Showing posts with label Kebohongan. Show all posts
Showing posts with label Kebohongan. Show all posts

Friday, February 22, 2019

Sulitnya Menasehati Pendukung Fanatik

Pak Kasmudjo, dosen Jokowi saat menjadi mahasiswa Fak Kehutanan, UGM.

Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi saya berinteraksi –sekadar ngobrol dan berdebat kecil– dengan kelompok “pemuja” petahana. Saya beri istilah “pemuja”, karena mereka ini sudah menganggap petahana satu-satunya sosok yang akan menyelamatkan Indonesia. “Ratu Adil”-lah istilahnya.

Petahana tidak ada cacat sedikitpun bagi mereka. Ketika ditunjukkan kebodohan, kebohongan dan kegagalan petahana, mereka tetap tak bergeming. Pernah saya tunjukkan beberapa video petahana yang gagap dan gugup di depan kamera saat menjawab pertanyaan wartawan.

Pernah juga saya tunjukkan betapa petahana mengaku tidak membaca apa yang ditandatanganinya, juga mengaku IPK-nya tidak lebih dari 2, sampai ketidakmampuan beliau berbahasa asing.

Berbagai macam data yang seharusnya menggiring pemahaman bahwa petahana tidak kompeten atau tidak smart, ternyata tidak diindahkan oleh mereka. Awalnya saya tidak ambil pusing, karena itu hal biasa.


Saya pikir, ini adalah fenomena defense mechanism (mekanisme pertahanan) saja. Namun, saya melihat argumentasi menarik dari mulut mereka, yang menggiring saya pada kesimpulan bahwa defense mereka bukan defense biasa.

Saya ingat salah satu teori tentang perilaku relijius orang-orang pagan (penyembah berhala). Mereka menyembah benda-benda, atau makhluk-makhuk seperti hewan dan tumbuhan, bukan karena akal tapi mereka yakin bahwa yang disembah itu mampu memberikan kebaikan.

JIka dipikir dengan akal, maka mereka tahu bahwa benda dan makhluk yang disembah itu tidak logis dapat memberikan kebaikan kepada mereka. Namun mengapa terus disembah? Pakar psikologi agama mengatakan, justru karena tidak logis itulah maka berhala-berhala itu disembah. Para penyembah berhala itu disebut sebagai orang-orang yang “mabuk keajaiban”.

Mereka adalah orang-orang yang menyukai keajaiban secara berlebihan. Sebagai contoh, untuk menjelaskan keajaiban yang dimaksud: para penyembah berhala itu tahu, kalau ingin kaya, mereka harus bekerja dengan rajin. Jadilah pedagang atau jadilah pegawai. Namun itu rasional, bukan keajaiban.


Ajaib itu menjadi kaya dengan menyembah batu! Tidak masuk akal, namun justru itulah yang namanya keajaiban. Kalau masuk akal, itu bukan keajaiban tapi logis, rasional. Dan yang logis, rasional itu biasa, bukan keajaiban.

Saya perhatikan, dinamika psikologis inilah yang berkerja dalam otak kelompok pemuja petahana tersebut. Semakin ditunjukkan bahwa petahana memiliki kekurangan-kekurangan dan tidak logis kalau beliau dapat memperbaiki Indonesia, mereka justru semakin bersemangat untuk mendukung petahana.

Beberapa diantara mereka mendebat dengan nasehat adiluhung orang Jawa, “wong pinter ora mesthi bener, wong bener ora mesthi pinter”.

Mereka mau mengatakan, “ya, petahana memang bodoh, tapi dia orang yang benar”. Padahal nasehat Jawa itu maksudnya, “wong (sing ketok) pinter ora mesthi bener, wong sing bener (ora kudu ketok) pinter”, karena tidak mungkin orang dapat mencapai kebenaran tanpa ilmu, dan orang yang pintar adalah orang yang berilmu.


Para pendukung jenis ini, akan semakin khusyuk membela petahana justru ketika ada bukti kekurangan dari petahana. Bagi mereka, dunia ini berjalan tak logis dan semuanya nampak bertentangan. Dengan kondisi utang yang melambung tinggi, BUMN banyak yang merugi, nilai tukar rupiah yang cenderung melemah, harga-harga turun-naik tak terkendali, dan kepercayaan terhadap pemerintah cenderung terus menurun, masih ada pemuja-pemuja yang percaya bahwa petahana masih mampu membalikkan keadaan.

Padahal kualitas pribadi beliau secara intelektual lemah, literasinya kurang, gagap dan gugup jika tampil tanpa teks, pergaulan dunianya kurang berwibawa, dan dinyatakan terang-terangan sebagai petugas (boneka) partai. Namun justru kualitas-kualitas itulah yang membuat mereka semakin berharap keajaiban, “bisa saja orang ini yang justru akan menyelamatkan Indonesia”. Itulah sebabnya Ruhut Sitompul mengatakan, “Jokowi adalah rahmat Tuhan untuk Indonesia”.

Perilaku seperti ini bukan barang baru di Indonesia. Ingatlah Ponari, dukun cilik yang dikabarkan mampu menyembuhkan segala macam penyakit dengan ‘hanya’ sebuah batu.


Masuk akal? Tidak! 
Tapi justru itulah yang mendorong orang-orang datang untuk merasakan keajaiban. Kalau Ponari itu seorang dokter spesialis dengan gelar akademik doktor (S3), pasti yang datang tidak sebanyak itu. Kenapa? Kalau dokter bisa menyembuhkan penyakit, itu bukan keajaiban. Itu logis! Biasa!

Saya sering tersenyum, namun berterima kasih atas perhatian kawan dan murid-murid saya yang menasehati, “Pak, jangan sering ngatain orang dungu. Tidak baik”. Namun, bagi saya, tidak ada kata yang pas untuk perilaku seperti ini selain “dungu”, karena mereka menolak ajakan berpikir logis, dan malah memaksa akalnya berpikir terbalik.

Mengapa bisa begitu? Jiwa mereka mabuk keajaiban. Orang yang mabuk, selalu ingin merasakan sesuatu yang memabukkan itu. Kalau sesuatu yang memabukkan itu berupa khamr (miras), maka khamr (miras) lah yang diinginkan. Dalam kasus ini, sesuatu yang memabukkan itu adalah “keajaiban”, maka keajaiban akan menjadi klangenan buat mereka. Semakin ajaib, semakin menarik.

Bila Ratna Sarumpaet dijuluki sebagai Ratu Bohong, maka Raja Bohongnya siapa?

Terakhir, saya ingin mengingatkan, buat kawan-kawan muslim yang masih mabuk keajaiban. Sadarlah! Ingat, mukjizat terbesar Rasulullah saw ialah Al-Quran. Beliau, tidak memfungsikan Al-Quran sebagai alat pertunjukkan (show) keajaiban kepada orang beriman.

Beliau tidak pernah terbang walaupun kalau beliau minta kepada Allah, pastilah dikabulkan. Beliau tidak membelah lautan seperti Nabi Musa as., tidak pula tahan dibakar api seperti Nabi Ibrahim as. Mengapa? Karena keajaiban-keajaiban itu ditujukan untuk orang-orang yang sulit memahami kebenaran dengan akalnya.

Sedangkan Rasulullah saw menunjukkan mukjizat Al-Quran kepada orang-orang beriman dengan penjelasan rasional, sehingga keyakinan itu menancap kuat dalam akal-budi dan hati-sanubari orang beriman.

Jangan biasakan akalmu mabuk keajaiban, karena itu sama dengan menutup pintu hidayah. Bagaimana Al-Quran yang logis dan rasional itu dapat diterangkan kepada otak yang sudah dibiasakan mabuk keajaiban, kawan?

Please .... 

