Thursday, April 3, 2014

Kegagalan Menjaga Konstitusi


Hanya dalam kisaran waktu dua bulan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah dua kali memutuskan permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Meski isu dan substansi hukumnya berada dalam wilayah yang nyaris sama, putusan MK itu bisa dinilai bertolak belakang dan di antaranya seperti bergerak ke wilayah yang berbeda.

Kamis (20/3/2014) sore, melalui Putusan No 108/PUU-XI/2013, MK menyatakan tidak dapat menerima permohonan pengujian konstitusionalitas ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang dimohonkan Yusril Ihza Mahendra. Dengan putusan tersebut, ambang batas pengajuan pasangan capres (dan wapres), sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 UU No 42/2008, mendapat peneguhan baru dan tetap berlaku dalam Pemilu 2014.

Sebelumnya, 23 Januari, melalui Putusan No 14/PUU-XI/2013, ketika mengabulkan permohonan Effendi Gazali, MK menilai dan menyatakan pemilu anggota legislatif yang dipisahkan penyelenggaraannya dengan pemilu presiden bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dikabulkannya permohonan Effendi Gazali, MK mengembalikan desain penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada makna dan semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945, yaitu pemilu diselenggarakan sekali dalam lima tahun.

Padahal, dalam batas penalaran yang wajar, meski diajukan oleh pemohon yang berbeda dengan pilihan pasal-pasal yang tak persis sama, keduanya berada dalam titik singgung sama, yakni: memutus tirani ambang batas pengajuan capres. Selama ini, ambang batas dinilai sebagai akal-akalan parpol besar di DPR untuk memonopoli pengajuan capres. Caranya, hasil pemilu legislatif dijadikan sebagai persyaratan yang niscaya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu legislatif didahulukan dan dipisah dari pemilu presiden.

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. (UUD 45, Pasal 6A, Ayat 2)

Menabrak UUD
Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, pasangan capres dan wapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Ketentuan ini merupakan demarkasi dan sekaligus menjadi ambang batas konstitusional bagi parpol untuk mengajukan pasangan calon. Dengan ketentuan itu, semua parpol sepanjang memenuhi syarat menjadi peserta pemilu dapat mengajukan pasangan capres. Dengan pemahaman itu, menjadi tak tepat dan tak beralasan untuk membatasi kesempatan bagi parpol yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu.

Bentangan fakta yang ada selama ini, rezim ambang batas sengaja dipelihara terutama oleh parpol yang memiliki kursi besar di DPR. Bahkan, apabila dilacak perkembangan sepanjang munculnya desakan menghapus rezim itu di DPR tahun lalu, sulit dibantah, bahwa parpol besar tetap berada di balik penolakan ini. Celakanya, ide melestarikan ambang batas itu tak dibaca MK sebagai bentuk pengingkaran nyata terhadap UUD 1945.

Padahal, dengan membaca secara utuh desain yuridis Pasal 6A UUD 1945, maka tidak tersedia lagi ruang bagi pembentuk UU untuk menambah syarat yang dapat menegasikan hak konstitusional parpol peserta pemilu. Kalaupun tersedia ruang untuk mengatur dengan UU sebagaimana termaktub dalam Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945, hanya dibenarkan sepanjang menyangkut tata cara pemilihan. Karena itu, menambah persyaratan yang berpotensi mereduksi hak parpol peserta pemilu dapat dikatakan sebagai bentuk pengingkaran nyata terhadap UUD 1945.

Karena itu, begitu pembentuk UU menambah syarat pencalonan yang menghilangkan kesempatan bagi semua parpol peserta pemilu, MK mestinya memakai kuasa konstitusionalnya untuk mengembalikan pada kehendak UUD 1945. Dalam konteks itu, jika dikaitkan dengan putusan dua bulan lalu, permohonan Yusril merupakan upaya lebih lanjut menjawab beberapa catatan yang tersisa dengan dikabulkannya permohonan Effendi Gazali. Sebagai penafsir dan penjaga konstitusi, permohonan Yusril menyediakan kesempatan bagi MK untuk mengembalikan makna konstitusional Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang telah lama mengalami mati suri.

Dengan dasar berpikir seperti itu, sebagaimana pernah dinukilkan dalam “(Bukan) Putusan yang Hambar” (Kompas, 27/1/2014), dikemukakan, hakikat diterimanya permohonan Effendi Gazali dengan mudah dapat diterapkan dalam permohonan Yusril. Artinya, dalam batas penalaran yang wajar, tak ada alasan bagi MK untuk menolak permohonan penghapusan ambang batas yang diajukan Yusril. Bagaimanapun, tatkala pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden dinilai sebagai inkonstitusional, maka ambang batas pengajuan pasangan capres dan wapres (presidential threshold), menjadi kehilangan dasar argumentasi untuk terus dipertahankan.

Effendi Gazali dan Yusril Ihza Mahendra.

Kegagalan MK
Kritik utama yang niscaya dikemukakan dalam putusan Yusril, hakim MK lebih menjaga konsistensi dengan putusan sebelumnya dibandingkan menghidupkan kembali makna hakiki Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Hal ini bisa dilacak dari putusan Effendi Gazali saat MK secara eksplisit menyatakan ambang batas menjadi kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk UU. Dengan membaca secara utuh konstruksi yuridis Pasal 6A UUD 1945, pilihan meneguhkan ambang batas sebagai kebijakan hukum terbuka inilah yang dinilai banyak pihak sebagai bentuk nyata kegagalan MK dalam menjaga konstitusi.

Padahal, sekiranya mau dan mampu membangun dalil baru, MK sangat mungkin mengoreksi putusan sebelumnya. Paling tidak, dalam putusan Effendi Gazali, hakim MK telah melakukan langkah tepat dengan mengoreksi beberapa putusan, terutama terkait ambang batas. Dalam pengertian itu, permohonan Yusril semestinya jadi upaya lebih lanjut membangun dalil baru guna mengakhiri masa mati surinya Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Apalagi, secara substansial pemilu serentak dalam Putusan No 14/PUU-XI/2013 masih belum tuntas alias masih menggantung.

Sebagai lembaga yang diberi otoritas untuk mengoreksi semua UU yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, semestinya MK terikat dengan pemenuhan otoritas dimaksud. Untuk itu, semestinya hakim MK lebih merasa terikat dengan konstitusi dibandingkan dengan putusannya sendiri. Masalahnya, dalam putusan Effendi Gazali upaya koreksi telah dilakukan, tetapi hal serupa tak dilakukan dalam permohonan Yusril. Adakah ini semata-mata karena alasan menjaga konsistensi dengan putusan sebelumnya? Atau, karena hakim MK memang tak punya keberanian untuk masuk lebih jauh ke dalam wilayah ambang batas?

Padahal, melihat bobot konstitusional pemilu serentak dan penghapusan ambang batas, semestinya MK memberikan perlakuan tak berbeda antara pemenuhan makna dan semangat Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945 serta Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Bahkan, sekiranya rezim ambang batas tidak hadir, sangat mungkin uji materi pemisahan pemilu legislatif dan pemilu presiden tidak pula diajukan ke MK. Karena itu, ketika permohonan Yusril tidak diterima, berarti hakim MK telah gagal memaknai amanah yang diberikan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Tidak hanya itu, hakim MK sekaligus tengah mempertontonkan kegagalan dalam menjaga UUD 1945.

Saldi Isra,
Guru Besar Hukum Tata Negara,
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

KOMPAS, 22 Maret 2014

No comments: