Friday, May 30, 2014

Pagelaran Sudah Cukup


Akhirnya pilihan partai-partai politik mengerucut ke dua kelompok. Partai Demokrat memilih untuk berdiri sendiri. Maka rasanya cukup lengkap sudah kita berwacana-wacana tentang para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) karena semakin banyak bicara, akan makin membuka kesempatan timbulnya keraguan atau munculnya kampanye hitam. Yang pada tahap ini rasanya menjadi tidak fair lagi, dan hanya membuat rakyat semakin bingung.

Ini bukan kontes Indonesian Idol demi mendulang suara. Karena sekalipun selalu dikatakan rakyat sudah cukup pandai, tetapi jangan sampai mereka menjadi korban hasutan yang merugikan masa depan bangsa ini.

Yang dikonteskan sebaiknya platform dan program setiap kelompok sehingga rakyat mendapat pilihan yang adil, tanpa harus diobok-obok lagi emosinya tentang masalah-masalah pribadi sehingga kembali melangkah mundur.


Misalnya, salah satu yang ramai dikampanyekan selama 2014 ini adalah soal ekonomi kerakyatan. Karena membawa nama “rakyat” tentu rakyat ingin lebih tahu tentang maksud istilah itu, sekalipun istilah itu sudah dipakai sejak zaman Bung Hatta pada awal-awal merekahnya Republik ini.

Istilah semula adalah “ekonomi rakyat” yang kemudian saat ini berubah menjadi “ekonomi kerakyatan”. Bung Hatta ingin memopulerkan sistem itu dengan hadirnya sistem koperasi. Masyarakat masa kini, yang tidak terlalu mafhum sejarah ekonomi waktu itu, tentu tidak tahu apakah sistem koperasi itu berjalan sesuai yang diharapkan atau tidak. Sekalipun di Belanda sistem itu boleh dikatakan sukses besar.

Keraguan tentang pengejawantahan sistem ekonomi kerakyatan bisa menimbulkan tanda tanya, apakah akan ada hubungannya dengan nasionalisasi, seperti yang akhir-akhir ini diasumsikan? Sebab, dengan perkembangan ekonomi dunia seperti sekarang, sikap dan tindakan yang bisa menimbulkan kesalahpahaman sebaiknya memang harus dihindari.


Peran pemerintah
Berbeda dengan sistem pasar bebas sepenuhnya (kapitalisme liberal), dalam sistem ekonomi kerakyatan tentunya pemerintah akan memainkan peran yang semakin aktif dalam mengadakan perubahan pada sistem yang selama ini berlaku. Memang, sekalipun tidak harus dengan menjalankan nasionalisasi secara serampangan yang akan merusak tertib ekonomi yang sudah dibangun selama ini, sesuai dengan UUD kita, hadirnya pemerintah makin diperlukan demi memenuhi hajat hidup orang banyak.

Ini mengindikasikan bahwa pemerintah akan lebih banyak berperan tentang alokasi sumber-sumber daya yang ada. Alasannya, sumber daya di bumi pertiwi faktanya makin menipis, sementara itu ledakan penduduk menuntut penyediaan pangan yang lebih besar dan dibarengi dengan tuntutan pemerataan pendapatan. Peningkatan jumlah penduduk yang makin mendekati seperempat miliar tentu saja tidak bisa diabaikan.

Dalam kaitan itu, sektor swasta perlu lebih banyak bekerja sama dengan pemerintah dalam menetapkan prioritas penanaman modal dan sekaligus merumuskan kebijakan teknologi yang lebih tepat, mengingat menurunnya kinerja sektor industri. Untuk menciptakan 'orde baru' lagi di bidang perekonomian nasional memang diperlukan perubahan besar-besaran, yang didukung kebijakan dan kebijaksanaan nasional yang lebih mengutamakan pemerataan kekayaan dan penghasilan masyarakat.

Karena kekayaan maupun kekuasaan selalu bersifat terbatas, perlu ada aturan tentang cara mendistribusikan hal-hal tersebut secara fair, transparan dan adil. Karena selalu saja ada oknum atau kelompok yang serakah dan ingin memonopoli sendiri dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Maka peraturan yang transparan dan tegas selalu diperlukan demi ketertiban, lebih-lebih memang tidak ada keberlimpahan yang sifatnya terus-menerus abadi.

Walaupun ada yang mengatakan, keterbatasan selalu menimbulkan ketimpangan distribusi, namun pendapat itu masih harus diragukan kebenarannya. Kenyataannya, manusia yang masih merasa memiliki sumber daya sebanyak yang memuaskan hatinya pun, mereka yang serakah tetap tidak peduli akan kebutuhan orang-orang lain.


Mengapa ramalan selalu meleset ?
Sekitar tiga dasawarsa yang lalu kita pernah diramalkan oleh Arlington Forecasting International Company bahwa antara tahun 1996-2005, Indonesia akan menjadi negara ke-7 termaju setelah Australia, Amerika, Kanada, Inggris, Swedia dan Jerman Barat. Kabar semacam itu tentu saja menggembirakan karena memberikan sebentuk harapan kemajuan yang cerah. Konon kesimpulan itu adalah hasil olahan komputer lembaga tersebut setelah mendapat 64 indikator, lebih dari 200 tren, dan lebih dari 3.500 peristiwa. Semua berkaitan dengan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan energi.

Kini kita semua tahu, bahwa ramalan itu terbukti jauh meleset! Ramalan kesuksesan Indonesia bukan pertama kali itu diadakan. Masalahnya agar bisa terprogram sesuai dengan kebutuhan maka komputer memerlukan data masukan yang tepat dan akurat. Yang menjadi pertanyaan, apakah indikator pendidikan masyarakat Indonesia waktu itu telah masuk dalam sistem pengolahan komputernya?

Kesulitan-kesulitan praktis dan normatif strategi pendidikan, maupun biayanya yang luar biasa besar, menuntut penelaahan sistem yang ada. Dan pertanyaan selanjutnya adalah; mana yang lebih penting bagi Indonesia, apakah pendidikan yang bertitik berat pada sejarah dan falsafah serta perkembangan kecerdasan pada umumnya, atau bertitik berat pada ketrampilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?


Faktanya, sistem pendidikan kita disusun oleh kalangan menengah ke atas yang tidak pernah secara langsung merasakan pendidikan macam apa yang sebenarnya diperlukan oleh rakyat jelata sehingga memungkinkannya untuk bisa melakukan mobilitas ke atas (vertikal). Fakta lain, masih banyak pula yang beranggapan bahwa memiliki kredensial seperti ijazah, gelar, atau sertifikat akan menjamin kesempatan dan penempatan kerja.

Tenyata tidak. Dengan kredensial yang sama, anak dari kalangan menengah ke atas akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan; sebab sikap dan perangai seseorang, yang juga merupakan persyaratan penting untuk dapat bekerja, terbentuk bukan di ruang kelas. Jadi ditinjau dari segi ketenagakerjaan, pendidikan formal yang sifatnya umum, dengan demikian tidak selalu menguntungkan bagi anak-anak rakyat jelata.

Semestinya, ada sistem yang membuat pemerataan pendidikan informal di kalangan anak-anak dari segenap lapisan sosial. Antara lain, misalnya, gerakan pramuka dan pandu, atau ormas pemuda dan pelajar yang benar-benar tumbuh dari masyarakat, yang pernah populer di era orde lama, sehingga bisa menjadi sarana mengurangi ketimpangan pergaulan sosial.

Toeti Prahas Adhitama,
Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 23 Mei 2014

No comments: