Wednesday, February 26, 2014

Siaga Satu, Banjir Janji Politik!


Banjir bandang yang melanda beberapa wilayah Indonesia mulai surut. Musibah tersebut menyisakan derita dan nestapa bagi yang terkena serta memberikan pekerjaan rumah bagi penyelenggara negara agar mereka lebih serius menanggulangi petaka tersebut.

Namun, surutnya air belum akan segera membebaskan masyarakat dari ancaman banjir. Karena bencana yang mengintip publik dan tidak kalah dahsyatnya adalah banjir janji politik siklus lima tahunan. Lonceng bahaya tersebut akan bergema saat dimulainya pelaksanaan kampanye pemilihan umum legislatif (pileg) melalui rapat umum serta iklan media massa cetak dan elektronik yang akan dimulai 16 Maret sampai 5 April 2014.

Persaingan internal saling “mematikan” di antara sesama kader partai politik, akibat kerancuan sistem pileg antara sistem proporsional dan suara terbanyak, diperkirakan akan menimbulkan gelombang pasang janji-janji muluk para politisi, terutama mereka yang motivasinya semata kekuasaan. Pemilu yang seharusnya dirayakan untuk menyongsong kemenangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan menjadi festival tanpa makna.

Janji sebagai etika sosial dan bagian dari peradaban, karena terkait dengan niat, komitmen, dan iktikad untuk melakukan sesuatu (menyejahterakan masyarakat), atau tidak melakukan sesuatu (korupsi) yang berguna untuk rakyat, hanya dijadikan sekadar siasat sesaat oleh para politisi guna mengumpulkan suara.


Sumber dari kedua bencana yang menakutkan tersebut sama, yaitu keserakahan nafsu primitif manusia yang melebihi ambang batas keadaban. Banjir janji politik jauh lebih berbahaya dan apokaliptik. Pertama, bencana tersebut tidak mudah terdeteksi karena datangnya disertai dengan semilirnya angin surga yang membuai publik hingga terlena. Banjir kata-kata dalam kampanye yang seakan-akan menggugah kesadaran untuk mengingatkan masyarakat. Namun peringatan tersebut sejatinya bukan mengingatkan, melainkan justru memabukkan.

Datangnya air bah lebih mudah dideteksi sehingga masyarakat dapat menghindar dari akibat bencana yang lebih parah. Namun, masyarakat biasanya terlambat menyadari kesalahannya dalam memilih para pengumbar janji jelang pemilu. Setelah mereka berkuasa, perilakunya berbanding terbalik dengan saat mereka mengumbar janji.

Kedua, banjir bandang memang mempunyai daya rusak yang menakutkan karena mengakibatkan penderitaan masyarakat. Namun, pemulihan dan pencegahan bencana tersebut lebih mudah diatasi. Sementara itu, dampak daya hancur banjir janji politik menyentuh tataran peradaban dan dapat melumpuhkan sendi-sendi kehidupan politik. Kredibilitas demokrasi serta lembaga-lembaga politik dan pemerintahan semakin melorot. Pengalaman 15 tahun terakhir, kampanye dalam pileg, pemilu presiden, dan beratus kali pemilu kepala daerah membuktikan hal itu. Janji para politisi hanya menggelorakan retorika dan demagogi politik, namun miskin substansi dan edukasi.


Sarat kebohongan
Janji politik lebih mirip kebohongan daripada komitmen dan obligasi moral. Alih-alih menumbuhkan dan merawat rasa saling percaya antara rakyat dan pemimpinnya, banjir janji politik justru mengakibatkan putusnya tali silaturahmi antara rakyat dan pemimpinnya. Perilaku politik yang sarat kebohongan juga menenggelamkan para politisi itu sendiri dalam kubangan lumpur korupsi kekuasaan dan kepalsuan. Lapisan kebohongan mereka bertingkat-tingkat karena kebohongan yang satu harus ditutupi dengan kebohongan yang lain.

Kemuliaan politik menjadi sekadar komoditas yang dipasarkan melalui citra dan fatamorgana politik. Seharusnya, meski ranah politik merupakan medan pertarungan yang penuh siasat, muslihat, saling mengecoh, serta adu lihai dalam menyusun taktik dan strategi, tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk mengumbar janji palsu.

Berdasarkan pengalaman kampanye dari berbagai kompetisi politik selama ini, rakyat harus Siaga 1 untuk mengantisipasi dan memitigasi gelombang hiperbola janji para politisi. Tanpa upaya sungguh-sungguh serta kewaspadaan yang prima dan maksimum, banjir janji politik akan semakin menenggelamkan harapan masyarakat.

Salah satu cara ampuh untuk mengurangi dampak dari petaka janji politik adalah menelusuri rekam jejak satu per satu dari semua calon wakil rakyat. Melalui pencermatan tersebut dapat diketahui sejauh mana empati dan rasa peduli mereka terhadap penderitaan rakyat. Cara tersebut juga dapat menguak integritas dan kompetensi mereka. Rakyat semestinya jangan serta-merta percaya begitu saja, bahkan dilarang percaya hanya kepada omongan politisi pada kampanye. Rakyat perlu bukti.


Beberapa upaya telah dilakukan, misalnya Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyiapkan rapor dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan, mengenai para petahana DPR periode 2009-2014 yang jumlahnya sekitar 9 persen dicalonkan lagi oleh pimpinan partainya untuk periode 2014-2019.

Penilaian tersebut memberikan pedoman kepada para pemilih dengan memberikan nilai kepada para kandidat, mulai sangat buruk sampai dengan sangat baik. Berdasarkan rapor tersebut, para pemilih mendapatkan bahan informasi untuk menentukan wakilnya di lembaga yang terhormat tersebut.

Memitigasi daya rusak banjir janji politik memerlukan kerja keras dan bahu-membahu semua pihak agar benar-benar dapat menemukan serta memilih calon wakil rakyat yang amanah dan bersedia mengabdi pada kepentingan masyarakat. Melalui daya upaya tersebut, semoga Pemilu 2014 menjadikan rakyat sebagai pemenang sebenarnya.

J Kristiadi,
Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 4 Februari 2014

No comments: