Friday, May 2, 2014

“Devide et Impera” dalam Pendidikan


Pastilah tak tebersit niat, apalagi upaya, negara menciptakan pertengkaran dan bahkan perpecahan dalam pengelolaan pendidikan kita. Namun, kalau ternyata itu terjadi di antara pelaku pendidikan karena kebijakan penguasa, negara tak bisa tinggal diam.

Kuasa uang kian memobilisasi pendidikan kita. Sejenak guru mencecap manisnya ragam tunjangan. Namun, berubah-ubahnya aturan penerimaan serta keterlambatan dan atau tidak lancarnya penerimaan tunjangan-sertifikasi telah memantik kesadaran dan daya kritis kita. Benarkah negara tulus memperjuangkan nasib guru? Sungguhkah negara ini telah punya cukup dana untuk terus menggelontorkan uang bagi pengelolaan pendidikan?

Ada yang pilu pada janji sertifikasi guru. Kurikulum baru yang akan segera diberlakukan berdampak terhadap jumlah minimal jam mengajar yang dituntut untuk memperoleh tunjangan sertifikasi. Ada banyak guru pada tahun ajaran baru nanti tak lagi memperoleh jumlah minimal jam mengajar tersebut. Mereka harus menyudahi manisnya tunjangan sertifikasi. Dan ketegangan pun terjadi.

Dibalik wajah ceria para guru dan murid sekolah pinggiran yang ringkih dan miskin, tersimpan api dalam sekam "devide et impera" yang dipicu masalah honor, gaji, tunjangan, penghasilan dan pendapatan yang ujungnya adalah masalah "uang!"

Banyak sekolah, khususnya sekolah swasta miskin, berusaha mengelola ketegangan di antara para guru yang berpotensi tidak bisa lagi menerima tunjangan sertifikasi. Mereka meminta guru mengalah dengan memberikan jam mengajarnya kepada guru lain. Namun itu tak mudah.

Bukankah manisnya pendapatan sertifikasi telah mengubah pola konsumsi? Pasti tak mudah juga bagi anak-suami-istri para guru menerima kenyataan akibat tak lagi bisa menerima tunjangan sertifikasi.

Bagi sekolah negeri yang ditopang uang negara (baca: uang rakyat lewat pajak), juga sekolah swasta kaya, agaknya tak masalah. Dana investasi mereka berlimpah, nyaris tak berbatas.

Mereka bisa menyikapi dengan menambah rombongan belajar dengan konsekuensi memperkecil jumlah murid setiap kelas. Juga dengan membuat kelas baru untuk menerima murid sebanyak mungkin.

Sekolah tempo dulu dan masa kini, apa bedanya?

Jejak “devide et impera”
Tidakkah cara ini sebuah pemborosan berbiaya mahal? Tidakkah ini merupakan ketidakadilan yang ironis, mengingat banyak sekolah yang sekarat? Bukan hanya pemborosan berbiaya mahal, benih ketegangan dan perpecahan antarsekolah pun mulai tercium aromanya. Demi menyelamatkan peluang memperoleh tunjangan sertifikasi, pengelolaan sekolah-sekolah “kuat” kian egois. Tak peduli dengan nasib sekolah-sekolah sekitar. Itu artinya sekolah “kuat” juga tak lagi peduli dengan nasib guru di sekolah lain yang “ringkih-miskin”.

Dinamika devide et impera segera terjadi di dunia pendidikan kita. Hari-hari ini ketegangan dan perpecahan antarguru sudah mulai menyeruak di sekolah-sekolah kita. Para guru tak mudah lagi untuk berbagi. Uang telah demikian merasuki kehidupan guru kita.

Dengan masif, uang telah melemahkan militansi dan karakter guru sebagai pendidik dan sebagai seorang abdi yang murah hati untuk selalu berbagi dalam kehidupannya. Tuah (atau racun?) devide et impera juga terjadi antarsekolah. Pengelolaan sekolah kian egois. Sekolah-sekolah “ringkih-miskin” yang acap kali dikelola pendidik militan pun kian sekarat.

Uang bagaikan awan kelabu yang telah menyelimuti dunia pendidikan kita saat ini.

Para gurulah yang akan segera menjadi korban. Akan tetapi, sesungguhnya kita juga sedang mengorbankan dan mempertaruhkan nasib bangsa ini. Tidakkah menambah rombongan belajar dan lokal (kelas) untuk meraup sebanyak mungkin murid tak diintensikan demi kualitas pembelajaran? Tidakkah semua itu hanya demi menyelamatkan tunjangan sertifikasi? Tidakkah itu berarti murid hanyalah obyek penyelamat nasib guru? Tidakkah ini merupakan tragedi pendidikan?

Dulu kita suka memprihatinkan nasib guru yang sedikit lebih baik daripada melarat. Namun kini, di akhir pemerintahan ini, alih-alih memperbaiki nasib dan martabat guru, kita bahkan sedang membentuk guru-guru yang egois dan materialistis. Dua sifat itu ampuh melibas karakter abdi para guru, sosok pendidik-peziarah yang memuja martabat kehidupan. Mungkinkah kita sedang merobohkan militansi pendidikan dan melahirkan guru yang membudak uang?

Sidharta Susila
Pendidik, Tinggal di Muntilan, Magelang
KOMPAS, 1 April 2014

No comments: