Showing posts with label DPR-RI. Show all posts
Showing posts with label DPR-RI. Show all posts

Wednesday, August 24, 2016

Krisis Kesadaran atas Keadaan Krisis


Dalam sambutan pertamanya, Arcandra Tahar selaku Menteri ESDM baru sedikit menyinggung tentang UU Minyak dan Gas Bumi. Dan kadarnya baru sebatas menyebut saja, belum ada kejelasan tentang langkah apa yang akan diambil.

Sangat wajar, karena sebagai menteri baru yang lebih dari 20 tahun berkarier di luar negeri, tentu masih dalam tahap penjajakan atas semua isu yang ada di dalam lingkup kerjanya. Melalui tulisan ini, sebagai anggota masyarakat biasa, saya ingin berbagi cerita, yang mungkin bisa bermanfaat untuk lebih memantapkan langkah dan kebijakan Menteri Arcandra Tahar merespons isu terkait UU Migas itu.


Terbengkalai
Begini lebih kurang ceritanya. Jika ada suatu UU, yang lebih kurang seperempat dari keseluruhan jumlah pasal di dalamnya telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2013 tetapi masih tetap kita gunakan sebagai landasan penyelenggaraan pemerintahan di sektor yang sangat strategis, maka itu adalah UU No 22/2001 tentang Migas.

Jika ada proses revisi UU yang telah memakan waktu lebih kurang delapan tahun tetapi hingga kini belum selesai, bahkan proses legislasinya pun belum juga mulai memasuki tahap pembahasan resmi karena secara formal rancangan UU revisinya belum juga ada, maka itu adalah proses revisi UU No 22/2001 tentang Migas.


Sebagai masyarakat biasa, terus terang pemikiran saya tidak sampai untuk dapat memahami bagaimana bisa kita yang selalu mengatakan sektor migas adalah sangat strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, para penyelenggara negaranya seperti membiarkan hal seperti itu terus berlangsung. Padahal, produksi minyak mentah sudah terus menurun selama hampir 20 tahun terakhir: dari kisaran 1,6 juta barrel per hari (1997) hingga hanya kurang dari separuhnya, yaitu di kisaran 780.000 barrel per hari saat ini.

Dari semula merupakan negara pengekspor minyak, anggota OPEC yang disegani, hingga sudah menjadi nett oil importer yang bahkan berpotensi menjadi negara pengimpor minyak dan BBM terbesar di dunia seperti saat ini.


Padahal, rasanya tak kurang juga sejumlah kalangan ––dari pakar, praktisi, investor, bahkan dari unsur pemerintah dan DPR sendiri–– telah sejak lama menyuarakan bahwa sektor migas nasional sejatinya telah berada dalam keadaan krisis atau darurat.

Sebagai awam, terus terang saya juga sulit mencerna bagaimana bisa kita yang punya segudang ahli di bidang migas seperti tak mampu menyelesaikan revisi UU Migas itu. Waktu delapan tahun, lebih kurang setara dua kali jangka waktu seseorang untuk dapat menyelesaikan pendidikan doktor yang berkualitas.

Tidak cukupkah waktu delapan tahun itu untuk menyelesaikan proses revisi sebuah UU dan menghasilkan UU penggantinya yang berbobot? Sedemikian komplekskah substansi persoalan UU Migas itu sehingga semua penyelenggara negara dan ahli di negeri ini tak mampu menangani dan menyelesaikannya?


Tak bersungguh-sungguh
Dalam keterbatasan jangkauan daya pikir yang ada, yang bisa masuk di logika sederhana saya tentang penyebab hal ini hanya satu: bahwa kita sejatinya memang tak bersungguh-sungguh di dalam menyelesaikan persoalan ini. Dalam istilah yang jujur dan sederhana, mungkin kita dapat dikatakan “malas” dan sejatinya memang tak sungguh-sungguh di dalam mengerjakan proses revisi itu. Dalam istilah yang lebih keren, mungkin kita sejatinya tidak memiliki sense of urgency, bahwa kita, di sektor migas, sedang dan telah dalam kondisi krisis.

Dalam permainan kata-katanya, kita sedang dalam krisis kesadaran atas keadaan krisis itu sendiri. Tagar #kamitidaktakut, dalam pengertian yang cenderung negatif sepertinya berlaku dalam kasus ini.


Maka, solusi dalam kasus ini sebenarnya sederhana, yaitu tak lain agar para penyelenggara negara, khususnya DPR, segera melakukan langkah konkret dan bekerja bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyelesaikan proses revisi UU Migas ini. Sependek yang saya tahu, inisiatif atas revisi ataupun proses revisinya sejak 2009 hingga saat ini masih ada di DPR.

Namun, jika hal ini terus berlarut, katakanlah hingga akhir 2016 belum juga selesai, berangkat dari amanat UUD 1945 bahwa minyak dan gas adalah cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan telah cukup lama dalam keadaan krisis, kiranya Menteri ESDM dapat memberi masukan dan usulan agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang alias Perppu. Sebagaimana yang belum lama ini telah dilakukan Presiden untuk menyelesaikan isu dan permasalahan kritis lain di negeri ini.

Pri Agung Rakhmanto
Dosen Universitas Trisakti,
Pendiri Reformer Intitute

KOMPAS, 13 Agustus 2016

Monday, March 11, 2013

Gerbong Korupsi di DPR RI


Dalam ilmu politik, khususnya terkait dengan pembentukan koalisi pemerintahan, kita sering mendengar istilah ‘melompat ke gerbong kereta’ (jump on the bandwagon) untuk menggambarkan politisi atau partai politik (parpol) yang bergabung ke dalam koalisi saat koalisi sudah berjalan. Contoh paling konkret ialah bagaimana Partai Golkar pada Pemilu Presiden 2004 dan 2009 bergabung ke dalam koalisi pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono tanpa kerja keras politik setelah koalisi politik itu memenangi pemilu presiden/wakil presiden langsung.

Judul artikel ini ingin mengibaratkan sesuatu yang lain, yaitu adanya gerbong kereta api di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang menaikkan dan menurunkan beberapa anggota DPR yang melakukan tindak pidana korupsi.

Sejak reformasi bergulir, khususnya setelah empat kali amandemen atas UUD 1945, DPR RI menjadi institusi yang kuat, kalau tidak dapat dikatakan superbody, yang menentukan segalanya di negeri ini, melebihi kekuasaan eksekutif atau legislative heavy.

Pada 1978, seorang wartawan Australia David Jenkins pernah mengatakan, “There is no military dual functions in Indonesia. In reality there is only one function, that ABRI is running everythings.” (Tak ada dwifungsi militer di Indonesia. Dalam kenyataan, hanya ada satu fungsi, yaitu ABRI menjalankan segalanya.) Dengan menyadur kalimat David Jenkins, menurut saya, tidak ada tiga fungsi DPR, yaitu perwakilan, budgeting, dan pengawasan -yang ada hanya satu fungsi, yaitu DPR mengatur segalanya!

Luthfi Hasan Ishaaq (PKS) dan Anas Urbaningrum (P Demokrat),
saat ini sudah jadi tersangka.

Bila kita mengatakan betapa berkuasanya DPR jika dibandingkan dengan pemerintah, teman-teman di DPR selalu menampiknya. Mereka berdalih pemerintahlah yang masih menguasai berbagai sumber di negeri ini dan memiliki otoritas untuk mengatur negeri ini. Akan tetapi, coba lihat betapa DPR tetap mengegolkan pemekaran di berbagai daerah walaupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan moratorium pemekaran daerah. Betapa berkuasa DPR dalam proses fit and proper test untuk berbagai macam jabatan, dari calon pejabat di Bank Indonesia, calon pejabat di Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, Hakim Agung, Komnas HAM, sampai ke calon Duta Besar RI.

Proses legislasi di DPR juga menempatkan mereka lebih kuat daripada pemerintah. Hal itu bukan hanya karena DPR memiliki hak inisiatif, melainkan karena RUU yang sudah disetujui pemerintah dan DPR, tanpa tanda tangan presiden pun, produk legislasi itu sudah sah menjadi UU.

Kekuasaan lain yang dimiliki DPR, khususnya badan anggaran (banggar) dan komisi-komisi di DPR, ialah dalam menentukan anggaran pembangunan baik untuk institusi-institusi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Karena itu, jangan heran jika banyak isu yang berkembang dan kebenarannya sudah berulang kali terbukti bahwa banyak anggota DPR menggunakan tangan-tangan kekuasaan mereka untuk meraih keuntungan baik bagi diri sendiri maupun untuk partai.


Gerbong Korupsi
Gerbong korupsi di DPR tidak mengenal asal usul partai, aliran politik, atau bahkan agama dari para individu yang melakukannya. Uang tidak mengenal ideologi dan agama. Politisi itu bisa berasal dari Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, atau bahkan dari Partai Keadilan Sejahtera. Walaupun hingga saat ini tampaknya belum ada kasus yang menimpa anggota Partai Hanura dan Partai Gerindra.

Mereka seakan berkelompok melakukan korupsi tanpa malu-malu atau tanpa takut tertangkap tangan oleh KPK. Penangkapan dan penahanan oleh KPK seakan tidak membuat para anggota DPR itu jera dan takut untuk melakukan korupsi. Itu bisa dilihat dari betapa masih terus terjadi beberapa orang dari anggota banggar yang diciduk KPK dan masuk bui.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah sering pula melapor kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan menginformasikan kepada masyarakat mengenai jumlah anggota Banggar DPR yang semakin hari semakin banyak melakukan transaksi keuangan mencurigakan. Belum lagi anggota komisi-komisi yang memiliki kekuasaan untuk menentukan anggaran atau jabatan di berbagai institusi negara dan BUMN.

Sudah banyak bahasan mengenai bagaimana korupsi tersebut dilakukan para anggota parpol di DPR yang tentunya dilakukan tidak hanya secara berkelompok di DPR, tetapi juga bekerja sama dengan oknum pemerintah dan swasta. Namun, hanya sedikit yang mengungkap bagaimana jaringan korupsi bisa terjadi di kementerian yang menterinya berasal dari parpol dan bekerjasama dengan pimpinan/anggota/simpatisan parpol yang bersangkutan.

Terungkapnya jaringan korupsi yang menyeret Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq ialah salah satu contoh betapa korupsi anggota parpol tidak hanya terjadi di parlemen, tetapi juga di kementerian. Bila kasus terakhir ini terkait dengan kuota impor daging sapi, kasus sebelumnya menyeret pengusaha, orang yang dekat dengan menteri yang berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan pejabat di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terkait dengan anggaran pembangunan prasarana transmigrasi di Papua Barat.


Penyebab Korupsi
Tidak sedikit analisis pakar menyebutkan korupsi di parpol-parpol terjadi karena biaya politik makin hari semakin mahal. Karena biaya politik semakin mahal, maka setiap anggota parlemen, dari partai apa pun, memiliki kewajiban untuk menyerahkan sebagian pendapatannya kepada parpol sebagai bagian dari iuran wajib politikus.

Sistem pemilu proporsional dengan daftar urut terbuka tidak hanya mengandung unsur positif dalam menentukan kursi bagi anggota DPR atau DPRD, tetapi juga dampak negatif berupa pertarungan politik yang amat dahsyat di antara caleg yang berasal dari partai yang sama.

Siapa yang memiliki power lebih, baik dalam bentuk massa pendukung, penggembira, maupun saksi, akan memenangi kursi di parlemen.

Untuk itu, uang merupakan salah satu basis kekuasaan yang dimainkan politisi. Beberapa politikus sudah mengungkapkan dalam acara Mata Najwa di Metro TV, beberapa waktu lalu, mengenai berapa uang yang mereka gelontorkan untuk mendapatkan kursi di DPR. Jumlahnya sungguh tak masuk akal, yaitu berkisar antara Rp 3 miliar hingga Rp 6 miliar. Bandingkan dengan pendapatan anggota DPR yang berkisar antara Rp 50 juta hingga Rp 100 juta (posisi sebagai anggota atau pimpinan dewan) per bulan dikali 12 bulan selama lima tahun. Bila diakumulasikan, akan diperoleh nilai yang sama, yaitu sekitar Rp 3 miliar hingga Rp 6 miliar. Itu belum termasuk pengeluaran untuk mempertahankan ‘komunikasi’ dengan para konstituen di daerah pemilihan. Bila ditambah dengan itu, angka tersebut tentunya akan bertambah lagi.

Tidak semua anggota DPR berlatar belakang pengusaha atau memiliki uang lumayan besar sebagai modal awal. Beberapa dari mereka juga ada yang berutang ke bank atau lembaga keuangan lainnya. Karena itu, jangan kaget ketika menjadi anggota DPR, ia bekerja ekstra keras untuk membayar utang-utangnya dan menabung untuk maju kembali pada pemilu legislatif berikutnya.


Penegakan Hukum Dan Politisasi
Kita mafhum betapa kaget, kesal, dan marahnya para anggota PKS ketika mendengar atau menonton TV mengenai penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK. Partai berlambang dua bulan sabit dan seuntai padi yang tegak di tengahnya itu selalu menggembar-gemborkan slogan sebagai partai yang bersih, peduli, dan profesional. Sampai digelandangnya Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq ke Gedung KPK dan kemudian ke rumah tahanan, tidak ada anggota PKS yang dibui karena kasus korupsi.

Presiden baru PKS Anis Matta, dengan tangan mengepal, mata menantang, dan suara yang amat lantang, menyatakan ada konspirasi politik untuk menghancurkan PKS. Suatu runtutan kalimat yang mirip dengan pernyataan PKS ketika Suripto (mantan Sekjen Kemenhut) dan Ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminuddin diberitakan Tempo terlibat kasus impor daging sapi di Kementerian Pertanian pada Maret 2011. Secara kebetulan, Menteri Pertanian Suswono adalah kader PKS. Pernyataan politik yang dilontarkan Anis Matta hanya beberapa menit setelah Majelis Syuro PKS menetapkannya sebagai presiden baru PKS, menggantikan Luthfi Hasan Ishaaq. Anis juga menuduh ada tirani kekuasaan dalam pemberantasan korupsi terkait dengan kasus Luthfi .

Pernyataan Presiden PKS Anis Matta itu didasari cara pandang politik seolah-olah ada seorang tiran yang kekuasaannya melebihi hukum. Dengan kata lain, kata-kata dari penguasa berada di atas hukum itu sendiri. Penguasa ingin agar PKS dipermalukan atau kewibawaan politik mereka dirontokkan -bukan hanya Partai Demokrat yang kini kehilangan kewibawaan politik- akibat kasus-kasus korupsi yang melanda beberapa anggota PKS.


Cara pandang itu tentunya bertolak belakang dengan tradisi lain dalam ilmu politik yang memandang negara harus diatur oleh hukum. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu dan itu yang sedang dilakukan KPK.

Para petinggi PKS terus-menerus sesumbar mengenai adanya konspirasi, tiran, atau ketidakadilan dalam menangani mantan presiden PKS. Mereka membandingkan dengan bagaimana KPK menangani mantan Menpora Andi Alifian Mallarangeng. Cara pandang itu bukan mustahil malah semakin menjerumuskan PKS ke situasi politik yang lebih buruk lagi.

Selama ini PKS telah menunjukkan sistem pengawasan internal yang amat baik dalam menangani kasus-kasus yang menerpa anggota mereka. Mereka melakukan langkah konkret pada kesempatan pertama anggota yang diduga melakukan pelanggaran, yakni menyatakan diri mundur dari jabatan di partai atau di DPR. Selanjutnya, Majelis Syuro partai menggelar rapat untuk mencari pengganti anggota tersebut.

Sebagai warga negara yang baik, kita harus tetap memegang teguh asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dalam kasus yang menimpa mantan presiden PKS tersebut, hingga saatnya nanti ketika ia dinyatakan terbukti melakukan korupsi oleh pengadilan. Namun, pada saat bersamaan, kita juga mafhum kekuasaan itu cenderung korup seperti dalil Lord Acton. Orang-orang besar yang amat terhormat sekalipun dapat saja berbuat salah atau berbuat nista.

Ikrar Nusa Bhakti
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

MEDIA INDONESIA, 4 Februari 2013