Showing posts with label Yusril Ihza Mahendra. Show all posts
Showing posts with label Yusril Ihza Mahendra. Show all posts

Thursday, April 3, 2014

Duri dalam Putusan MK


Permohonan pemohon untuk menafsirkan Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7C dikaitkan dengan Pasal 22 E ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, dan penafsiran Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak dapat diterima. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.

Itulah amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 108/PUU-XI/2013, atas permohonan Profesor Yusril Ihza Mahendra. Putusan ini dibacakan dalam sidangnya yang terbuka untuk umum pada tanggal 20 Maret 2014. Pasal-pasal yang dimohonkan oleh Profesor Yusril untuk diuji oleh MK adalah Pasal 3 ayat 5, Pasal 9, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Profesor Yusril menilai pasal-pasal ini bertentangan dengan Pasal 4 ayat 1, Pasal 6A ayat 2, Pasal 7C, Pasal 22E ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UUD 1945. Tetapi dalam petitumnya, Profesor Yusril juga memohon MK menyatakan maksud Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah sistem presidensial.

Effendi Gazali Ph D, Prof Yusril Ihza Mahendra dan Dr Margarito Kamis.

Konsistensi Amburadul
Bila permohonan yang diajukan Effendi Gazali Ph.D dan kawan-kawan yang telah diputus oleh MK pada tanggal 23 Januari 2014 yang lalu dibanding dengan permohonan Profesor Yusril, terdapat sedikit persamaan juga sedikit perbedaan. Perbedaan paling fundamental terletak pada argumen dan Pasal-Pasal UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji. Sedangkan Effendi Gazali dan kawan-kawan tidak menggunakan Pasal 7C sebagai batu uji, juga tidak memohon kepada MK untuk menafsir Pasal 4 ayat (1) dihubungkan dengan Pasal 7C UUD 1945.

Tetapi terlepas dari perbedaan dan kesamaan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dan pasal UUD yang dijadikan batu uji oleh Effendi Gazali dan Profesor Yusril, terdapat satu hal menarik. Hal yang menarik itu adalah konsistensi MK dalam menilai dan memberi sifat hukum atas Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh MK, pasal ini dinilai sah secara konstitusional, dan tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal dalam UUD 1945.

MK menilai ketentuan yang terdapat pada Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka, yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Penilaian ini telah dianut oleh MK sejak putusan nomor 51-52-59/PUUVII/ 2008 tanggal 23 Januari 2009, dan dinyatakan terakhir kalinya dalam putusan nomor 14/PUU-XI/2013 tanggal 23 Januari 2014 yang lalu.

Soal hukumnya adalah, pasal apakah dalam UUD 1945 yang memberi delegasi, yang oleh MK disifatkan sebagai “kebijakan terbuka” itu kepada pembentuk UU? Pasal 6 ayat 2 dan pasal 6A ayat 5 UUD1945 adalah dua pasal yang secara eksplisit mengatur delegasi kepada pembentuk UU. Pasal-pasal lain dalam UUD 1945 tidak memberi delegasi kepada pembentuk UU untuk mengatur pemilihan presiden dan wakil presiden. Pasal 6 ayat 2 mendelegasikan kepada pembentuk UU untuk mengatur lebih lanjut “syarat” yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi capres dan cawapres.

Profesor Yusril Ihza Mahendra, pernah berperan sebagai Laksamana Cheng Hoo.

Pasal 6A ayat 5 mengatur delegasi tentang tata cara. Nalarnya, Pasal 6 mengatur syarat yang harus dipenuhi oleh subyek –orang– untuk dapat diusulkan menjadi calon presiden atau wakil presiden. Maksud yang dituju oleh Pasal 6 ayat 2 adalah orang, dan hanya orang yang dapat menjadi presiden, bukan partai politik. Maksud itu terbaca dari frase “syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden” yang terdapat dalam Pasal 6 ayat 2 itu, yang sekali lagi, maknanya tidak lain, dan hanya itu, yaitu orang, bukan partai politik.

Konsekuensi hukumnya, pasal ini tidak bisa ditujukan kepada partai politik, dalam bentuk mewajibkan partai politik memenuhi syarat tertentu, dalam bentuk ambang batas peroleh kursi atau suara, untuk dapat mengusulkan seseorang menjadi calon presiden dan atau wakil presiden. Sayangnya, MK berpendapat lain. Pendapat ini, hemat saya, disebabkan oleh ketidaklogisan memaknai konsep “syarat”, dan konsep “tata cara”. Secara hukum, syarat dan tata cara adalah dua hal yang berbeda. Perbedaannya tidak bersifat semantik, melainkan substansial.

Syarat adalah hal-ihwal yang padanya hukum atau hak disandarkan atau digantungkan. Bila syarat itu terpenuhi, maka timbullah hak. Sebaliknya bila syarat itu tidak dipenuhi, maka haknya ditangguhkan pemenuhannya, atau hilang haknya. Berbeda dengan konsep syarat, tata cara adalah serangkaian tindakan hukum yang harus dilakukan oleh subyek hukum, yang diberi wewenang melakukan tindakan hukum itu.

Tindakan hukum apa? Tindakan hukum dalam rangka memenuhi Pasal 6A ayat 5 yaitu melaksanakan pemilu presiden dan wakil presiden. Kapan pemilu itu dilaksanakan, kapan pendaftaran dibuka, berapa hari waktu yang diperlukan untuk pendaftaran itu, kapan surat suara dicetak, siapa yang mencetaknya, kapan surat suara didistribusikan, siapa yang mendistribusikannya, dan lain sebagainya. Itulah makna norma dalam Pasal 6A ayat 5.

John F Kennedy dan Earl Warren beserta isterinya masing-masing.

Inilah Durinya
Andai MK memiliki kaliber setara Earl Warren, chief justice di dalam supreme court di Amerika pada masa Presiden Eisenhower, maka tak mungkin MK menemukan kabut hitam untuk mengualifikasi Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 itu sebagai inkonstitusional. Toh, kelak ketika pileg dan pilpres disatukan, pasal itu tidak memiliki relevansi sama sekali. Mau ambil 20% atau 25% dari mana? MK terlalu mengecilkan kapasitasnya dengan menceburkan diri ke dalam hipotesa kerumitan teknis. Sungguh disayangkan, MK tidak mendemonstrasikan kehebatan argumentasinya sebagai penafsir final atas konstitusionalitas pasal, ayat, atau frase dalam UU, khususnya Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 ini.

Namun nasi sudah jadi bubur, MK telah memberi kata putus atas masalah itu, dan sesuai sifatnya, putusan itu tidak dapat dilawan dengan upaya hukum apa pun. MK hanya mengutip pendapatnya yang terdahulu, khususnya yang tertuang dalam putusan Nomor 14/PUU-XI/ 2013 tanggal 24 Januari 2014. Itu pun, sekali lagi, sangat singkat. Oleh karena MK telah memiliki sikap final atas Pasal 9 itu, maka MK tidak memiliki pilihan lain, selain memberi putusan atas permohonan Profesor Yusril agar MK menafsir hubungan Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7C UUD 1945 yang menurutnya kedua pasal ini bermakna sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah presidensial.

Akankah putusan atas permohonan Profesor Yusril ini menyisakan “duri” dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden yang akan dilaksanakan pada bulan Juli mendatang? Sulit mengatakan ya. Mengapa? Karena, MK menyamakan esensi permohonan Profesor Yusril dengan permohonan Effendi Gazali. Sungguh pun begitu, pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang bukan tak mungkin bisa tertusuk duri. Duri itu adalah dalam hal pemisahan pilpres dari pileg.

Mengapa? Karena MK dalam putusan atas permohonan Efendi Gazali telah mengualifikasi pemisahan pileg dan pilpres sebagai tindakan inkonstitusional. Memang, MK menangguhkan sementara pelaksanaan akibat hukum yang timbul dari putusan itu hingga pemilu 2019 yang akan datang. Tetapi, hal itu tetap saja menjadi duri dalam pilpres. Di situlah letak relevansi analisis Profesor Yusril tentang persoalan konstitusionalitas dan legitimasi pilpres mendatang.

Margarito Kamis,
Doktor Hukum Tata Negara,
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

KORAN SINDO, 22 Maret 2014

Kegagalan Menjaga Konstitusi


Hanya dalam kisaran waktu dua bulan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah dua kali memutuskan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Meski isu dan substansi hukumnya berada dalam wilayah yang nyaris sama, putusan MK itu bisa dinilai bertolak belakang dan di antaranya seperti bergerak ke wilayah yang berbeda.

Kamis (20/3/2014) sore, melalui Putusan No 108/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan pengujian konstitusionalitas ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang dimohonkan Yusril Ihza Mahendra. Dengan putusan tersebut, ambang batas pengajuan pasangan capres (dan wapres), sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 UU No 42/2008, mendapat peneguhan baru dan tetap berlaku dalam Pemilu 2014.

Sebelumnya, 23 Januari, melalui Putusan No 14/PUU-XI/2013, ketika mengabulkan permohonan Effendi Gazali, MK menilai dan menyatakan pemilu anggota legislatif yang dipisahkan penyelenggaraannya dengan pemilu presiden bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dikabulkannya permohonan Effendi Gazali, MK mengembalikan desain penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada makna dan semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945, yaitu pemilu diselenggarakan sekali dalam lima tahun.

Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, meski diajukan oleh pemohon yang berbeda dengan pilihan pasal-pasal yang tak persis sama, keduanya berada dalam titik singgung sama, yakni: memutus tirani ambang batas pengajuan capres. Selama ini, ambang batas dinilai sebagai akal-akalan parpol besar di DPR untuk memonopoli pengajuan capres. Caranya, hasil pemilu legislatif dijadikan sebagai persyaratan yang niscaya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu legislatif didahulukan dan dipisah dari pemilu presiden.

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (UUD 45, Pasal 6A, Ayat 2)

Menabrak UUD
Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, pasangan capres dan wapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Ketentuan ini merupakan demarkasi dan sekaligus menjadi ambang batas konstitusional bagi parpol untuk mengajukan pasangan calon. Dengan ketentuan itu, semua parpol sepanjang memenuhi syarat menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan capres. Dengan pemahaman itu, menjadi tak tepat dan tak beralasan untuk membatasi kesempatan bagi parpol yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu.

Bentangan fakta yang ada selama ini, rezim ambang batas sengaja dipelihara terutama oleh parpol yang memiliki kursi besar di DPR. Bahkan, apabila dilacak perkembangan sepanjang munculnya desakan menghapus rezim itu di DPR tahun lalu, sulit dibantah, bahwa parpol besar tetap berada di balik penolakan ini. Celakanya, ide melestarikan ambang batas itu tak dibaca MK sebagai bentuk pengingkaran nyata terhadap UUD 1945.

Padahal, dengan membaca secara utuh desain yuridis Pasal 6A UUD 1945, maka tidak tersedia lagi ruang bagi pembentuk UU untuk menambah syarat yang dapat menegasikan hak konstitusional parpol peserta pemilu. Kalaupun tersedia ruang untuk mengatur dengan UU sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945, hanya dibenarkan sepanjang menyangkut tata cara pemilihan. Karena itu, menambah persyaratan yang berpotensi mereduksi hak parpol peserta pemilu dapat dikatakan sebagai bentuk pengingkaran nyata terhadap UUD 1945.

Karena itu, begitu pembentuk UU menambah syarat pencalonan yang menghilangkan kesempatan bagi semua parpol peserta pemilu, MK mestinya memakai kuasa konstitusionalnya untuk mengembalikan pada kehendak UUD 1945. Dalam konteks itu, jika dikaitkan dengan putusan dua bulan lalu, permohonan Yusril merupakan upaya lebih lanjut menjawab beberapa catatan yang tersisa dengan dikabulkannya permohonan Effendi Gazali. Sebagai penafsir dan penjaga konstitusi, permohonan Yusril menyediakan kesempatan bagi MK untuk mengembalikan makna konstitusional Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang telah lama mengalami mati suri.

Dengan dasar berpikir seperti itu, sebagaimana pernah dinukilkan dalam “(Bukan) Putusan yang Hambar” (Kompas, 27/1/2014), dikemukakan, hakikat diterimanya permohonan Effendi Gazali dengan mudah dapat diterapkan dalam permohonan Yusril. Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, tak ada alasan bagi MK untuk menolak permohonan penghapusan ambang batas yang diajukan Yusril. Bagaimanapun, tatkala pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden dinilai sebagai inkonstitusional, maka ambang batas pengajuan pasangan capres dan wapres (presidential threshold), menjadi kehilangan dasar argumentasi untuk terus dipertahankan.

Effendi Gazali dan Yusril Ihza Mahendra.

Kegagalan MK
Kritik utama yang niscaya dikemukakan dalam putusan Yusril, hakim MK lebih menjaga konsistensi dengan putusan sebelumnya dibandingkan menghidupkan kembali makna hakiki Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Hal ini bisa dilacak dari putusan Effendi Gazali saat MK secara eksplisit menyatakan ambang batas menjadi kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk UU. Dengan membaca secara utuh konstruksi yuridis Pasal 6A UUD 1945, pilihan meneguhkan ambang batas sebagai kebijakan hukum terbuka inilah yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk nyata kegagalan MK dalam menjaga konstitusi.

Padahal, sekiranya mau dan mampu membangun dalil baru, MK sangat mungkin mengoreksi putusan sebelumnya. Paling tidak, dalam putusan Effendi Gazali, hakim MK telah melakukan langkah tepat dengan mengoreksi beberapa putusan, terutama terkait ambang batas. Dalam pengertian itu, permohonan Yusril semestinya jadi upaya lebih lanjut membangun dalil baru guna mengakhiri masa mati surinya Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Apalagi, secara substansial pemilu serentak dalam Putusan No 14/PUU-XI/2013 masih belum tuntas alias masih menggantung.

Sebagai lembaga yang diberi otoritas untuk mengoreksi semua UU yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, semestinya MK terikat dengan pemenuhan otoritas dimaksud. Untuk itu, semestinya hakim MK lebih merasa terikat dengan konstitusi dibandingkan dengan putusannya sendiri. Masalahnya, dalam putusan Effendi Gazali upaya koreksi telah dilakukan, tetapi hal serupa tak dilakukan dalam permohonan Yusril. Adakah ini semata-mata karena alasan menjaga konsistensi dengan putusan sebelumnya? Atau, karena hakim MK memang tak punya keberanian untuk masuk lebih jauh ke dalam wilayah ambang batas?

Padahal, melihat bobot konstitusional pemilu serentak dan penghapusan ambang batas, semestinya MK memberikan perlakuan tak berbeda antara pemenuhan makna dan semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Bahkan, sekiranya rezim ambang batas tidak hadir, sangat mungkin uji materi pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak pula diajukan ke MK. Karena itu, ketika permohonan Yusril tidak diterima, berarti hakim MK telah gagal memaknai amanah yang diberikan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Tidak hanya itu, hakim MK sekaligus tengah mempertontonkan kegagalan dalam menjaga UUD 1945.

Saldi Isra,
Guru Besar Hukum Tata Negara,
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

KOMPAS, 22 Maret 2014