Dr. Ichsanuddin Noorsy, BSc, SH, MSi
Ekonom Indonesia
dan Pengamat Politik Ekonomi Indonesia

Sunday, January 15, 2017

Hoax dan Demokrasi


Hoax terbaik adalah versi penguasa. Sebab, mereka memiliki peralatan  lengkap: statistik, intelijen, editor, panggung, media, dan dst…" Itu inti cuitan saya beberapa hari lalu. Dan, dari satu kalimat itu, kontroversi masih berlanjut sampai hari ini.

Apakah saya pro berita bohong? Bukan itu soalnya. Yang saya persoalkan adalah sikap reaktif pemerintah terhadap "maraknya" adu bohong di media massa. Padahal pemerintah sendiri tak memiliki sistem evaluasi opini publik.

Periksalah. Secara serampangan pemerintah memblokir sumber informasi tanpa ukuran yang jelas: apakah sebuah situs berisi info bohong, misinformasi, atau disinformasi? Demarkasi yang diajukan cuma satu: sumber informasi yang "bukan mainstream" harus dicurigai sebagai hoax. Sikap inilah yang justru membahayakan demokrasi karena publik diarahkan untuk hanya percaya kepada "media mainstream".

Padahal, justru melalui media mainstream itulah kekuasaan menyelundupkan kepentingan hegemoninya. Media adalah bagian dari kurikulum legitimasi kekuasaan. Dalam negara demokratis sekalipun, dalil itu bekerja sempurna: kekuasaan selalu berkehendak absolut. Mengendalikan informasi adalah cara "dingin" untuk melemahkan oposisi.


Masalah muncul bila pengetahuan dan akal politik pemerintah tak lagi mampu mengendalikan informasi. Publik segera mengenalinya sebagai "krisis legitimasi". Dalam kondisi itu, hoax mengambil alih diskursus politik publik. Begitulah sistem demokrasi bekerja demi mengukur legitimasi kekuasaan: surplus atau defisit?

Sekadar contoh hari-hari ini: apakah soal kegagalan tax amnesty adalah hoax atau bukan? Mengapa pemerintah tak satu pandangan dalam memberi penjelasan? Apakah soal "buruh Cina" itu bohong atau setengah bohong? Mengapa "bahasa tubuh" pemerintah penuh nuansa? Apakah kenaikan tarif surat kendaraan bermotor berasal dari usulan polisi atau menteri keuangan? Mengapa keduanya terkesan mengelak?

Jadi, bila informasi kehilangan daya persuasi, itu pertanda ada koordinasi yang kacau dalam pengendalian opini publik. Dalam soal berita Bloomberg yang disadur Antara (dan dikutip "media mainstream") demi memaksakan tafsir yang positif bagi prestasi pemerintah, bukankah kita menyaksikan semacam "penghinaan akal publik"?

Informasi adalah mata uang demokrasi. Pers mengedarkannya sebagai opini publik. Dalam peredaran itulah informasi dapat menjadi disinformasi: informasi tiba dengan pesan yang keliru. Tentu karena diselewengkan atau karena ketakcukupan nalar publik untuk mengolahnya. Namun yang paling menjengkelkan adalah bila penyelewengan itu dilakukan karena mengira akal publik dapat dibohongi (pakai) media mainstream.


Pertanyaannya adalah siapa yang berkepentingan dengan penyelewengan itu? Dalam etika politik, berlaku dalil niat baik tak perlu dibuktikan. Apakah pemerintah berniat baik memberantas hoax? Tak perlu dibuktikan. Yang perlu dipertanyakan adalah mengapa perlu suatu "operasi khusus" dengan "institusi khusus" untuk memburu hoax? Tentu ada saja jawaban normatif pemerintah adalah demi keutuhan, kesantunan, etika, dan seterusnya. Atau dengan alasan yang masih harus dicari relevansinya: Amerika Serikat dan Eropa juga sudah mendeklarasikan perang terhadap hoax. Boleh saja asal konsekuen dengan fakta yang ada: pelaku hoax di Amerika Serikat justru media mainstream.

Saya tak suka hoax. Itu buruk bagi kompetisi politik sehat. Tapi bila pemerintah tak punya sistem evaluasi opini publik dan justru mengambil keuntungan hegemonik dari "media mainstream" yang dikondisikan untuk mendukung pemerintah, hoax harus dibaca sebagai simbol krisis legitimasi. Hoax adalah sinyal bahwa alternatif kekuasaan sedang tumbuh.

Dalam kondisi semacam ini, pemerintah harus membaca politik dari posisi orang ketiga: kekuasaan yang tak lagi memiliki oposisi akan kehilangan alat ukur legitimasi.

Memang terlihat upaya konsolidasi pemerintah untuk menambah aset politiknya dengan "membeli" lahan oposisi. Secara etik, itu melemahkan demokrasi.


Demokrasi memiliki mekanisme koreksi. Terlalu banyak "kebenaran" dipromosikan berarti ada kebohongan yang sedang disembunyikan. Dilihat dari perspektif itu, hoax adalah fabrikasi politik. Bukan untuk merusak demokrasi, tapi justru untuk menunda konglomerasi kebenaran.

Politik adalah konfrontasi etik demi menghasilkan suatu "peristiwa". Hoax adalah konfrontasi terhadap monopoli kebenaran. Saya meninjau soal hoax ini dari perspektif dekonstruksi demi rekonsolidasi demokrasi yang kini merosot menjadi sekadar adu cacian dan olah dendam.

Kelak, sejarah akan menilai apakah kita berhasil mengkonsolidasikan kembali demokrasi melalui strategi berlapis atau gagal karena hanya mampu menikmati tukar-tambah kepentingan sesaat hari ini.

Rocky Gerung,
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi
Koran TEMPO, 6 Januari 2017

Wednesday, February 26, 2014

Siaga Satu, Banjir Janji Politik!


Banjir bandang yang melanda beberapa wilayah Indonesia mulai surut. Musibah tersebut menyisakan derita dan nestapa bagi yang terkena serta memberikan pekerjaan rumah bagi penyelenggara negara agar mereka lebih serius menanggulangi petaka tersebut.

Namun, surutnya air belum akan segera membebaskan masyarakat dari ancaman banjir. Karena bencana yang mengintip publik dan tidak kalah dahsyatnya adalah banjir janji politik siklus lima tahunan. Lonceng bahaya tersebut akan bergema saat dimulainya pelaksanaan kampanye pemilihan umum legislatif (pileg) melalui rapat umum serta iklan media massa cetak dan elektronik yang akan dimulai 16 Maret sampai 5 April 2014.

Persaingan internal saling “mematikan” di antara sesama kader partai politik, akibat kerancuan sistem pileg antara sistem proporsional dan suara terbanyak, diperkirakan akan menimbulkan gelombang pasang janji-janji muluk para politisi, terutama mereka yang motivasinya semata kekuasaan. Pemilu yang seharusnya dirayakan untuk menyongsong kemenangan rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan menjadi festival tanpa makna.

Janji sebagai etika sosial dan bagian dari peradaban, karena terkait dengan niat, komitmen, dan iktikad untuk melakukan sesuatu (menyejahterakan masyarakat), atau tidak melakukan sesuatu (korupsi) yang berguna untuk rakyat, hanya dijadikan sekadar siasat sesaat oleh para politisi guna mengumpulkan suara.


Sumber dari kedua bencana yang menakutkan tersebut sama, yaitu keserakahan nafsu primitif manusia yang melebihi ambang batas keadaban. Banjir janji politik jauh lebih berbahaya dan apokaliptik. Pertama, bencana tersebut tidak mudah terdeteksi karena datangnya disertai dengan semilirnya angin surga yang membuai publik hingga terlena. Banjir kata-kata dalam kampanye yang seakan-akan menggugah kesadaran untuk mengingatkan masyarakat. Namun peringatan tersebut sejatinya bukan mengingatkan, melainkan justru memabukkan.

Datangnya air bah lebih mudah dideteksi sehingga masyarakat dapat menghindar dari akibat bencana yang lebih parah. Namun, masyarakat biasanya terlambat menyadari kesalahannya dalam memilih para pengumbar janji jelang pemilu. Setelah mereka berkuasa, perilakunya berbanding terbalik dengan saat mereka mengumbar janji.

Kedua, banjir bandang memang mempunyai daya rusak yang menakutkan karena mengakibatkan penderitaan masyarakat. Namun, pemulihan dan pencegahan bencana tersebut lebih mudah diatasi. Sementara itu, dampak daya hancur banjir janji politik menyentuh tataran peradaban dan dapat melumpuhkan sendi-sendi kehidupan politik. Kredibilitas demokrasi serta lembaga-lembaga politik dan pemerintahan semakin melorot. Pengalaman 15 tahun terakhir, kampanye dalam pileg, pemilu presiden, dan beratus kali pemilu kepala daerah membuktikan hal itu. Janji para politisi hanya menggelorakan retorika dan demagogi politik, namun miskin substansi dan edukasi.


Sarat kebohongan
Janji politik lebih mirip kebohongan daripada komitmen dan obligasi moral. Alih-alih menumbuhkan dan merawat rasa saling percaya antara rakyat dan pemimpinnya, banjir janji politik justru mengakibatkan putusnya tali silaturahmi antara rakyat dan pemimpinnya. Perilaku politik yang sarat kebohongan juga menenggelamkan para politisi itu sendiri dalam kubangan lumpur korupsi kekuasaan dan kepalsuan. Lapisan kebohongan mereka bertingkat-tingkat karena kebohongan yang satu harus ditutupi dengan kebohongan yang lain.

Kemuliaan politik menjadi sekadar komoditas yang dipasarkan melalui citra dan fatamorgana politik. Seharusnya, meski ranah politik merupakan medan pertarungan yang penuh siasat, muslihat, saling mengecoh, serta adu lihai dalam menyusun taktik dan strategi, tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk mengumbar janji palsu.

Berdasarkan pengalaman kampanye dari berbagai kompetisi politik selama ini, rakyat harus Siaga 1 untuk mengantisipasi dan memitigasi gelombang hiperbola janji para politisi. Tanpa upaya sungguh-sungguh serta kewaspadaan yang prima dan maksimum, banjir janji politik akan semakin menenggelamkan harapan masyarakat.

Salah satu cara ampuh untuk mengurangi dampak dari petaka janji politik adalah menelusuri rekam jejak satu per satu dari semua calon wakil rakyat. Melalui pencermatan tersebut dapat diketahui sejauh mana empati dan rasa peduli mereka terhadap penderitaan rakyat. Cara tersebut juga dapat menguak integritas dan kompetensi mereka. Rakyat semestinya jangan serta-merta percaya begitu saja, bahkan dilarang percaya hanya kepada omongan politisi pada kampanye. Rakyat perlu bukti.


Beberapa upaya telah dilakukan, misalnya Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyiapkan rapor dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan, mengenai para petahana DPR periode 2009-2014 yang jumlahnya sekitar 9 persen dicalonkan lagi oleh pimpinan partainya untuk periode 2014-2019.

Penilaian tersebut memberikan pedoman kepada para pemilih dengan memberikan nilai kepada para kandidat, mulai sangat buruk sampai dengan sangat baik. Berdasarkan rapor tersebut, para pemilih mendapatkan bahan informasi untuk menentukan wakilnya di lembaga yang terhormat tersebut.

Memitigasi daya rusak banjir janji politik memerlukan kerja keras dan bahu-membahu semua pihak agar benar-benar dapat menemukan serta memilih calon wakil rakyat yang amanah dan bersedia mengabdi pada kepentingan masyarakat. Melalui daya upaya tersebut, semoga Pemilu 2014 menjadikan rakyat sebagai pemenang sebenarnya.

J Kristiadi,
Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 4 Februari 2014