Showing posts with label Hadits. Show all posts
Showing posts with label Hadits. Show all posts

Sunday, February 25, 2018

Tentang Islam Kejawen (Kejawaan) di Indonesia


Mungkin ini jawaban Islam Kejawen di Indonesia. Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal, karena setiap hari dikirimi doa dan tumpeng.

Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di kawasan negeri-negeri Muslim di Timur Tengah, terjadi perang sesama umat Islam. Di Afghanistan, di Suriah, di Irak, di Yaman, terjadi perang sesama umat Islam. Indonesia jadi menarik. Masyarakat dunia banyak yang ingin tahu, ‒‒ketika semua sudah jebol‒‒ kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.

Akhirnya semua ingin kesini. Seperti apa Islam di Indonesia kok masih utuh? Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena memiliki Jam’iyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa?

Ternyata, zaman dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri NU, namanya Christiaan Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Al-Qurān, hafal Hadits Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in, dan lain-lain, tapi bukan penganut Islam. Sebab tugasnya memang mau menghancurkan Islam di Indonesia.

Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Semuanya santri. Semua santri dan semua melawan Belanda.

Aneka wajah Christiaan Snouck Hurgronje.

Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya agar Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya sebagai Syekh Abdul Ghafur. Dia belajar Islam, menghafalkan Al-Qurān dan Hadits di Arab. Hingga akhirnya paham betul seluk-beluk agama Islam.

Hanya saja begitu datang di Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Arab (Timur Tengah), tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje di Arab itu tidak ada di Indonesia.

Mencari Allah di sini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada Pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng Ratu. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang, ketemunya ngibadah. Mencari syaikhun, ustadzun, tidak ketemu, ketemunya Kiai. Padahal ada kerbau namanya Kiai Slamet. Ada seekor gajah namanya Kiai Rebo. Ada senjata keris namanya Kiai Sengkelat. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar, dan lain-lain.

Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu oleh Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.

Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang di sini makanannya nasi (bahasa Jawanya sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahwa beras itu bahasa Inggrisnya rice, bahasa Arabnya ar-ruz.

Dari tanaman padi lahirlah gabah, beras, nasi, lontong, ketupat, bubur, dll.

Yang disebut rice atau ar-ruz, ketika di sawah, namanya padi (pari). Di sana masih ar-ruz, masih rice. Begitu padi dipanen, di sini namanya ulen-ulen, atau ulenan. Disana masih ar-ruz, rice. Jadi pemahaman ilmunya mulai membingungkan, mulai kucluk, alias korslet.

Begitu ditumbuk (ditutu), digiling, mereka masih memahami sebagai ar-ruz, rice, padahal di sini sudah dinamai gabah. Begitu sudah terbuka kulitnya, di sini namanya beras, namun disana masih ar-ruz, rice. Begitu berasnya ada yang pecah kecil-kecil (cuil), di sini namanya menir, disana masih ar-ruz, rice. Begitu dimasak, di sini barulah dinamai nasi (sego), disana masih sama saja ar-ruz, rice.

Begitu ada satu butir yang diambil cicak, di sini namanya upa, disana namanya masih ar-ruz, rice. Begitu dibungkus pakai daun pisang, di sini namanya bisa lontong, bisa arem-arem atau lemper, tapi disana masih ar-ruz, rice. Begitu dibungkus daun kelapa muda (janur kuning) namanya ketupat, disana masih ar-ruz, rice. Ketika dimasak, diaduk hingga hancur dan lembut, di sini namanya bubur, disana namanya masih saja ar-ruz, rice.

Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing tujuh keliling.

Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinthing (berkopiah miring dan bersarung melintir). Kedua, mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).

Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan tinggal di tanah Arab.

Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, dibilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk asli Islam Indonesia. Kelamaan tinggal di luar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini jadi kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, di sini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Oleh karena itu orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.


Lha, akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus dunia Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik, yang ada di dunia.

Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak di sini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.

Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.

Islam datang ke Eropa, saat itu bangsa Eropa juga sedang dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa Anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai hampir 2/3 dunia, namanya Majapahit.

Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia saat itu, ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum dan politik terbaik dunia, ‒‒yang menjadi rujukan saat itu‒‒ adanya di Indonesia. Waktu itu adanya di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini (mestinya) tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan alamnya kaya-raya.


Cerita Arab tentang surga, di Jawa itu tidak laku. Surga itu ‒‒dalam penggambaran Arab¬‒‒ “tajri min tahtihal anhaar” ada air yang mengalir di bawahnya, seperti kali. Kata orang di sini: “mencari air kok sampai surga segala?" Di sini itu, semua sawah ada airnya yang mengalir. Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena di sini juga banyak buah. Artinya dakwah di sini tidak mudah.

Diceritakan tentang Tuhan, orang Jawa sudah punya, namanya Sanghyang Widhi. Diceritakan tentang Ka’bah orang Jawa juga sudah punya Stupa dan Candi: sama-sama dibuat dari batu dan di tengahnya sama-sama berongga atau ada lubangnya. Malah kalau Ka’bah itu dindingnya polos, tapi kalau Candi berhiaskan relief ukir-ukiran yang njlimet. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa juga punya Lingga Yoni.

Dijelaskan memakai Hari Raya Kurban, orang Jawa punya peringatan Hari Raya Kedri. Jawa sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama Hindu. Prinsip dalam Hindu, yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.

Di bawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Di bawah itu ada kasta Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini juga tidak boleh bicara agama.

Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra. Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita bahwa Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa diterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan, mereka pasti ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.


Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, saking bingungnya memahami Islam di Indonesia. Di bawahnya Sudra, ada kasta Paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Di bawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Di bawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Di bawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.

Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba di-Islamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.

Namun mereka menghadapi masalah, karena orang di sini ada yang doyan makan daging manusia. Namanya aliran Bhairawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco.

Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil, semakin kecil dan akhirnya menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tapi tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kerbaunya, teringat kambingnya, teringat harta bendanya. Maka, yang ini terus menjadi Jenglot atau Batara Karang.

Jika Anda menemukan Jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah ––melalui jalan pintas––  namanya ilmu Ngrogoh Sukmo. Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajaran dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, yang mengajarkan Pancamakara.

Hindu Tantra Bhairawa.

Supaya bisa Ngrogoh Sukmo, semua syahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.

Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.

Ketika sudah pada bisa Ngrogoh Sukmo, ketika sukmanya pergi diajak mencuri namanya
Ngepet. Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya Santet. Ketika sukmanya pergi diajak mencintai wanita namanya Pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu Ngepet, Santet, Pelet dan Nyopet.

Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyuddin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani saat itu, mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.

Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Al-Baqir Al-Farsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini diduduki bala tentara Syekh Subakir, maka kemudian mereka pada lari diusir.


Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cilacap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Dinamai Banten, diambil dari bahasa Sanskerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Di sana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.

Karena Syekh Subakir sudah sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya, namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.

Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, mantra Ngrogoh Sukmo diganti Kalimat Tahlil: “Laa ilaaha illallaah.” Maka, kita orang Jawa punya adat tumpengan.

Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah-kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu dituturkan dengan runtut, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.

Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan namanya, maka disebutlah beliau dengan nama Syekh Jumadil Kubro.


Di sana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas meng-Islamkan Pajajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walang Sungsang.

Nah, Syekh Jumadil Kubro punya putra bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, inilah bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas meng-Islamkan Majapahit.

Meng-Islamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah yang biasa ditanami padi, kok malah mau ditanami pisang. Kalau Anda berbuat begitu, maka pohon pisang anda bisa ditebang.

Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Al-Qurān. Dalam surat Al-Fatħ (48) ayat 29, disebutkan : “… matsaluhum fit taurat wa matsaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladla fastawa ‘ala suqıhi yu’jibuz zurra’a, liyagidza bihimul kuffar ....

Artinya: “... Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin) .…”

Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, baru kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.

Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.

Mau menanam Allah, di sini sudah ada istilah Pangeran. Mau menanam shalat, di sini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, di sini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun, di sini sudah ada shastri, kemudian dinamanilah santri. Inilah ulama dulu, menanamnya dengan cara halus, lembut, tidak kelihatan.


Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: Kalimat Syahadat, jadi Kalimasada. Syahadatain, jadi Sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai akhirnya itu semua jadi bahasa masyarakat. Dan yang paling sulit adalah mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.

Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia lagi). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?

Oleh Sunan Ampel, “Inna lillahi wa inna ilaihi raj’iun” kemudian di-Jawa-kan menjadi rumusan: “Ojo Lali Marang Sangkan Paraning Dumadi.

Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang (lagu), dan suka nembang (nyanyi). Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang memiliki sifat mudah hafal bila dengan tembang.

Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: “Ndang baliyo, Sri, ndang baliyo ....” Lihat lintang, nyanyi: “Yen ing tawang ono lintang, cah ayu ....” Lihat bebek, nyanyi: “Bebek adus kali nututi sabun wangi ....” Lihat enthok, nyanyi: “Menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu angisin-isini ....” Bahkan, lihat silit (dubur) saja nyanyi: “... ndemok silit, gudhigen ....” Maka kesimpulannya, orang Jawa itu suka nyanyi. Itulah yang jadi pelajaran.

Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit dan berat itu ditembangkan. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un” diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat. Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat.

Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika lahir di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia dan hasil setelah makan adalah sampah dunia. Sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, sedangkan sampah yang cair keluar lewat pintu depan.

Maskumambang yang akan Mijil.

Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.

Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya.” “Iya, Ya Allah.” “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau Aku Tuhanmu?). “Qalu balaa syahidna,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa. “fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. [lihat, a.l.: QS. Al-A’raf (7): 172, As-Sajdah (32): 7-10, Al-Mu’min (40): 67].

Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya hidungnya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, anaknya ya ganteng dan cantik.

Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, yang ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua adalah malaikat yang bertugas mengingatkan dan mengendalikan. Jin Qarin dan Hafadzah.


Itu oleh Sunan Ampel disebut Sedulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca “Ya Rahmanu, Ya Rahimu” tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.

Tidak mau pakai dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca Aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah “La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim.” Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca Aji-aji Bandung Bondowoso, kemudian bisa perkasa.

Mau kaya, kalau memakai jalan kanan ya Shalat Dluha dan membaca “Ya Fattaahu, Ya Razzaaqu,” bisa kaya. Kalau tidak mau jalan kanan, ya jalan kiri, membawa Kambing Kendhit naik ke Gunung Kawi, setelah pulang jadi kaya.

Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang karena rumah terbakar.

Ibaratnya, yang satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu lagi, mencari ayam dengan api dari blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, tapi blarak-nya habis terbakar. Itulah bedanya nur (cahaya) dengan nar (api).


Maka jalannya hidup manusia ini seperti jalannya tembang. Yang awalan, namanya Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo, disebut ngapati, mitoni, ini rohaninya. Tapi jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi.

Maka menurut NU ada ngapati, mitoni, karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil: lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.

Setelah Mijil, tembangnya Kinanthi. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul (tentunya pukulan cinta, pukulan kasih sayang, bukan pukulan kekerasan karena kemarahan). Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktunya ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya.

Anak Kinanthi ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama dan akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, ngeyelan dan bandel.

Apalagi, setelah Sinom, tembangnya Asmaradana, mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa dinasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh, laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.


Setelah Gambuh, adalah tembang Dandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dandanggula, menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Durma.

Durma itu mengajukan pertanyaan: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buahmu itu apa? Tenagamu hasilnya mana? Hartamu dimana, kemana dan jadi apa? Ilmumu sudah menghasilkan apa? Apa saja yang sudah didarmabaktikan untuk orang lain?

Khairunnas anfa’uhum linnas,” ––sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Durma tapi tidak melakukan darma bakti, maka akan kesusul tembang Pangkur.

Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah banyak copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh: megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.

Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung. Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam bahasa Jawa) dinamai buyut, maksudnya: siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).

Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?


Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nakir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut. Ditanya: “Man rabbuka?” Dijawab: “Awwloh.” Ingin disaduk Malaikat Munkar-Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah ?!

Ketika akan disaduk, Malaikat Raqib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa. Tidak punya Alif, Ba, Ta, punyanya Ha, Na, Ca, Ra, Ka. “Apa sudah mau ngaji?” tanya Munkar-Nakir. “Sudah, ini ada catatanya. NU juga sudah ikut, namun belum bisa sudah meninggal.” “Ya, sudah, meninggalnya orang yang sedang belajar mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”

Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” menjawab, “Ha …???” Langsung dipukul kepalanya: “Plaakkk !!!” Dicanggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng, takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, diudek oleh malaikat, digantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti petarangan bodhol, ajur mumur seperti gedebok bosok.

Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – petarangan bodhol – gedebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!

Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelog: nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung. Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya di sini ya disana); yang di sini ngaji, yang di sana mencari kayu.

Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti di sini ini: kelihatannya di sini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow! Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.

Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. “Fafirru illallaah,” kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga, Tumpeng dan Kembang Telon (Mawar, Kenanga dan Kanthil).

Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.

Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini atau seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut selalu kepada Allah). Lho, ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari Syahadat saja.

Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang “Lir ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanepo lambang shalat.

Di sini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko, janur gunung. Udan grimis panas-panas, caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka lagunya, cah angon, ayo menek blimbing. Bukannya, cah angon ayo memanjat mangga.

Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Di sana, shalat ‘imaaduddin, lha shalat di sini, tanamannya mleyar-mleyor, berayun-ayun.

Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau di sini dipanggil jam segitu masih di sawah, di kebun, angon bebek, masih nyari kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin (orang yang adzan). Setelah ditunggu-tunggu, kok tidak datang-datang?

Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. “Rabbana ya rabbana, rabbana dholamna anfusana, ––sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya–– wa inlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.

Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro .... Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: “... di urugi anjang-anjang ..., langsung deh, para makmum buru-buru masuk. Itu tumbuhnya dari situ.


Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar, matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, “Laa ilaaha illallah ....

Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, diajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar makmum tahu apa yang sedang dibaca imam.

Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatotkaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah.

Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat di sini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya milik bangsa Arab saja). “Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin;” ‒‒Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.

Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.

Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.

Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. “Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.


Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam diuber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:

Gundhul-gundhul pacul-cul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul-kul, pethenthengan.
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar 2x

Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.

Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak bisa mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.

Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wakul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundhul-gundhul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.

Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.

Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di sepenjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.

Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.

Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua ––seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa–– bersatu melawan Belanda.

Ketika Belanda pergi, maka kita bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika Anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.


Maka dimanakah di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: “kullukum raa’in wa kullukum mas-uulun ‘an ra’iyatih”; Rasulullah mengajarkan bahwa hidup di dalam kekuasaan dunia ada sesuatu yang harus diperhatikan, yaitu pertanggung-jawaban.

Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung-jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.

Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baathinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.

Meski, nama ini (NU) tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Al-Quran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.

Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid Sahabat namanya Tabi’in. Tabi’in bukan ashhabus-shahabat, tetapi Tabi’in, maknanya pengikut.


Murid Tabi’in namanya Tabi’it-tabi’in, pengikutnya pengikut. Muridnya Tabi’it-tabi’in namanya Tabi’it-tabi’it-tabi’in, pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.

Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asy’ari. Kiai Asy’ari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron muridnya Kiai Abdul Halim, Boyolali.

Mbah Abdul Halim muridnya Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.

Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.

Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah. Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.


Kalau begini nama kita apa? Namanya ya Tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit …, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.

Rasulullah itu muridnya bernama Sahabat, tidak diajari menulis Al-Qurān. Maka tidak ada mushaf Al-Qurān di zaman Rasulullah dan para Sahabat. Tetapi ketika Sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Al-Qurān.

(Catatan koreksi: zaman Rasulullah sebenarnya sudah ada catatan wahyu Al-Qurān walaupun masih terpisah-pisah dalam berbagai macam media sehingga memang belum berwujud satu mushaf yang utuh. Ada yang tertulis di kulit kayu, pelepah kurma, kulit binatang, dan perkamen-perkamen yang lain).

Untuk siapa? Untuk para Tabi’in yang tidak pernah bertemu Al-Qurān zaman Rasul. Maka ditulislah Al-Qurān di zaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para Sahabat wafat, Tabi’in harus mengajari dibawahnya.

Mushaf Al-Qurān yang ditulis Sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit dan sulit dibaca. Maka pada tahun 65 Hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa lebih mudah dibaca.

Tabi’in wafat, Tabi’it-tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 Hijriyyah.


Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Al-Qurān semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “Waddluha” keluarnya “Waddluhe”.

Orang Turki diajari “Mustaqiim” keluarnya “Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “Lakanuud” keluarnya “Lekenuuik”. Orang Sunda diajari “Alladziina” keluarnya “Allatziina”.

Di Jawa diajari “Alhamdu” jadinya “Alkamdu”, karena punyanya Ha Na Ca Ra Ka. Diajari “Ya Hayyu Ya Qayyum” keluarnya “Yo Kayuku Yo Kayumu”. Diajari “Rabbil ‘Aalamin” keluarnya “Robbil Ngaalamin” karena punyanya Ma Ga Ba Tha Nga.

Orang Jawa tidak punya huruf “Dlod” punyanya “La”, maka “Ramadlan” jadi “Ramelan”. Orang Bali disuruh membunyikan “Shiraathal …” bunyinya “Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladtholliin”. Di Sulawesi, “’Alaihim” keluarnya “’Alaihing ”.

Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 Hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qira-atil Quran, namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.

Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua, dzikir dan diam, malah jadinya tidur.

Maka di sini, di Nusantara ini, jangan heran. Ojo nggumunan.


Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung.

Yang mau Haji diantar ke Asrama Haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.

Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, diajak berdzikir.

Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum,” ada saksinya. Orang di sini, ketika disuruh membaca Al-Qurān, tidak semua dapat membaca Al-Qurān. Maka diadakan semaan Al-Qurān.

Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Al-Qurān. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, namun di telinga masih ada Al-Qurān.

Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Syahadatain jadi Sekaten. Kalimah Syahadat jadi Kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.

Agus Sunyoto, Ketua LESBUMI - NU dan Penulis buku Atlas Wali Songo.

Ini menimbulkan kesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Al-Qurān terbanyak dari Indonesia.

Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: Islam Kaaffah, begitu diikuti, malah mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama. NU jangan dicurigai menanamkan benih teroris.

Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom di sini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.

Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.

Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana? Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.

Agus Sunyoto
Ketua Lesbumi,
Pengasuh di Pesantren Cendekia Nusantara,
Dan Pondok Pesantren Global Tarbiyatul Arifin,
Penulis buku “Atlas Wali Songo
http://satunusanews.id/islam-kejawaan-taddaburanmaiyahan-di-indonesia/

Sunday, December 11, 2016

Al-Maidah: 51 dan Politik Islam yang Tak Kunjung Lepas Landas


Minggu lalu saya diminta untuk memberikan komentar atas artikel berjudul "Politik Islam di Indonesia: Ideologi, Transformasi, dan Prospek dalam Proses Politik Terkini" yang ditulis oleh Muhammad Zulifan. Karena menurut saya artikelnya juga berhubungan dengan artikel Zulifan lainnya tentang Tafsir atas Al-Maidah Ayat 51, maka saya akan menggabungkan komentar saya atas kedua artikel tersebut dalam tulisan kali ini.

Artikel Zulifan pada dasarnya bersifat deskriptif. Alih-alih mengambil posisi tertentu secara tegas, Zulifan lebih suka memberikan gambaran tentang berbagai pandangan yang ada dalam politik Islam serta tafsir-tafsir Al-Quran dari ulama klasik mengenai pemimpin Islam. Dari segi akurasi isi, tak banyak yang bisa dikritik. Artikel Zulifan pada prinsipnya sudah bagus dan sangat membantu bagi para pembaca yang masih awam mengenai konsep politik Islam. Beberapa poin penting seperti belum adanya kesepakatan diantara para ulama dan pemikir Islam mengenai bentuk "negara" Islam atau sistem politik seperti apa yang paling pas dengan Islam (misalnya apakah demokrasi sesuai dengan Islam atau tidak) layak untuk disampaikan sebagai pendidikan kepada publik sehingga kita tidak terjebak dalam ide bahwa hanya ada satu pemikiran tunggal dan absolut dalam Islam mengenai politik dan negara.

Surat Suara bergambar partai-partai dalam Pemilu Indonesia tahun 1955.

Tapi kekuatan artikel Zulifan tersebut sebenarnya juga sekaligus mengandung kelemahan. Dengan sifatnya yang deskriptif dan umum, Zulifan tidak memberikan kajian lebih jauh dan mendalam mengenai konsekuensi dari berbagai aliran pemikiran politik Islam yang ada, baik di masa lalu maupun saat ini. Padahal sebenarnya konsekuensi pemikiran politik ini perlu diperdalam supaya kita tidak sekedar mengambil keputusan atau pendapat hanya karena si fulan berpendapat ini atau itu, melainkan karena telah kita pikirkan secara mendalam alasan-alasan yang berada di belakang pemikiran si fulan tersebut. Hal ini saya pikir ada korelasinya dengan fenomena yang dibahas oleh Zulifan dalam artikelnya, yaitu tentang rendahnya perolehan suara partai Islam di Indonesia dan tren suara mereka yang justru menurun sejak pemilu tahun 1955 walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Mengapa ini bisa terjadi?

Ada 2 faktor yang berpotensi untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, terdapat masalah internal dalam teori politik ala Islam (sebagaimana akan dibahas di bawah ini) sehingga pada akhirnya menjadi kurang laku di mata pemilih. Kedua, umat Islam di Indonesia bisa jadi enggan berinvestasi untuk mempelajari agamanya sendiri secara mendalam (hal mana pernah saya bahas dalam artikel saya sebelumnya, Karikatur ISIS dan Kemalasan Dalam Beragama). Karena malas berinvestasi, pemikirannya tidak komprehensif dan cenderung reaktif, semuanya serba instan. Partai politik yang rasional menangkap gejala tersebut dan kemudian memutuskan untuk mendulang suara berdasarkan pendekatan reaktif. Dalam jangka dekat, ini mungkin strategi yang efisien. Namun dalam jangka panjang? Ujung-ujungnya akan menjadi lingkaran setan yang membuat politik Islam tak kunjung lepas landas.

Apabila kita baca uraian Zulifan tentang berbagai teori politik Islam, hal-hal yang umumnya diributkan oleh berbagai pemikir ini bersifat sangat abstrak. Seperti apakah ide dan tujuan suatu negara, apakah negara bisa dipisahkan dari agama, apakah demokrasi sesuai dengan Islam, tipe dan persyaratan penguasa yang ideal, bentuk negara yang pas, mekanisme pemilihan pemimpin, dan sebagainya.

Amerika Serikat (USA), di antara politik, demokrasi dan uang. Siapa yang menang?

Isu-isu di atas pada prinsipnya masih relevan dalam memikirkan bagaimana caranya memberikan kemaslahatan yang sebesar-besarnya kepada masyarakat yang digadang sebagai tujuan utama dari politik Islam. Pertanyaan-pertanyaan itu pun sampai sekarang masih dicoba untuk dijawab oleh banyak ahli politik dan ahli hukum di planet ini. Founding Fathers Amerika Serikat sendiri mengakui bahwa ketika mereka memperkenalkan teori demokrasi mereka, mereka sedang melakukan eksperimen besar yang sampai sekarang pun belum selesai.

Masalah terbesar teori politik Islam bukanlah karena mereka menanyakan pertanyaan yang salah, tetapi karena teori-teori tersebut berhenti bereksplorasi lebih jauh dan malas menerjunkan diri ke dunia empiris dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tersebut. Teori politik Islam diasumsikan dapat menjawab semua permasalahan di muka bumi karena berasal dari nilai-nilai Islam yang dianggap mencakup segala macam bidang secara komprehensif.

Tetapi tanpa menguji efektivitas teori-teori tersebut di lapangan, atau setidaknya memikirkan konsekuensi aktual dari teori-teori tersebut, bagaimana caranya kita tahu bahwa teori-teori tersebut benar-benar mumpuni dan baik bagi seluruh anggota masyarakat? Saya pikir ini dikarenakan kita terlena dengan klaim bahwa Islam adalah sempurna (Al-Maidah: 3) dan hukum Islam adalah hukum yang terbaik (Al-Maidah: 50), sehingga sebagian besar dari kita merasa tidak perlu lagi ada yang dibuktikan, bahwa seharusnya semua orang wajib tahu dan mengakui hal itu dari lubuk hatinya yang paling dalam secara otomatis.

Tetapi dunia tidak berjalan sesederhana itu. Semakin dahsyat klaim kita, semakin sulit sebenarnya untuk membuktikan hal tersebut dalam prakteknya. Tanpa alur pemikiran yang konsisten, klaim itu akan berbalik menghantui kita.

Video Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Pulau Seribu yang dianggap kontroversial dan akhirnya menggemparkan umat Islam di seantero negeri.

Ambil contoh kasus yang sedang marak, tentang kewajiban kaum Muslim untuk memilih pemimpin Islam sebagaimana diungkapkan dalam surah Al-Maidah: 51. Berbagai tafsir yang dikutip oleh Zulifan dalam artikelnya sudah memberikan gambaran secara umum tentang bagaimana para ulama zaman dahulu berpendapat soal status kepemimpinan non-Muslim. Jangankan menjadi pemimpin, menurut berbagai tafsir tersebut, menjadikan orang Nasrani dan Yahudi sebagai kawan setia pun sebenarnya bermasalah (hal ini karena memang dari berbagai tafsir yang ada, istilah awlia dalam Al-Maidah tidak terbatas merujuk pada "pemimpin", tetapi lebih ke "teman setia" yang pengertiannya lebih luas, dan istilah ini tidak hanya sekali saja digunakan dalam Quran sebagaimana dibahas di bawah ini).

Hal ini juga dipertegas dalam surah Ali Imran: 118, dimana disebutkan pula bahwa orang kafir senantiasa membenci orang Muslim baik di mulut maupun di hati. Dalam tafsir Ath-Thabari atas ayat tersebut disebutkan bahwa orang kafir tidak tahan untuk tidak menimbulkan keburukan bagi kaum Muslim dan bahwasanya bersahabat dengan mereka akan menimbulkan mudharat alias kerusakan.

Pengecualiannya adalah apabila kita sedang bersiasat untuk menghindari sesuatu yang kita takuti dari kaum kafir sebagaimana dimuat dalam surah Ali Imran: 28 (Artikel Zulifan tidak menuliskan sumber ayat Quran mengenai pengecualian tersebut). Tafsir-tafsir yang dikutip oleh Zulifan menjelaskan bahwa pengecualian ini adalah dalam konteks ketika kita khawatir akan keselamatan jiwa kita, atau misanya sepanjang orang kafir tersebut tidak menjajah atau menumpahkan darah kita. Intinya sepanjang hati kita tetap beriman, walaupun lisan berbeda demi keselamatan, maka itu sah-sah saja. Pragmatisme Islam memang selalu membuat saya terkagum-kagum. Dalam situasi dimana ada orang yang mengaku Muslim tetapi sebenarnya hanya di lisan, maka ia dikategorikan munafik, tetapi kalau dibalik situasinya, maka itu disebut taqiya, dan sah-sah saja. Ini tipe moralitas pragmatis dan konsekuensialis, bukan deontologis.


Bagaimana dengan tafsir yang lebih kontemporer? Tafsir Departemen Agama Republik Indonesia menyatakan bahwa inti dari Al-Maidah: 51 adalah larangan menjadikan orang Nasrani dan Yahudi sebagai teman setia, apalagi pemimpin. Hal yang sama juga diungkapkan dalam tafsir Al-Wasith dari Wahbah Az-Zuhaili, yaitu, jangan berjanji setia dengan orang kafir, jangan membocorkan rahasia kepada mereka, jangan merasa senang berteman dan bertali kasih dengan mereka, karena mereka tidak akan tulus dan memenuhi janji mereka.

Dalam hal ini, larangan tersebut terkait dengan hubungan dengan non-Muslim secara mendalam tetapi tidak meliputi sekedar interaksi dan perdagangan biasa tanpa pembauran hubungan yang mengakar. Sementara itu dalam tafsir Al-Misbah oleh Quraish Shihab, walaupun mengakui keluasan istilah awlia dalam Al-Maidah, Quraish Shihab memandang bahwa larangan menjadikan orang kafir sebagai teman setia dan pemimpin tidaklah mutlak, namun hanya bila orang kafir tersebut memerangi atau merugikan kaum muslimin dengan merujuk pada surah Al-Mumtahanah: 9.

Berdasarkan pembahasan di atas, mungkin akan ada banyak orang yang menyatakan bahwa isu dalam ayat-ayat di atas beserta tafsirnya sudah jelas. Jelas haram memilih pemimpin non muslim, termasuk di Indonesia, dan bahwa mereka yang masih mendukung orang-orang non-muslim adalah bagian dari orang kafir. Tapi benarkah ayat dan tafsiran ayat tersebut sudah sangat jelas, sejelas matahari terik di siang hari tak berawan di musim panas tanpa hujan?

Kalau kita analisis lebih jauh, sesungguhnya belum jelas benar apa yang sebenarnya dimaksud dengan istilah "pemimpin". Sebagaimana diungkapkan oleh Zulifan sendiri, kalau konsep bentuk negara saja masih diperdebatkan dalam teori politik Islam, bagaimana caranya kita bisa menentukan definisi pemimpin yang tepat? Ambil contoh kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah karangan Imam Al-Mawardi yang terkenal itu. Sistem yang diusung oleh Al-Mawardi adalah khilafah dan yang boleh menjadi Khalifah adalah bukan saja wajib orang Muslim, tapi juga harus keturunan Quraisy (menurut Al-Mawardi, nash terkait persyaratan tersebut sudah sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan kecuali oleh orang-orang yang nyeleneh). Bagaimana caranya menerapkan aturan demikian di Indonesia?

Al-Mawardi dan karyanya yang terkenal: "Al-Ahkamus-Sulthaniyah".

Atau karena kita sekarang sedang meributkan posisi gubernur? Mari kita lihat bagaimana Al-Mawardi menggambarkan posisi tersebut. Gubernur suatu propinsi dalam versi Al-Mawardi bertugas untuk antara lain mengelola pasukan, memutuskan hukum dan mengangkat hakim, menarik pajak, melindungi agama, menegakkan hudud, dan menjadi imam dalam shalat Jumat.

Jadi yang menjadi gubernur harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: (i) adil, (ii) memiliki ilmu yang membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus hukum, (iii) sehat inderawi, (iv) sehat organ tubuh, (v) wawasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat, (vi) berani dan ksatria, (vii) dan memiliki keahlian khusus di bidang yang ditanganinya, misalnya perpajakan dan perang. Dalam konteks demikian, wajar kalau yang menjadi gubernur harus orang Islam, bahkan bukan sekedar orang Islam, karena dia juga harus menjadi ahli hukum Islam. Lantas apakah persyaratan tersebut terpenuhi kalau kita terapkan di Indonesia dan apakah jabatan gubernur di Indonesia serupa dengan ide gubernur versi kitab fiqh klasik?

Atau mungkin karena ini terlalu klasik? Bagaimana dengan pendekatan yang sedikit lebih modern? Merujuk pada buku Teori Politik Islam oleh Dhiauddin Rais, Profesor dari Universitas Kairo, persyaratan untuk menjadi gubernur antara lain adalah: (i) berilmu dengan memenuhi kualifikasi untuk melakukan ijtihad baik di level ushul (pokok) maupun furu' (cabang), (ii) mengetahui ilmu politik, perang dan administrasi, (iii) kondisi jiwa raga yang baik, (iv) berlaku adil dan berakhlak mulia, dan (v) memiliki kualifikasi kepemimpinan yang penuh (muslim, bebas/bukan budak, laki-laki, dan berakal).

Dengan demikian, persyaratannya belum banyak berubah dalam 1.000 tahun terakhir ini. Tapi bagaimana caranya menemukan manusia super dan paripurna semacam itu dalam prakteknya? Orang yang layak menjadi gubernur dalam teori ini haruslah ahli hukum Islam, ahli ibadah, ahli ekonomi, tentara, hatinya putih bersih dan kemungkinan besar badannya harus six-pack. Mungkin akan lebih menarik seandainya ada yang berminat melakukan kajian empiris dan memberikan catatan dari sedemikian banyaknya gubernur dan menteri di zaman kekhilafahan dulu, seberapa banyak orang yang memenuhi kriteria di atas dan kalau benar zaman dulu kekhilafahan Islam dipenuhi dengan manusia-manusia paripurna di atas, bagaimana mungkin kekhalifahan bisa bubar semengenaskan itu?

Tarikh Thabari sebuah karya dari Ibnu Jarir ath-Thabari.

Melanjutkan kerancuan definisi pemimpin ini, Ath-Thabari menyatakan bahwa orang muslim yang mengangkat orang kafir sebagai pemimpin telah mengikuti agama pemimpinnya itu. Hal ini dikarenakan agamanya otomatis sama dengan agama pemimpin itu dan ia meridhai agama pemimpinnya, dan orang yang memeluk suatu agama akan tunduk pada aturan agama tersebut. Dengan demikian, dalam versi Ath-Thabari, jurisdiksi hukum, terkait murni dengan agama seseorang. Ini teori hukum klasik yang sangat awam pada zaman Ath-Thabari, mengingat konsep negara modern belum ada dan Islam bermula sebagai perkumpulan yang berbasis agama. Maka tidak mengherankan apabila teori jurisdiksi yang dibangun pun berbasis agama. Umat mengikuti agama pemimpinnya. Pertanyaannya lagi, apakah ini sesuai dengan konsep negara di Indonesia saat ini? Apakah memang kita senantiasa otomatis selalu mengikuti agama pemimpin kita?

Isu yang tak kalah pentingnya, ayat-ayat yang saya sampaikan di atas sangat konfrontatif dengan umat non-Muslim. Kaum kafir digambarkan sebagai musuh-musuh kita yang selalu siap untuk melahap kita ketika kita sedang lengah. Dari fakta inilah mengapa beberapa ulama kontemporer mencoba menafsirkan bahwa konteks ayat-ayat di atas adalah khusus pada masa perang sehingga wajar bernuansa konfrontatif. Tetapi tentu saja ada juga ulama yang berpendapat bahwa keumuman lafaz mengesampingkan kekhususan sebab (misalnya untuk Al-Maidah: 51 yang asbabun nuzul-nya diceritakan terkait dengan peristiwa kekalahan umat Muslim di perang Uhud), dan dengan demikian beranggapan bahwa ayat-ayat di atas bersifat universal. Tidak sulit untuk mencari contoh pendapat tersebut di masa klasik karena memang mayoritas berpendapat demikian.

Yang penting bagi kita sekarang adalah memikirkan konsekuensinya apabila kita menerima tafsir demikian seutuhnya dan dengan segenap hati. Ini bukan isu kecil dan saya tidak sepakat dengan klaim Zulifan bahwa kita bisa santai saja melihat keberadaan tafsir ini tanpa harus mengganggap bahwa mereka salah sama sekali.


Apabila kita sepakat bahwa secara inheren orang non-Muslim adalah musuh yang tak bisa dipercaya, persatuan dan kebhinekaan Indonesia akan menjadi omong kosong. Jangankan menjadi pemimpin (kalau pun itu bisa didefinisikan) di level gubernur, bisa jadi seharusnya kita juga tak boleh menjadikan orang kafir sebagai teman karib, bos, partner bisnis, dan sebagainya.

Dan karena teman setia dan pemimpin definisinya tak jelas, dan kita juga hendak menjauhi syubhat atau keragu-raguan sehingga kita bisa menjalankan Islam secara kaffah, mengapa berhenti hanya di level gubernur? Hal yang sama harusnya berlaku dari mulai level ketua RT, ketua RW, lurah, bupati/walikota, gubernur, pejabat BI, hakim agung, hakim konstitusi, menteri, kepala departemen dan Presiden.

Ketika Al-Mawardi menyatakan bahwa orang kafir boleh menjabat sebagai menteri pelaksana (ada 2 tipe menteri dalam teorinya, menteri pelaksana dan menteri penuh), hal ini dikarenakan kewenangan menteri pelaksana sangat terbatas, tak bisa memutuskan hukum, tak bisa mengelola anggaran sendiri, dan tidak bisa mengangkat pegawai. Dalam konteks demikian, tidak ada menteri pelaksana di Indonesia, konsekuensinya kalau kita sepakat dengan Al-Mawardi, menteri dan pejabat kafir pun seharusnya haram di Indonesia.

Pun mengapa kita mesti berbisnis dengan orang kafir? Apalagi bekerja di bawah orang kafir (memangnya bos bukan teman setia, dia yang menggaji anda dan menjadi topangan hidup anda lho?) Yakinkah kita bahwa berbisnis dengan mereka tidak membuat kita lama-lama nantinya berteman baik dengan mereka? Awalnya bisnis, lalu menjadi teman yang saling mempercayai, dan akhirnya pindah agama? Bukankah secara universal orang kafir tak bisa dipercaya? Mungkin ini kenapa Indonesia tidak maju-maju, karena negara kita masih dihuni orang kafir dan kita masih mau bersahabat dengan mereka. Pertanyaannya, benarkah ini tafsir yang hendak kita usung sebagai nilai yang agung dari Islam? Inikah tafsir yang akan kita jual ke khalayak ramai sebagai wajah Islam yang asli di dunia modern?

WARNING !!! Jangan saling injak dan saling sikut, tapi bergotong-royonglah !!

Mungkin sampai di sini akan ada yang berpendapat bahwa menafsirkan Al-Maidah: 51 seperti di atas sudah kelewatan, berlebihan. Ini cuma soal pemimpin sebenarnya (apapun definisinya), tak sampai sejauh itu soal teman setia. Masalahnya ini bukan ide saya, saya hanya mengutip tafsir-tafsir yang sudah ada dari zaman dahulu kala, dan bahkan masih diulang di versi resmi tafsir Departemen Agama sendiri. Tinggal isunya mau kita terima penjelasan seperti itu bulat-bulat atau mau kita renungkan lebih jauh?

Inilah yang akan membawa kita ke pertanyaan berikutnya yang tak kalah krusial, ketika seseorang memilih suatu tafsir atau pendapat, apa sebenarnya yang melatarbelakangi penerimaan ia atas tafsir tersebut? Apakah karena benar-benar memahami semua konsekuensinya atau hanya sekedar karena tafsir itu dibuat oleh ulama zaman dulu yang diasumsikan benar dan terjaga karena sanad-nya sampai ke Nabi? Atau karena itu semua merupakan pendapat mayoritas! Atau bagaimana?

Sebagai contoh, saya sempat melihat tulisan yang menyatakan bahwa karena mayoritas tafsir klasik terkait Al-Maidah: 51 adalah ditujukan pada larangan memilih pemimpin non-Muslim, maka pendapat ini menjadi pendapat yang valid dan wajib dihormati. Dengan demikian apabila seseorang menyatakan bahwa pendapat atau tafsir ini sebagai suatu kebohongan, ia telah melakukan kejahatan besar.

Dengan logika yang sama, siapapun yang menghina dan mengutuk ISIS karena telah memperbudak kaum Yazidi serta menjadikan wanita dan anak-anaknya sebagai budak seks pun patut dianggap menghina Islam. Bukan apa-apa, tindakan yang dipraktekkan oleh ISIS adalah sesuatu yang lumrah dan halal dalam hukum Islam. Tawanan perang dapat dijadikan budak dan budak halal digauli (baca: diperkosa) oleh tuannya. Pendapat ini juga pendapat mayoritas, bukan pendapat minoritas, bahkan mungkin sudah masuk level Ijma’ sebagaimana diklaim oleh Ath-Thabari dalam kitabnya tentang jihad (bahkan menurut Ath-Thabari, sekalipun wanita dan anak-anak itu kemudian masuk Islam, tidak mengubah statusnya dari budak menjadi merdeka). Apakah karena pendapat ini mayoritas, maka pendapat ini menjadi valid dan layak dihormati?


Tidak percaya bahwa perbudakan halal dalam hukum Islam? Hal ini sebenarnya dimuat secara tegas dalam surah Al-Mu'minun: 5-6, dimana pada intinya disebutkan kebolehan untuk bersetubuh dengan istri dan budak-budak. Ath-Thabari menjelaskan pengertian ayat ini bahwa bersetubuh dengan budak bukan saja merupakan hal yang diperbolehkan, namun juga bukan tindakan yang memalukan karena disetujui oleh Tuhan. Dalam tradisi fiqh klasik, budak adalah aset yang halal untuk diperjualbelikan. Dalam kasus seseorang mengalami kepailitan dan hartanya tak cukup untuk membayar hutangnya, ia dilarang untuk membebaskan budaknya karena dapat mengganggu hak kreditornya (contoh ini dimuat dalam Hadits Bukhari No. 2415 Vol. 3). Apabila seseorang mengizinkan orang lain menyetubuhi budaknya, maka hal tersebut tidak dianggap zina karena tindakan tersebut dipersamakan dengan memberikan hadiah kepada orang lain tersebut (ini tercantum dalam Bidayatul Mujtahid karangan Ibn Rusyd).

Bisa jadi ada yang berpendapat bahwa perbudakan sudah dilarang berdasarkan Hadits Bukhari No. 2227 Vol. 3 yang menyatakan bahwa Nabi akan menjadi musuh dari orang yang menjual orang bebas untuk menjadi budak dan memakan harganya. Tetapi sayangnya Hadits tersebut hanya satu dari total 7.000 lebih Hadits dalam kitab Bukhari, sifat sanksinya pun di akhirat sehingga tidak ada hukuman nyata, dan tidak melarang secara tegas praktek perbudakan. Pun di Hadits lainnya tetap dimungkinkan untuk memperbudak manusia lain melalui perang, misalnya Hadits Bukhari No. 2229. Pendapat kebolehan memperbudak via perang ini pun disetujui oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab fiqh kontemporernya.

Umumnya ulama-ulama kontemporer berpendapat bahwa aturan perbudakan sifatnya temporal dan sedari awal menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu ayat-ayat dan aturannya harus dimaknai secara kontekstual, toh Islam telah mengangkat derajat perbudakan dan memang sedari awal perbudakan sudah direncanakan untuk dihapuskan.

Namun isunya adalah, bukti di lapangan maupun teks-teks Quran dan Hadits tidak menunjukkan demikian. Alih-alih hilang dalam sekejap, perbudakan di dunia Islam berlangsung ribuan tahun dan dianggap biasa-biasa saja selama itu. Benar, seorang budak bahkan bisa menjabat posisi di pemerintahan tertentu (sangat terbatas) seperti dalam kitab Al-Mawardi, tetapi status budaknya tidak hilang, seorang budak bisa setiap saat diperjualbelikan layaknya barang dan tetap dianggap setengah manusia (karena nilai diyat-nya lebih rendah dari orang merdeka). Bidayatul Mujtahid yang ditulis 600 tahun setelah Islam muncul, juga santai saja membahas jual beli budak sebagai business as usual, bahkan kitab itu justru meributkan jual beli kucing dan anjing yang menjadi bahan perdebatan ulama antar mazhab (yaitu apakah masuk kategori haram atau makruh untuk diperjualbelikan).

Salah satu lukisan tentang perbudakan di Negeri Sahara.

Yang sering dilupakan oleh orang-orang adalah bahwa ketika kita akhirnya menerima ide bahwa perbudakan harus diharamkan, ada lompatan keyakinan yang sangat besar di situ. Ada banyak ayat Quran yang tegas menyatakan jangan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Yusuf Qardhawi berargumen bahwa mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan sebaliknya sudah masuk kategori syirik-nya kaum Jahiliyah dengan merujuk kepada surah Al-Maidah: 103-104 dan Al-A'raf: 32-33. Dengan demikian, menurutnya, kasus penghalalan dan pengharaman ini adalah isu fundamental yang terkait dengan keimanan itu sendiri. Sebagai catatan, Al-Qardhawi tidak membahas tentang kasus perbudakan dalam bukunya yang fenomenal, Halal dan Haram dalam Islam.

Apabila kita setuju dengan tafsiran Al-Qardhawi di atas, bagaimana caranya kita bisa menyatakan bahwa perbudakan haram, bahwa tindakan ISIS adalah tindakan yang layak dikutuk dan dinistakan, sementara Quran memperbolehkan perbudakan? Bagi sebagian orang ini mungkin menimbulkan apa yang disebut dengan cognitive dissonance, atau bahasa sederhananya, "bingung". Kalau kita sepakat bahwa apa yang sudah jelas dalam Quran adalah benar, sempurna dan tidak bisa diperdebatkan lagi, maka aturan perbudakan memang seharusnya tidak boleh diubah, dan mengharamkan perbudakan adalah dosa besar.

Ini mengharuskan kita untuk mengajukan sebuah pertanyaan yang maha penting. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan sempurna dan terbaik? Meminjam definisi dari American Heritage Dictionary, kata sempurna (perfect) berarti absolut dan benar dalam segala aspeknya, tanpa cela, tanpa kelemahan, tanpa kesalahan. Kata sempurna juga bisa berarti cocok untuk segala situasi. Yang satu sifatnya absolut dan jumud, yang satunya lagi fleksibel.

Kalau kita ambil definisi yang jumud, kepala kita akan pusing tujuh keliling untuk memastikan dan mencari dasar yang menunjukkan bahwa kehalalan perbudakan adalah baik dan benar sepanjang masa dari zaman Nabi sampai kiamat nanti. Kita juga harus memastikan bahwa secara empiris, tidak ada klaim Quran yang salah. Sebagai contoh, apabila kita menemukan bahwa ada satu saja orang kafir dari 7 miliar manusia di Bumi yang ternyata tidak menyimpan bara permusuhan dengan kita, maka ayat Quran dalam surah Ali-Imran: 118 tentunya akan menjadi salah, karena seharusnya semua orang kafir adalah musuh abadi kita, baik terang-terangan, maupun di balik selimut. Absurd kan kalau kita baca seperti ini?

Boko Haram dan ISIS mempraktekkan perbudakan pada kaum wanita.

Contoh lain yang tak kalah menarik adalah Hadits terkenal tentang tak akan beruntungnya suatu kaum yang dipimpin wanita. Sebagai bahasa propaganda, Hadits ini spektakuler dan sering digunakan kalau bukan selalu digunakan untuk menolak memberikan jabatan pemerintahan dalam bentuk apapun kepada wanita. Namun sebagai prediksi empiris, Hadits ini menimbulkan banyak pertanyaan. Lupakan sejenak soal analisis kontekstual Hadits tersebut yang katanya terkait dengan kerajaan Persia. Apabila kita berlakukan secara universal, Hadits tersebut tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan pemimpin dan apa yang dimaksud dengan tidak beruntung. Apakah pemimpin ini harus di level khalifah, menteri, gubernur (atau jangan-jangan termasuk wakil gubernur)? Atau kalau di sistem non-Islam, presiden, perdana menteri, atau ratu? Lalu tidak beruntung ini apakah maksudnya negaranya hancur lebur, rakyatnya kelaparan dan masuk neraka, atau pemerintahannya amburadul? Kapan ketidakberuntungan ini muncul? Seketika setelah wanita diangkat menjadi pemimpin, seminggu kemudian, setahun kemudian, atau seratus tahun kemudian? Semuanya tidak jelas!

Kemudian kalau kita cek secara empiris, ada banyak negara dan wilayah yang dipimpin wanita dan katakanlah kita gunakan satu kriteria yang sama, misalnya GDP, atau tingkat literasi, atau tingkat kebahagiaan, dan sebagainya. Apabila ada satu saja negara atau wilayah yang dipimpin wanita yang ternyata baik-baik saja atau lebih baik dibanding ketika dipimpin seorang pria, maka Hadits tersebut akan otomatis salah apabila dimaknai secara literal dan universal. Jujur saja, saya tak berminat buang-buang waktu memastikan Hadits tersebut benar secara absolut karena susah sekali mempertahankan keabsolutannya. Lebih mudah menafsirkannya secara kontekstual dan membuatnya jadi aturan yang fleksibel.

Saya berharap kasus-kasus di atas bisa membuat kita berpikir lebih jauh bahwa ketika kita menelisik pendapat zaman dahulu, kita tidak boleh berhenti sekedar bahwa karena pendapat itu dikemukakan oleh ulama terkenal di zamannya, namun kita juga harus telaah konsekuensi dari pemikiran yang diusung. Jadi kita benar-benar harus paham ketika kita mendukung atau menolak argumen tersebut.

Berargumen bahwa kita ngikut saja apa yang ada karena kita tidak paham dan kurang belajar, sebenarnya menunjukkan bahwa memang kita tidak pernah menganggap penting untuk berinvestasi dalam soal agama. Jangan tutupi kemalasan kita dengan alasan penghormatan pada ulama zaman dahulu. Berkoar-koar penuh semangat memang gampang, nggak capek, tinggal teriak-teriak atau tulis pesan via whatsapp, jauh lebih mudah dibandingkan meneliti ratusan buku dan kitab yang kebanyakan sudah berdebu karena jarang disentuh. Itu pun juga kalau punya bukunya, mau menyediakan waktu, dan punya kemampuan bahasa untuk menelaahnya.


Yang saya takutkan, kita sudah terlalu lama menghabiskan waktu dalam ilusi kesempurnaan itu dan menganggap remeh kemajuan di tempat lain. Kita terperangkap dalam delusional yang menganggap bahwa teori politik Islam sudah demikian luar biasanya, pendapat ulama zaman dahulu adalah luar biasa tanpa tanding, dan bahwa semua kegagalan politik Islam di masa kini tidak lain dikarenakan konspirasi Yahudi dan Nasrani yang hendak menutup laju pertumbuhan Islam yang akan cemerlang di bawah hukum Islam.

Tolong kembali ke realitas. Kita tidak akan maju kalau terus hidup dalam dunia teori konspirasi. Kalau setiap kritik dijawab dengan jawaban semacam ini: “perbaiki akhlak dulu, ah saya kurang tahu, kita hati-hati saja, kita ngikut saja sebagi orang beriman,” dsb, kemungkinan besar masa depan politik Islam akan suram.

Ilmu politik di Amerika Serikat misalnya sudah makin kuantitatif, penelitiannya berbasis data empiris dan para ahlinya dituntut belajar statistik secara mendalam. Model-model matematika baru telah banyak digunakan untuk menganalisis sistem politik dan demokrasi, mencari kelemahan-kelemahan sistem tersebut serta mekanisme yang bisa digunakan untuk memperbaikinya.

Debat filosofis dan hukum tentang bagaimana sistem demokrasi berjalan gegap gempita dilakukan. Ada sistem otokritik yang berjalan dengan kencang. Seni pemerintahan juga semakin canggih, penyusunan kebijakan publik berbasis data, manajemen yang efisien, Cost Benefit Analysis dan Behavioral Economics semakin merebak. Rakyat juga semakin demanding, mereka lebih ingin didengar, mereka juga ingin pejabat yang paham kemauan mereka.

Orang kan tidak bisa selamanya hidup di zaman batu dan pemimpin juga tidak bisa seenaknya hidup tanpa akuntabilitas. Boleh saja para ahli berdiskusi tentang syarat-syarat menjadi pemimpin yang baik, tetapi ketika puluhan ribu rakyat yang kecewa menggedor pintu istana karena ekonomi berantakan, persyaratan-persyaratan itu hanya akan jadi tong kosong yang nyaring bunyinya.


Pertanyaannya, sejauh mana teori politik Islam sudah berkembang untuk menjawab permasalahan real? Masa-masa retorika kesempurnaan dan terbaik sudah usai. Masa kini menuntut pembuktian tegas atas hal tersebut. Berapa banyak orang sih yang bisa kita yakinkan tanpa bukti secuil pun bahwa kalau negara ini menggunakan sistem khilafah dan menggunakan hukum Islam maka Indonesia sudah pasti akan menjadi negara super makmur? Berapa banyak orang yang percaya dan masih akan tetap percaya tanpa ada penjelasan yang detail bahwa apabila seluruh pemimpin Indonesia adalah orang muslim, maka masa-masa ketika Indonesia mengalahkan Rusia dan Amerika hanyalah tinggal menunggu waktu? Ada mungkin orang-orang yang percaya, tapi berapa banyak, dan kampanye seperti ini mau bertahan sampai sejauh mana?

Ambil contoh ide bahwa demokrasi dianggap buruk karena memungkinkan hukum Tuhan diganti, sehingga kita seharusnya menggunakan sistem khilafah dan dewan ulama. Hati-hati, pahamkah kita tentang mana hukum Tuhan yang bisa diganti dan tidak bisa diganti? Apakah itu salah demokrasi ketika dewan ulama pun juga bisa melakukan hal yang sama?

Selain kasus perbudakan, kita bisa menganalisis kasus hukum perceraian dan poligami di Indonesia. Melalui Kompilasi Hukum Islam yang dibuat melalui musyawarah dengan para ulama Indonesia, suami tak bisa menalak istri tanpa melalui pengadilan agama dan tidak bisa kawin dengan istri kedua dan seterusnya tanpa persetujuan istri pertama.

Merujuk pada pandangan ulama klasik serta ayat-ayat Quran dan Hadits, tidak ada satupun dalil yang menyatakan secara tegas bahwa seorang lelaki perlu pergi ke pengadilan untuk menceraikan istrinya dan perlu meminta izin istri pertama untuk kawin lagi. Tapi dalam kenyataannya aturan itu berubah, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Iran, dan beberapa negara di Afrika. Apakah dengan itu ulama-ulama di Indonesia jadi tiba-tiba melanggar dan mengganti hukum Tuhan karena berpendapat demikian? Isunya tidak sesederhana itu dan melibatkan banyak teori penafsiran yang rumit.


Sayangnya bahasa politik tidak bisa lepas dari bahasa propaganda, yang diambil yang gampang-gampang saja dan yang mudah dicerna. Bagaimana tidak, untuk menjelaskan soal mengapa kita perlu bersikap fleksibel dalam menafsirkan hukum Islam, saya harus menulis satu disertasi. Meringkas sebagian ide dari disertasi tersebut dalam satu artikel blog saja sudah memakan lebih dari 4.000 kata. Jauh lebih gampang memang mengklaim hukum Islam sempurna tanpa cacat dibanding membantu masyarakat memahami kompleksitas yang timbul dari klaim tersebut beserta dengan segala konsekuensinya.

Teori politik Islam tidak bisa menjadi alternatif baru kalau mereka terus berusaha melawan dunia yang semakin empiris dan real hanya dengan konsep murni iman saja. Bagaimana caranya menjamin bahwa sistem khilafah atau sistem pemerintahan non-sekuler lebih baik dari demokrasi? Yang mengurus pemerintahan kan orang-orang juga. Siapa yang bisa memastikan bahwa di bawah sistem khilafah atau negara non-sekuler, semua pejabat akan taat aturan, baik pada rakyatnya, murni memikirkan kepentingan umum, dan sebagainya? Allah SWT? Serius?

Tidak ada penjelasan mengenai check and balance, tidak ada bahasan mendalam mengenai insentif dan rasionalitas manusia? Kita hanya akan berasumsi bahwa semua manusia yang jadi pemimpin itu baik dan sempurna? Kita tidak akan membahas bagaimana caranya menemukan manusia-manusia paripurna yang layak menjadi pemimpin kita? Atau kita mungkin tidak mempertimbangkan kembali apakah persyaratan paripurna itu sebenarnya wajar atau tidak dalam prakteknya?

Islam itu artinya salam atau damai (peace).

Hallo, ada yang pernah baca sejarah tentang mengapa Khilafah Turki Ustmani runtuh? Tolong kesampingkan buku-buku yang menyatakan bahwa itu semua ulah konspirasi Yahudi. Karena kalau kita sepakat bahwa ini semua ulah konspirasi Yahudi dan kita yakin bahwa khilafah adalah sistem terbaik, berarti secara logika, kita harus menyusun sistem baru karena terbukti sistem terbaik kita itu ternyata tak sanggup melawan konspirasi segelintir orang Yahudi.

Lebih jauh lagi, tengoklah apa yang bisa dikontribusikan oleh teori politik Islam ke dalam negara Indonesia? Apa yang bisa ditawarkan untuk memperbaiki sistem politik dan juga sistem hukum di Indonesia? Yang realistis, bukan yang bombastis. Yang real, bukan yang penuh asumsi saja.

Semua orang juga tahu bahwa konsep negara itu seharusnya untuk menjaga kehidupan masyarakatnya, pertanyaannya, bagaimana caranya mencapai hal demikian, apa saja masalah-masalahnya, dan bagaimana menyelesaikannya? Memberikan jawaban dalam bentuk: sistem lain semuanya buruk atau bermasalah dan sistem Islam akan menyelesaikan semuanya tapi tanpa disertai penjelasan memadai, sebenarnya justru menghina intelektualitas kita.

Bagaimana caranya kita bisa meyakinkan banyak orang bahwa sistem kita adalah yang terbaik? Ini pertanyaan yang saya pikir membutuhkan perenungan jangka panjang dan disertai dengan perubahan paradigma yang signifikan. Dan inilah tantangan yang harus dijawab oleh teori politik Islam kalau memang sungguh-sungguh berniat untuk lepas landas dan memimpin dunia. Singkatnya, jalan masih panjang, bung!

Pramudya A. Oktavinanda
Advokat dan Kandidat PhD di University of Chicago Law School
pramoctavy.com, 24 Oktober 2016