Monday, February 17, 2014

Rezim Media di Pemilu 2014


Pemilu 2014 segera terlaksana. Ruang publik terutama media massa kian gegap gempita dengan perang opini, terpaan citra, adu prestise, bahkan relasi antagonistik antar-kekuatan yang bertarung. Publisitas dan kampanye politik terasa semakin menyesakkan isi media kita. Siaran televisi merupakan satu di antara media yang harus mendapatkan perhatian serius berbagai pihak, agar hegemoni pengusaha-politisi yang menjadi pemilik media tak semakin merugikan kepentingan publik.

Penonton televisi kita diprediksi akan terus meningkat seiring kian bergairahnya industri penyiaran di Indonesia. Aneka ragam program siaran tersaji dan menerpa khalayak hampir sepanjang hari. Eksistensi industri televisi pun kian kompetitif seiring terintegrasinya stasiun-stasiun televisi ke jaringan usaha para konglomerat yang tak hanya berhitung bisnis melainkan juga politis. Jika di Pemilu 2004 para pengusaha media lebih banyak berposisi sebagai pendukung atau tim pemenangan, maka pada Pemilu 2014 kali ini, mereka justru banyak yang menjadi petarung di gelanggang utama.

Tak dapat disangkal, kita memang mengalami lompatan sosial (social jumping) dari budaya agraris ke masyarakat informasi yang belum matang. Maksudnya, masyarakat yang masih rendah tingkat literasi medianya, langsung diterpa pola tontonan serba-wah yang menina-bobokkan kesadaran khalayak. Jadilah bangsa kita sebagai bangsa penonton berat (heavy viewers) yang kerap kali mudah terkooptasi dan terdominasi oleh tayangan televisi. Sekaligus khalayak juga dibikin “tak berkutik” alias tunakuasa untuk melakukan kritisisme atas beragam pengetahuan dan mungkin juga “sampah” informasi yang setiap hari dihantarkan televisi hingga ke ruang-ruang keluarga.

Inilah salah satu konteks paling krusial yang harus dibaca para akademisi, lembaga regulator independen semacam Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Dewan Pers, para pekerja media sekaligus para politisi dan penyelenggara negara. Secara akademik memang telah menempatkan posisi media hanya memiliki efek terbatas (limited effect) seperti tergambar dalam riset Paul Lazarsfeld yang dikenal dengan “Erie County Study” pada tahun 1940. Dari 600-an responden dalam riset itu, hanya 54 orang saja yang mengalami perubahan perilaku pemilihan (voting behavior). Tapi, yang kita belum tahu, akan samakah jika hal tersebut terjadi di Indonesia meski bangsa ini sudah lama merdeka dan merengkuh kebebasan pers?


Konteks Politik
Titik perbedaan kita dengan di Amerika adalah cara penonton kita mengonsumsi media yang mengalami lompatan. Literasi media yang rendah tentu juga akan berpengaruh pada minimnya literasi politik. Dampaknya, media terutama televisi begitu leluasa melakukan penetrasi pada persepsi masif khalayak dan memposisikan penonton sebagai obyek. Penonton adalah obyek yang diterpa terus-menerus (dibombardir) tanpa diberi “ruang kesadaran” untuk bertanya yang memadai.

Bisa jadi, kelas menengah terdidik sudah merasa jengah dengan dominasi rezim media semacam itu, tetapi mereka yang awam dan marginal tentu saja masih akan sulit untuk keluar dari jeratan dan pesona media ini. Meskipun, belum tentu aktor yang berada di balik terpaan media tersebut, berhasil dan sukses dalam mengkonversikan beragam program televisi menjadi sejumlah suara nyata dalam pemilu.

Secara politik, bilik suara menjadi wilayah pertempuran baru, misalnya, antara kelompok yang punya “gizi” dan yang kurang “gizi” atau antara mereka yang memiliki instrumen pengendalian sistem pemilu dengan mereka yang tidak. Di situlah letak penuh paradoks pemilu kita yang hingga kini masih belum terurai dengan baik. Idealnya memang perubahan perilaku memilih warga itu berbasis indikator-indikator rasional. Misalnya, tawaran program partai, gagasan dan kapasitas caleg maupun capres. Hanya saja subordinasi rezim media kerap kali justru mereduksi fungsi media yang semestinya merupakan referensi penting perang gagasan dan program menjadi sekedar alat propaganda dan manipulasi politik.


KPI Bekerjalah!
Masuknya Hary Tanoesoedibjo pemilik grup besar Media Nusantara Citra (MNC) yang antara lain menguasai RCTI, MNC-TV, Global TV, SINDO radio, dan sejumlah media cetak (koran SINDO) maupun online ke Partai Hanura menjadi fenomena kontemporer kian lekatnya politik-media dengan domain perebutan kekuasaan politik. Demikian pula Aburizal Bakrie, pemilik tv-One dan ANTV, yang menjadi capres Partai Golkar serta Surya Paloh pemilik Metro TV menjadi Ketua Umum Partai Nasdem.

Tiga contoh sosok pengusaha-politisi ini sudah cukup representatif untuk mengungkapkan kekhawatiran kita terhadap adanya upaya hegemoni ruang publik kita terutama terkait frekuensi yang sejatinya merupakan sumber daya yang terbatas. Kekhawatiran kita kian terkonfirmasi saat stasiun-stasiun yang mereka miliki mulai nampak bertaburan dengan spot iklan-iklan politik. Mulai dari perkenalan partai, unjuk citra lewat program yang “memaksa” frekuensi sekaligus perhatian publik untuk berpaling pada sejumlah blocking time temu kader, liputan khusus rapat pimpinan nasional (rapimnas), siaran live rapat koordinasi nasional, kongres dan sejumlah pernak-pernik acara kepartaian lainnya yang sebenarnya tidak begitu penting untuk publik.

Dalam pertimbangan UU No 32 Tahun 2002 jelas disebutkan bahwa spektrum frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, kekeliruan besar jika frekuensi milik publik yang terbatas tersebut, dengan semena-mena telah dimanfaatkan oleh segelintir pengusaha-politisi untuk kepentingan pertarungan pemilu semata.

Dengan demikian, ada sejumlah agenda yang harus dilakukan agar demokratisasi penyiaran tidak beralih ke hegemoni rezim media.


Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bekerjalah! Jangan berpangku tangan. Kerusakan akan bertambah parah, jika KPI berkolaborasi dengan kepentingan politik pengusaha-politisi media untuk melegalkan siaran yang menerabas etika dan regulasi siaran.

Dalam Pemilu 2014 ini, kampanye melalui media cetak dan elektronik ditetapkan 21 hari sebelum masa tenang. Sebenarnya dalam UU No 08 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif ada beberapa hal yang sudah mulai diatur meski pun masih melahirkan banyak problematika. Misalnya, di dalam Pasal 96 diatur soal larangan menjual blocking segment dan atau blocking time, dilarang menerima program sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan kampanye pemilu, serta dilarang menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh salah satu peserta pemilu kepada peserta Pemilu lainnya.

Sementara itu di Pasal 97 batas pemasangan iklan kampanye pemilu di televisi secara kumulatif maksimum sebanyak 10 spot berdurasi paling lama 30 detik setiap stasiun televisi setiap harinya pada masa kampanye, sementara radio 10 spot berdurasi paling lama 60 detik.

Pun demikian, dengan Peraturan KPU No15 Tahun 2013 yang merevisi PKPU No1 Tahun 2013 sebenarnya regulasi kampanye sudah lebih memadai dibanding 2009, hanya saja memang menjadi problematika karena suatu kampanye baru dapat dikategorikan melanggar atau tidak jika sudah dihitung secara kumulatif.


Harus adanya visi, misi dan program bagi setiap parpol sekaligus keharusan untuk melakukan sosialisasi kepada khalayak, membuat para pelanggar dengan mudah mengakali aturan main yang ada saat ini. Harusnya, KPI turut punya andil terutama untuk menertibkan media penyiaran yang nakal. Pedoman Perilaku Penyiaran Bab XXIX tahun 2012 yang dikeluarkan KPI menyangkut siaran pemilu dan pilkada salah satu bunyinya adalah lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional.

Jelas, KPI harus mengeluarkan panduan yang lebih detail dan teknis terkait dengan siaran pemilu sehingga aturan main tidak normatif dan multitafsir. Meskipun aturan KPI ditentang banyak media penyiaran, KPI tidak boleh inferior. KPI wajib melunasi janji kelembagaannya sebagai kontrol publik untuk memperkuat demokratisasi penyiaran. Faktanya, hingga sekarang esksistensi KPI nyaris tak terdengar saat ruang publik kita diperdaya oleh para pemilik kuasa media yang bertarung di Pemilu 2014.

Frekuensi televisi memang harus diatur. Selain sebagai sumber daya yang terbatas milik publik, media, menurut Antonio Gramsci, memang bisa diperalat menjadi “tangan-tangan” dari kelompok berkuasa yang punya watak hegemonik. Tentu saja, publik tak rela jika media telah sempurna menjadi instrumen distorsi informasi dari para politisi pengusaha.

Gun Gun Heryanto,
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

KORAN JAKARTA, 5 Februari 2014

No comments: