Monday, October 25, 2021

Memprediksi Akhir Pemerintahan Jokowi


Tanggal 20 Oktober 2019 yang lalu adalah momentum bersejarah bagi Presiden Jokowi yang pernah menjabat sebagai Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Di tanggal itulah ia dilantik menjadi Presiden Indonesia untuk ke dua kalinya.

Tepat di hari 2 tahun kepemimpinannya Presiden Jokowi merayakannya dengan meresmikan Jembatan Sungai Alalak di Banjarmasin dan meresmikan pabrik biodiesel milik H. Andi Syamsudin Arsyad (Haji Isam) seorang pengusaha batubara ternama. Pada saat yang sama mahasiswa berdemo di istana untuk mengkritisi kepemimpinannya.

Selama dua tahun memimpin bangsa Indonesia di periode keduanya, banyak kemajuan telah dicapai namun banyak pula catatan merah yang mewarnai perjalanan pemerintahannya. Berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam membangun bangsa tentu patut diapresiasi sebagai wujud keseriusannya bekerja memajukan bangsa Indonesia.

Rizal Ramli

Namun catatan merahnya perlu juga mendapatkan perhatian sebagai wujud kepedulian kita bersama dalam meluruskan arah perjalanan bangsa menuju negara yang adil makmur sejahtera sebagaimana amanat pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

Diantara catatan merah itu adalah adanya fakta dimana negara tidak mampu mengendalikan kaum oligarki yang sudah menguasai hampir seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menjadi batu sandungan yang serius bagi upaya mencapai tujuan negara. Bahkan menurut penilaian ekonom senior Rizal Ramli, presiden yang sedang berkuasa sekarang bekerja untuk kepentingan mereka. Karena kaum oligarki telah dapat mengatur kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menguntungkannya.

Benarkah di dua tahun masa pemerintahannya ini pemerintahan Jokowi semakin mesra berpelukan dengan kelompok oligarki dalam menjalankan sistem pemerintahannya? Model oligarki macam apa yang saat ini sedang dipraktekkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa?

Sebagai konsekuensi pemerintahan yang sudah terkulai dipelukan oligarki, mungkinkah pemerintahan yang berkuasa saat ini bisa bertahan sampai akhir masa jabatannya? Seperti apakah wajah kepemimpinan Indonesia pasca presiden Jokowi mengakhiri masa jabatannya?


Pelukan Oligarki
Oligarki seringkali didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya dikendalikan oleh sekelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, militer atau keluarga. Bangunan oligarki ini disinyalir sudah begitu merajalela sehingga berhasil menyusup ke segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara termasuk di era pemerintah yang sekarang berkuasa.

Ekonom senior Rizal Ramli seperti dikutip oleh law-justice, 20/10/21 mengatakan, pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini bekerja untuk oligarki sehingga orang-orang kaya (para pengusaha -red) dapat mengatur kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan mereka.

Hal itu menurutnya berkaca dari kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada kepentingan rakyat Indonesia. Kebijakan itu dicontohkannya seperti dinaikkannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menguntungkan orang-orang kaya. Karena kenaikan pajak itu di satu sisi semakin menyengsarakan rakyat kecil tapi pada sisi yang lain menguntungkan kelompok oligarki dan pihak-pihak asing yang dipotong pajaknya. “Rezim ini bekerja untuk oligarki, untuk orang yang kaya, super kaya, mereka kaya berkali-kali lipat, karena mereka berhasil membeli, dan mengatur kebijakan negara,” begitu katanya.

Pernyataan dari ekonom senior Rizal Ramli tersebut kiranya tidak mengada-ada jika kita cermati secara seksama dengan keluarnya beberapa kebijakan yang bernuansa kontroversial selama pandemi virus corona.


