Wednesday, February 12, 2014

Menata Kembali Indonesia


Saat ini, mulai banyak orang Indonesia yang optimistis bahwa Pilpres 2014 akan membawa harapan bagi masa depan Indonesia. Jun Honna, pengamat Indonesia dari Universitas Ritsumeikan, Jepang, menyebut optimisme tersebut sebagai ‘efek Jokowi’ yang dipercaya setidaknya akan menyebabkan perubahan politik yang sangat penting terkait dengan konsolidasi demokrasi di negeri ini (Kompas, 15/1/2014).

Fenomena munculnya Jokowi sebagai seorang ‘non-elite’ yang memperoleh dukungan luas dan fanatik dari masyarakat untuk menjadi presiden tentu saja dihadapkan pada tantangan untuk mengubah konstelasi perpolitikan Indonesia yang selama era reformasi masih dikuasai para elite (politik dan ekonomi) produk Orde Baru.

Selain itu, terdapat beberapa tantangan besar yang berkaitan langsung dengan kecenderungan berupa merebaknya privatisasi ekonomi, yang dalam beberapa bidang telah menyebabkan lumpuhnya fungsi negara sebagai penyedia kesejahteraan dan pusat pelayanan publik. Dalam bentuknya yang paling buruk, negara bahkan ditengarai telah menjadi fasilitator kepentingan (neokolonialisme) asing.

Dalam membendung arus deras globalisasi neoliberal dan konteks nasional yang melingkupinya, gagasan kesejahteraan yang berarti penguatan kembali peran publik negara terasa perlu kembali dimunculkan (Tim Triloka, 2011).

Perwujudan neoliberalisme yang telah merambah ke hampir seluruh sendi kehidupan ekonomi negeri ini sangat pantas untuk ditinjau ulang. Sementara itu, langkah deprivatisasi dan nasionalisasi beberapa aset nasional perlu dikaji kelayakannya. Secara umum pembangunan ekonomi butuh reorientasi agar lebih berbasis kepada kedaulatan bangsa dan keberlanjutan sumber daya alam.


Meraih kembali kedaulatan
Misi menata kembali Indonesia tentu saja merupakan pekerjaan besar yang harus dipikul oleh seluruh komponen kekuatan bangsa. Untuk itu, dibutuhkan peta jalan (road map) dengan berbagai sasaran antara yang segera ingin dicapai. Sebagai pendekatan tematik, setidaknya perlu diprioritaskan enam sektor berikut, yaitu pangan dan pertanian, energi, usaha mikro dan kecil, pendidikan, kesehatan serta ketenagakerjaan.

Isu ketahanan pangan, yakni kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga dengan mutu dan jumlah yang aman, merata, dan terjangkau, seperti tercantum dalam UU No 7/1996 tentang Pangan adalah bagian dari isu kedaulatan pangan yang harus ditekankan. Selama rezim Orde Baru, pendekatan pengembangan sektor pertanian mengikuti ‘revolusi hijau’ yang berbasiskan kepada pupuk dan pestisida kimia, bibit hibrida, serta teknik budidaya monokultur yang ternyata telah menimbulkan banyak masalah. Selama ini, dalam era reformasi persoalan ketergantungan input produksi dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya bukan saja belum teratasi, melainkan kebijakan sektor pertanian kita nampaknya menjadi semakin jauh untuk melayani kepentingan industri besar dan pemilik modal.

Dampaknya, Indonesia masuk ke food trap (jebakan pangan) negara maju dan kapitalisme global. Selain beras, tujuh komoditas utama non-beras yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor.

Ketergantungan lainnya, berkaitan dengan energi, khususnya pada energi fosil. Harga minyak bumi yang terus melambung, penggunaan energi yang boros, subsidi BBM dan listrik yang masih berlanjut, pertumbuhan penduduk dan kebutuhan energi yang terus meningkat, merupakan permasalahan energi nasional yang tak kunjung selesai.


Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa lebih dari separuh kebutuhan energi Indonesia dipenuhi dari minyak bumi. Saat ini, Indonesia memiliki cadangan total minyak bumi yang meliputi cadangan terbukti dan cadangan potensial, sekitar 10 miliar barel. Jika tingkat produksi minyak rata-rata sebesar 450 juta barel per tahun, cadangan minyak kita akan kering dalam 20 tahun.

Dengan demikian, perlu upaya untuk mengembangkan sumber energi terbarukan (mikro hidro, biomassa, biogas, gambut, energi matahari, arus laut, dan tenaga angin) sehingga di masa mendatang bangsa Indonesia tidak akan mengalami kekurangan pasokan energi. Menurut catatan kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, negara ini setidaknya memiliki 62 jenis tumbuhan penghasil minyak untuk energi.

Bagaimana dengan perdagangan? Ternyata, porsi sektor informal dalam kegiatan perdagangan di Indonesia mencapai di atas 95%. Upaya pengembangan kewirausahaan di Indonesia sangat terkait dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), yang pada umumnya merupakan pengisi sektor informal, dan bagian dari gerakan koperasi. Koperasi dan UMKM merupakan representasi rakyat Indonesia dalam kehidupan ekonomi. Karena itu, perlu diberikan prioritas yang tinggi dalam pembangunan nasional.

Terutama UMK (usaha mikro dan kecil), yang memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif dan komparatif khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam. Sektor tersier UMK, yaitu perdagangan, pariwisata, dan industri boga, dengan investasi yang sama mampu menyerap tenaga kerja yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan usaha menengah dan besar. Oleh karena itu, secara prospektif, UMK sebenarnya dapat tumbuh lebih cepat asal ada kebijakan yang efektif dan tepat guna dari pemerintah.


Meningkatkan sumber daya
Permasalahan lainnya berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah tingginya jumlah pengangguran, minimnya perlindungan hukum, upah yang kurang layak, dan rendahnya pendidikan buruh. Data menunjukkan secara jelas, bahwa lebih dari 75% pekerja Indonesia berpendidikan SLTP ke bawah, tanpa keterampilan khusus. Bagi kalangan investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia, sajian data ini akan menghadirkan suatu pengertian bahwa jenis industri yang potensial dikembangkan di Indonesia adalah jenis industri manufaktur padat karya (garmen, tekstil, sepatu, elektronik).

Selama lebih dari 35 tahun, pemerintah Indonesia percaya dengan jenis investor ini, sampai kemudian disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah jenis industri yang paling gemar melakukan relokasi.

Dalam dua dekade terakhir kualitas manusia Indonesia telah mengalami kemerosotan yang parah dan menjadi yang paling rendah di Asia Tenggara. Selain kualitas, pendidikan kita juga menghadapi masalah kuantitas. Tahun lalu, dari 118.108 siswa SD yang mengikuti general test di Jakarta, misalnya, sebanyak 34.313 tidak diterima di SLTP negeri. Bila ingin melanjutkan sekolah, mereka harus mendaftar ke sekolah swasta yang lebih mahal. Padahal, bisa diduga, sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga paspasan, yang boleh jadi mengalami kesulitan belajar karena kekurangan gizi, misalnya.

Kenyataannya, sekitar 27% balita di Indonesia mengalami gizi buruk. Sementara itu, angka kematian balita (AKB) dan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN. Tingginya kasus gizi buruk yang dialami calon generasi penerus bangsa ini sangat berbahaya bagi peningkatan kualitas pembangunan negeri ini.

Menata kembali Indonesia, idealnya berdasarkan jiwa, semangat, nilai dan konsensus dasar berdirinya Republik ini seperti yang tersurat dalam Mukadimah dan Pasal 33 UUD ‘45. Pembangunan berkeadilan ditorehkan sebagai arah besarnya dengan agenda dan program pembangunan yang dicanangkan untuk mencapai keadaan masyarakat yang sejahtera melalui kedaulatan pangan dan energi, penciptaan kesempatan kerja, penghapusan kemiskinan, dan pengurangan berbagai bentuk ketimpangan.

Ivan Hadar,
Direktur Institute for Democracy Education (IDE),
Koordinator Target MDG (2007-2010)

MEDIA INDONESIA, 5 Februari 2014

No comments: