenderung mendivestasikan saham Freeport melalui penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) di pasar modal yang tak mungkin bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat, tetapi hanya untuk kesejahteraan politisi dan pemodal yang memiliki uang banyak dan memiliki akses ke bank untuk membeli saham Freeport.

Sudirman Said, Muhammad Riza Chalid, Setya Novanto.

Bisnis orang kuat
Tambang Grasberg adalah tambang paling menguntungkan di dunia. Pada akhir tahun 2010, Freeport menghasilkan penjualan 6,72 miliar dollar AS untuk Freeport McMoRan. Tambang itu juga menghasilkan laba kotor sebesar 4,17 miliar dollar AS pada akhir tahun 2010. Cadangan tembaga mencapai 33,7 juta pound dan emas mencapai 33,7 juta ons, selain sekitar 230.000 ton ore milled per hari.

Saking kayanya tambang Grasberg, sehingga merangsang setiap orang ingin mendapat keuntungan dari Freeport. Tak banyak publik di Tanah Air yang paham bahwa banyak juga pebisnis lokal yang turut mendapat keuntungan dari operasi tambang Grasberg. Perusahaan-perusahaan lokal ini tak terjun langsung dalam operasi produksi, tetapi mereka hanya menyediakan jasa, berupa penyedia jasa pelabuhan untuk bongkar-muat bahan tambang, jasa pemasok BBM, sampai pada jasa pemasok katering untuk ribuan karyawan Freeport Indonesia. Itulah sebabnya mengapa politisi Senayan meminta jatah 49 persen saham PLTA Urumuka.

PT Ancora International Tbk (OKAS), misalnya, menyediakan pasokan ammonium nitrate (bahan peledak) sebesar 40.000 ton tahun 2011 dan meraup pendapatan Rp 281 miliar dari Freeport. PT Kuala Pelabuhan Indonesia (anak usaha PT Indika Energi Tbk) menyediakan jasa pelabuhan dan untung Rp 233 miliar pada tahun 2011. Darma Henwa (Bakrie Group) mengantongi kontrak senilai 11 juta dollar AS untuk membangun dua terowongan 4,8 kilometer dan akses jalan 4.000 meter. Sementara Pangan Sari Utama menyediakan katering seluruh karyawan Freeport. Bisnis ini tentu bukan bisnis kecil, tetapi bisnis ratusan miliar rupiah.

Jejaring Bisnis Muhammad Riza Chalid.

Semua perusahaan-perusahaan di atas adalah milik orang-orang kuat di Republik ini. Freeport adalah bisnis orang kuat; politisi, penguasa partai politik dan pengusaha yang memiliki akses dekat dengan penguasa atau yang memiliki nilai tawar besar dengan pemerintah.

Pola kerja sama Freeport dengan perusahaan-perusahaan lokal tergantung dari rezim yang memimpin Republik. Pada zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Freeport Indonesia lebih memberi karpet merah kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional yang dekat akses kekuasaan. Sementara pada zaman pemerintahan Jokowi-Kalla, pola kerja sama itu kelihatannya akan bergeser ke perusahaan milik negara (BUMN). Pergeseran ini boleh jadi karena pemerintahan Jokowi-Kalla mau memberi ruang besar kepada perusahaan BUMN dalam membangun negeri ini.

Freeport Indonesia telah melakukan penjajakan kerja sama dengan PT Bukit Asam (Tbk), PT Pindad, dan PT Bahana untuk meningkatkan penyerapan penggunaan barang dan jasa dalam negeri atau lokal konten dengan harga yang kompetitif. Direktur Utama PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin mengatakan realisasi belanja lokal Freeport Indonesia per 10 Juli 2015 mencapai 422 juta dollar AS. (Baca Kontan.co.id, 20/9/2015)

Anak-anak Papua, pemilik sejati bumi Papua, termasuk segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Jika kerja sama dengan BUMN terealisasi, perusahaan-perusahaan seperti Ancora Resources dan AKR Corporindo merugi. Begitupun jika Freeport diwajibkan membangun smelter di Papua, maka PT Kuala Pelabuhan Indonesia (PT Indika Energi Tbk) yang menyediakan jasa pelabuhan untuk Freeport tak dapat mengais untung lagi dari Freeport. Begitupun perusahaan jasa pengangkutan konsentrat, seperti Meratus Line (Charles Menero), akan merugi karena tak bisa mengangkut konsentrat dari Mimika menuju smelter Freeport di Gresik.

Ketika pemerintah pada Januari 2014, mengeluarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah ke luar negeri, pasti banyak perusahaan pengapalan yang mendapat jatah bisnis dari Freeport berteriak kencang, karena tak ada lagi pasokan bahan tambang untuk diekspor.

Perusahaan lokal yang mendapat untung dari Freeport tentu bukan karena faktor kompetensi dan kinerja mereka dalam bidangnya masing-masing. Jika begitu soalnya, tentu masih banyak perusahaan lokal lain yang lebih kompeten dari mereka. Perusahaan itu justru menjadi mitra bisnis Freeport karena pemiliknya adalah orang-orang kuat di negeri ini.


Bagi Freeport, mendapat mitra bisnis yang dekat dengan penguasa akan mempermudah ekspansi bisnis mereka di Grasberg. Keamanan investasi mereka juga bisa terjaga dan tekanan pebisnis lokal untuk menyerukan nasionalisasi Freeport mengecil. Sementara, bagi penguasa, masuknya perusahaan lokal untuk berbisnis dengan Freeport sebagai balas budi karena memang mereka telah banyak mengeluarkan dana ketika kampanye pemilihan pemimpin negeri ini.

Korporasi lokal-global kemudian bahu-membahu membendung renegosiasi kontrak. Padahal, baik korporasi global maupun korporasi lokal memiliki karakter sama. Dua-duanya tak dapat menjamin keadilan sosial, mengangkat derajat kaum miskin alias membunuh demokrasi dengan bendera logika kepentingan diri (self-interest). Jika renegosiasi kontrak gagal, pemerintah kehilangan momen mengembalikan amanat konstitusi UUD 1945 dan korporasi tetap permanen menjarah habis kekayaan alam negeri kita di Grasberg, Papua.

Kesejahteraan rakyat terbengkalai, lingkungan tak terurus, dan pembagian keuntungan tak adil. Pelanggaran hak asasi manusia, seperti tragedi kematian yang merenggut nyawa 28 pekerja di lubang tambang Big Gossan (14/5/2013) milik Freeport diabaikan begitu saja. Semua itu terjadi karena multi-kepentingan yang ingin mengais untung dari Freeport.

Karikatur Presiden AS, Barack Obama yang menguras emas Papua melalui Freeport.

Kembalikan martabat konstitusi
Langkah Menteri ESDM melaporkan politisi Senayan yang ingin mendapat jatah bisnis Freeport perlu kita dukung. Langkah itu penting untuk membongkar kepentingan politik yang menghambat renegosiasi kontrak dan sebagai bagian dari reformasi tata kelola kelembagaan DPR. DPR bertugas mengawasi kinerja pemerintah untuk mempercepat renegosiasi kontrak Freeport agar tak keluar dari konstitusi UUD 1945. Renegosiasi harus dapat meningkatkan penerimaan negara agar rakyat sejahtera.

DPR seharusnya mengawal kinerja pemerintah agar Freeport membangun smelter di Papua, bukan bekerja meminta jatah saham atau menarik untung berbisnis bersama Freeport. Pembangunan smelter di Papua dapat meningkatkan efek pengganda (multiplier effect) bagi pembangunan dan mengurai kesenjangan pembangunan di Papua. Pembangunan smelter di Papua penting untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, termasuk Papua.

Nasionalisasi Freeport memang tak mudah karena pemerintah harus berhadapan dengan multi-kepentingan, baik kepentingan dari negara asal Freeport, Amerika Serikat, maupun pengusaha lokal yang mengais untung dari Freeport. Maka, butuh pemimpin tegas dan kuat untuk mengembalikan kedaulatan tambang kita di Grasberg ke pangkuan konstitusi UUD 1945. Pemimpin tegas tak akan loyo berhadapan dengan kekuatan asing dan oligarki politik lokal.


Demi mengembalikan martabat konstitusi UUD 1945, Presiden perlu mengambil keputusan tegas agar tak memperpanjang kontrak karya Freeport setelah tahun 2021, jika perusahaan itu tak mau membangun smelter pengolahan tembaga di Papua, mendivestasikan saham ke pihak nasional, menciutkan luas lahan, dan menaikkan penerimaan negara, sesuai dengan isi poin renegosiasi kontrak.

Akhirnya, Presiden harus diingatkan bahwa tambang di mana saja akan habis cadangannya jika dieksploitasi besar-besaran. Penurunan deposit tambang, seperti tembaga menunjukkan bahwa sektor pertambangan selalu ada titik puncak berhenti berproduksi. Investor hanya menginvestasikan modalnya pada saat lokasi pertambangan masih memiliki potensi tinggi. Setelahnya, mereka akan melepaskan areal pertambangan dan meninggalkan kerak-kerak tambang tanpa adanya reklamasi pasca tambang.

Ferdy Hasiman,
Guru Besar di Bidang Antropolinguistik;
KPS Linguistik S-3 Universitas Hasanuddin

KOMPAS, 20 November 2015