Selain kebijakan soal pajak, kelompok oligarki ini sangat diuntungkan oleh adanya kebijakan lainnya seperti perpanjangan konsesi batu bara lewat Undang-Undang mineral dan barubara (Minerba). Lewat Undang-Undang itu selain konsesinya diperpanjang, kaum oligarki juga meminta supaya royalty batubara dikurangi sehingga lebih banyak untung yang didapatnya. Negara menjadi rugi tidak mengapa yang penting oligarki diuntungkannya. Penerbitan UU Minerba seakan menjadi bukti hasil kongkalikong antara taipan tambang dengan pembentuk undang-undang untuk menggolkan aturan ini dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Upaya sistematis untuk membuat oligarki di Indonesia terlihat semakin berjaya telah dilakukan sejak munculnya upaya pelemahan KPK. Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo seperti dikutip law-justice 04/06/21, menyebut ada beberapa alasan mengapa akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus dimatikan eksistensinya. Karena KPK dinilai sudah masuk terlalu jauh ke dimensi korupsi politik yang bisa merugikan oligarki penguasa. Itulah kiranya yang menjadi landasan bagi oligarki untuk mematikan KPK.

Upaya sistematis tersebut semakin menampakkan jati dirinya setelah disahkannya Undang-Undang Omnibus law Cipta kerja. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana, omnibus law hanya untuk kepentingan oligarki atau kepentingan pemerintah yang dijalankan oleh beberapa orang elite saja. Sebab, kata dia, aturan itu lebih banyak memihak pada investor. “Konsep hukum yang menggabungkan jadi satu. Hapus revisi pasal yang dinilai menghambat investasi. Tegas dan jelas ini untuk kepentingan oligarki,” kata Arif di Kantor LBH Jakarta, Minggu (19/1/2020) seperti dikutip kontan.co.id.


Praktek-praktek oligarki yang berkembang saat ini sebenarnya sudah tumbuh sejak lama. Awalnya dengan tumbangnya pemerintahan Orba, menyusul dicanangkannya pemilu secara langsung diharapkan akan mengikis keberadaan oligarki yang sudah mengakar saat Presiden Soeharto berkuasa. Namun ternyata konsolidasi demokrasi yang diharapkan bakal terjadi di saat pemerintahan reformasi berkuasa telah gagal mencapai tujuannya.

Gagalnya konsolidasi demokrasi pasca runtuhnya rejim otoritarianisme Soeharto membawa implikasi negatif bagi iklim demokrasi di Indonesia. Kebanyakan masyarakat terjebak pada euforia reformasi yang membuat mereka lupa bahwa runtuhnya Orba tidak disertai melenyapnya kekuatan oligarki yang sudah bercokol 32 tahun lamanya.

Justru, kekuatan oligarki yang semula bersenggama dengan rezim Soeharto mampu kembali mengonsolidasi diri (beradaptasi) dengan rezim reformasi yang jauh lebih menguntungkannya. Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa Indonesia pasca tumbangnya Orba kembali dikuasai oleh para oligark yang telah berkuasa sebelumnya.

Saat ini kalau kita amati kebanyakan penguasa yang kini menempati posisi strategis di berbagai institusi publik hingga partai politik, rata-rata adalah petarung lama. Para pimpinan (elite) partai, penguasa media mainstream, para pejabat pemerintahan yang berada di jajaran kabinet Jokowi, sampai pada seluruh jabatan strategis lainnya di dalam birokrasi pemerintahan saat ini hanyalah sirkulasi elit-elit lama.


Para oligark di atas, adalah termasuk orang-orang yang pernah diistimewakan di rezim kepemimpinan saat Soeharto berkuasa. Orang-orang lama yang penuh muslihat dan tipu daya semasa Orba, belakangan banyak yang tampil di garda depan sebagai tokoh pejuang demokrasi dengan kedok populisnya. Inilah wajah anomali demokrasi pasca tumbangnya pemerintahan Orba. Kebanyakan orang tertipu dengan politik pencitraan yang terus dipolesi oleh media, dimana medianya sendiri notabene adalah milik mereka.

Menurut Jeffrey A. Winters, Direktur Buffet Institute of Global Affairs, Jokowi adalah produk oligarki di masanya. “Kemenangan luar biasa populer Jokowi atas gubernur petahana terjadi berkat dukungan dari kalangan mahasiswa hingga asosiasi ibu rumah tangga yang mendoronganya menuju kemenangannya.

Namun, bagian penting kisah demokratis ini dimungkinkan oleh gerakan oligarki di mana kekuasaan kaum berduit menempatkan Jokowi di hadapan para pemilihnya. Meski dia mendapat dukungan akar rumput, dia bertarung dalam pemilihan gubernur bukan karena inisiatif atau gerakan politik akar rumput,” begitu katanya seperti dikutip Tirto, 9/12/21.

Dalam hal ini Jokowi berhasil menang karena partai politik dan kaum elite memutuskan untuk mengusungnya. Karena itulah hingga dia menjadi presiden dua periode seperti sekarang, dia tidak bisa melawan kepentingan elite dan partai politik yang telah mengusungnya. Dilihat dari latar belakangnya sangat wajar kalau pemerintah saat ini dinilai telah berpelukan begitu mesra dengan oligarki karena ia menjadi produknya.


Model Oligarki
Menurut Jeffrey A. Winters ada empat jenis oligarki, yaitu; oligarki penguasa kolektif, oligarki sultanistik, oligarki sipil dan oligarki panglima. Indonesia sendiri cenderung memiliki oligarki penguasa kolektif karena ada relasi kuasa yang kuat antara kuasa negara (eksekutif), legislatif, yudikatif, secara politik dan secara bersama-sama. Para elitnya diisi oleh mayoritas politisi yang berasal dari para pebisnis atau pengusaha.

Selain model oligarki penguasa kolektif, oligarki yang dipraktekkan di sini cenderung bersifat klasik/tradisional yang mengandalkan sumberdaya alam (SDA) sebagai lahan “jarahannya”. Mereka memiliki gurita kekayaan di banyak bidang seperti tambang, sawit, rokok dan lintas sektornya termasuk di bidang media. Kekayaan segelintir orang ini ada di tengah ketimpangan ekonomi rakyat pada umumnya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar, dalam diskusi daring bertajuk ‘SDA Hancur, Korupsi Subur’ pada Selasa (14/7/21), pernah menyampaikan beberapa hal mengenai isu korupsi Sumber Daya Alam (SDA). Ia mengatakan, data KPK menunjukkan ada ketimpangan parah dalam penguasaan SDA di Indonesia.

Dalam hal penguasaan kebun sawit, misalnya, 10 perusahaan menguasai lebih dari 2,5 juta hektar luasnya. Sedangkan, 2,1 juta pekebun sawit memiliki 4,7 juga hektar sisanya. Ketimpangan juga terlihat dalam penguasaan hutan, dimana lebih dari 40 juta hektar hutan dimiliki perusahaan, sementara itu “hanya” 1,7 juta hektar yang dimiliki masyarakat biasa.


Sektor SDA ini merupakan hal penting yang menjadi sumber pendapatan kelompok oligarki dalam menjalankan bisnisnya. Ini berkaitan dengan isu agraria, lingkungan hidup, penataan ruang, kehutanan, pertanian dan perkebunan, pertambangan dan energi, serta kelautan dan perikanan termasuk di dalamnya.

Lili menjelaskan, sektor SDA adalah pendukung ekonomi Indonesia. Sektor SDA memberikan kontribusi sekitar 10,89 persen (Rp 1.408 triliun) dari total Product Domestic Bruto Indonesia 2017 (Rp 13,589 triliun). Selain itu, sektor ini menyerap tenaga kerja lebih dari 37 juta orang dan juga menyumbangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak senilai Rp 99,91 triliun nilainya.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah menyebut oligarki seperti ini hanya menguntungkan kelompok di lingkaran penguasa saja. Para regulator di sekitar kekuasaan adalah pelaku usaha yang, tentu saja, membuat peraturan hanya untuk menguntungkan kelompok elitenya, bukan demi masyarakat kecil dan menengah seperti yang selama ini dicitrakannya.

Luhut B Panjaitan, Presiden Jokowi, Airlangga Hartarto.

Jatam mencatat, baik orang dekat Jokowi maupun pimpinan DPR, punya usaha yang berhubungan dengan tambang, khususnya batubara. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terkait dengan PT Bara Hanyu Kapuas dan PT Multi Harapan Utama. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan terkait dengan PT Toba Sejahtera.

Ketua DPR Puan Maharani punya suami yang aktif di Odira Energy Karang Agung dan PT Rukun Raharja. Sementara Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menjadi Komisaris di PT Sinar Kumala Naga.

Merah menganggap aturan yang belakangan ditetapkan, seperti omnibus law dan UU Minerba, juga hanya menguntungkan Jokowi beserta kelompoknya. “Benturan kepentingan ini yang ditunjukkan oleh relasi bisnis atau temali bisnis antara keluarga Jokowi atau keluarga Luhut. Relasi bisnis ini berkelindan dengan relasi politik,” ucap Merah kepada Tirto, Rabu (9/12/2020).


Model oligarki-oligarki penguasa kolektif yang bersifat klasik ini ujung-ujungnya memang merugikan kepentingan nasional, rakyat dan negara. Sebab sektor SDA adalah sektor yang rawan dikorupsi dan memberikan dampak besar pada kerugian negara. Data ICW tahun 2019 menunjukkan, dari empat kasus korupsi pertambangan sepanjang tahun itu, negara mengalami kerugian mencapai Rp 5,9 triliun. Sementara, sampai Mei 2020, KPK tengah menangani 27 kasus korupsi di sektor SDA.

Model oligarki-oligarki penguasa kolektif yang bersifat klasik ini sangat berbeda dengan model-model oligarki penguasa kolektif yang bersifat modern seperti yang terjadi di negara-negara maju yang lebih menjual branding produk yang mendunia. Mereka berkolaborasi untuk menghasilkan produk-produk unggulan yang menjadi konsumsi masyarakat dunia sehingga tidak merugikan rakyatnya.

Dengan model penerapan oligarki penguasa kolektif klasik seperti yang terjadi di Indonesia, maka negara ini tetap akan menjadi pangsa pasar bagi negara maju sementara kekayaan alamnya dinikmati oleh investor mancanegara yang berkolaborasi dengan elit lokal sebagai mitranya. Dengan pola seperti ini maka sampai kapanpun upaya pencapaian tujuan negara hanya akan menjadi utopia belaka karena elite penguasa akan lebih sibuk memikirkan isi kantongnya ketimbang memikirkan nasib rakyatnya.


Bertahan atau Tumbang?
Dibawah pelukan oligarki, pemerintah yang berkuasa saat ini nampak sedang berselancar di tengah samudera kebijakan kontroversialnya. Dampaknya mulai terasa dimana kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah yang menguntungkan oligarki mulai mendapatkan perlawanan dari masyarakat sipil yang menentangnya.

Mandulnya kekuatan oposisi formal saat ini telah digantikan oleh elemen-elemen sipil termasuk mahasiswa yang sudah mulai angkat suara. Mereka mengekspresikan kekecewaannya dengan berunjuk rasa maupun melalui sosial media. Semuanya itu sebagai dampak kebijakan yang dinilai tidak berpihak kepada kepentingan rakyat jelata.

Pada sisi lain adanya kelompok perlawanan dari masyarakat sipil tersebut telah mendapatkan perlawanan cukup sengit dari pendukung pemerintah yang sedang berkuasa, mulai dari para buzzer sampai dengan elemen masyarakat di Papua, NTT, Sulawesi Utara dan daerah-daerah lain yang fanatik pendukungnya.

Leonard C. Sebastian dan kawan-kawan dalam Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform menilai Jokowi sebagai presiden berlatar belakang sipil telah kelabakan menjaga kekuasannya. Pilihan dia akhirnya adalah menyandarkan diri kepada kelompok militer baik polisi maupun tentara.


Selain memperkuat konsolidasi kekuasaan, aliansi dengan militer mempermudah Jokowi mencapai ambisinya. Jokowi memastikan mendapat dukungan nasional dari seluruh daerah militer Indonesia yang bisa dijadikan perpanjangan tangan pemerintah memastikan jalannya kebijakan pusat di daerah-daerah terpencil,” tulis Sebastian dan kawan-kawan seperti dikutip Tirto, 11/12/20.

Upaya untuk mempertahankan kekuasaan bagi pemerintah yang sedang berkuasa memang bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pada era Soekarno, Soeharto maupun Gus Dur, mereka juga mempunyai cara untuk bertahan di kursinya di tengah kontroversi kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Mereka juga mempunyai pendukung-pendukung fanatik yang siap berkorban untuk membela pemimpin yang didukungnya.

Tetapi semuanya itu bisa menjadi tidak ada gunanya manakala arus besar muncul untuk perubahan bersama. Karena para pemimpin yang awalnya dianggap sangat kuat dan tak tergoyahkan ternyata bisa juga tumbang sebelum akhir masa jabatannya.

Kita berharap pemerintah yang berkuasa sekarang dengan segala kelebihan dan kekurangannya tetap bisa bertahan sampai akhir periode jabatannya. Meskipun ia disebut-sebut sebagai penguasa produk oligarki dan bekerja untuk mereka.

Karena bisa jadi jika pemerintah tumbang sebelum berakhir masa jabatannya, keadaan tidak bakal lebih baik dari sebelumnya. Penggantinya bisa jadi lebih buruk karena kelompok oligarki sudah hampir pasti telah menyiapkan “putra mahkotanya”. Kolaborasi antara kartel politik di partai yang bergandengan tangan dengan oligarki pengusaha akan menghasilkan presiden boneka selanjutnya.


Rasanya bangsa ini masih akan panjang jalannya untuk lepas dari jerat oligarki yang sudah merangsek ke dalam sendi-sendi kehidupan bangsa. Harapan untuk adanya perubahan melalui momen pemilu rasanya juga masih menjadi kendala dengan getolnya kelompok oligarki untuk mempengaruhi prosesnya. Penetapan presidential threshold maupun parlemen threshold sepertinya juga diarahkan ke sana. Agar kelompok oligarki bisa membatasi peluang “orang baik” untuk maju menjadi pemimpin Indonesia kedepannya.

Kini diantara calon-calon pemimpin bangsa yang sudah mengemuka, kita berharap ada sosok yang benar-benar bisa mengemban amanah rakyat Indonesia. Sosok yang benar-benar berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara dan bukan bekerja untuk kepentingan oligarki sebagai penopangnya.

Sosok ini bisa jadi akan sulit ditemukan, bahkan mungkin tidak ada karena hampir semua elite calon pemimpin bangsa yang beredar saat ini tidak lepas dari pengaruh kelompok oligarki yang sudah demikian menggurita. Tetapi diantara pilihan-pilihan yang tidak ideal tersebut tentunya ada yang lebih mendingan.

Apakah Anda mempunyai pandangan siapa mereka?

Desmon J Mahesa,
Anggota DPR dari Partai Gerindra
Wakil Ketua Komisi III DPR RI

law-justice.co, 23 Oktober 2021

Sunday, May 30, 2021

Tribute To Muhammad Fanani Afaroaitum


Untuk menggambarkan sosok sahabat, saudara, dan guru sekaligus teman "berantem" Muhammad Fanani Afaroaitum, tentu bukan hal yang mudah bagi saya. Bisa dipastikan tentu ada saja hal-hal yang terlewatkan. Karena terlalu banyak sisi-sisi menarik dan penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dan rasanya saya tidak mampu menyajikannya secara utuh.

Di depan teman-teman dan para muridnya (dia sendiri tidak pernah menyebut peserta pengajiannya sebagai murid atau mendaulat dirinya sebagai guru atau ustadz) saya pernah mengatakan bahwa dia adalah mutiara ilmu! Oleh sebab itu jangan sampai dia keburu "hilang" sebelum kita sebanyak mungkin berhasil mendapatkannya. Dan ternyata benar, bahwa mutiara itu kini telah pergi, kembali kepada pemiliknya, 11 Mei 2021 yang lalu.


Perkenalan saya dengan dia terjadi sejak kami masih sama-sama remaja. Semasih sama-sama menjadi aktivis Pelajar Islam Indonesia. Terjadi sekitar tahun 1970-an akhir. Sempat "berpisah" dalam waktu cukup lama, ketika kami berselisih faham. Dia termasuk pemikir kelompok fundamentalis, sedangkan saya cenderung liberalis dan bahkan di kalangan beberapa teman Pelajar Islam Indonesia "garis keras" menyebut saya sebagai sekuleris.

Dan kami dipertemukan kembali oleh Allah, sekitar tahun 1983-an.

Sejak pertemuan kembali tersebut kami kembali dekat dan komunikasi kami semakin lebih intens. Hubungan kami dan keluarga masing-masing cukup dekat bahkan layaknya hubungan saudara. Kalau kami bertemu setelah dalam waktu yang lama, atau pada waktu peristiwa yang istimewa/tertentu (suasana haru, sedih, gembira atau pun bahagia), kami biasa berjabat tangan, berpelukan dan cipika-cipiki. Baik dengan dia atau dengan yang lain, termasuk dengan saudara-saudara perempuannya. Saya memanggil dia dengan sebutan om dan kepada saudara-saudara perempuannya bulik, serta menyebut pak dhe kepada saudaranya yang lebih tua. Hal itu untuk membahasakan bagaimana anak-anak saya menyebut mereka.

Muhammad Fanani berdiri di tengah bersebelahan dengan Prof Dawam Rahardjo. Sementara itu penulis Tribute ini, Mas Joko Kahhar, berdiri nomor tiga dari kiri.

Pertemuan kembali dengan dia tersebut diawali dengan mengadakan "pengajian" di tempat tinggal saya, Kuncen, Jogyakarta. Saya sangat excited dengan materi pengajian yang dia sampaikan. Juga cara penyajiannya yang tidak seperti dalam pengajian-pengajian yang umum kita kenal. Lebih seperti kuliah, di mana dosen berdiri di sebelah depan white board dengan spidol dan para mahasiswa dengan ballpoint dan buku catatan masing-masing, bahkan juga ada alat perekam suara. Kemudian berkembang dengan menggunakan projector, power point. Dan belakangan sejak pandemi covid-19 menggunakan fasilitas IT yang lagi trendy, channel Youtube dan Zoom Meeting.

Dari materi-materi yang disampaikannya itu lah yang di kemudian hari mampu merubah sudut pandang saya mengenai Islam/Al-Qurȃn dan pemahaman keberagamaan saya selama ini. Hal yang mengesankan saya pertama adalah ketika dia menguraikan pengertian dan definisi atas berbagai istilah fundamental dan memiliki nilai-nilai strategis di dalam Islam/Al-Qurȃn. Misalnya, tentang pengertian dan definisi iman, shalat, zakat, dsb.

Dan hal yang juga amat mendasar dan "baru" bagi saya adalah ketika dia memperkenalkan istilah metodologi Al-Qurȃn. Bagaimana seharusnya kita membaca/memahami dan mendudukkan Al-Qurȃn sebagai petunjuk hidup manusia di dunia. Hal itu yang juga sekaligus telah mematahkan pemahaman dikotomik saya sebelumnya tentang makna dunia-akhirat, habluminallaah-habluminannas, ibadah-mu'amalah, dsb.

Mas Muhammad Fanani berdiri di belakang, nomor dua dari kiri.

Demikian pula bagaimana sebetulnya memahami metodologi Al-Qurȃn; sistematika Al-Qurȃn; analitika Al-Qurȃn; obyektivita Al-Qurȃn. Bagaimana Al-Qurȃn bisa difahami sebagai teori sosial, budaya dan peradaban manusia sesuai dengan mau-Nya Allah. Bagaimana mampu menjadikan Al-Qurȃn sebagai pedoman hidup yang sempurna dan menanamkan kesadaran Al-Qurȃn ke dalam diri, sehingga fungsional di dalam realitas kehidupan muslim/mukmin sehari-hari.

Pembelajaran Al-Qurȃn (biasa disebut dengan studi Al-Qurȃn) yang dia sampaikan tidak cukup dengan memahami teks Al-Qurȃn dengan terjemahan dan tafsir yang sudah ada selama ini secara membabi-buta. Tetapi seharusnya juga menggunakan pendekatan kritis dari aspek filologis, epistemologis, etimologis, dll. Memahami makna teks Al-Qurȃn mulai dari asal kata, bentuk dan jenis kata, gaya bahasa, sehingga menemukan makna dan definisi sebuah teks Al-Qurȃn yang paling logis. Dengan panduan bagaimana Al-Qurȃn tersebut mengartikan dirinya sendiri (ayatin bayinatin).

Dan manusia yang telah diberi mandat untuk mengajarkan sekaligus memberi contoh ke dalam perilaku hidup, oleh Allah, sebagai pemilik teks/Al-Qurȃn tersebut adalah Rasulullah saw. Oleh sebab itu, kita juga harus menyandarkan pemahaman kita terhadap Al-Qurȃn, sebagaimana Rasulullah saw mengajarkannya dan mengimplementasikannya ke dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bukan hanya bertumpu pada pendapat (subyektif) kita masing-masing.

Dari kiri: Adib Susila Siraj, Joko Kahhar (tengah) dan Muhammad Fanani (paling kanan).

Interaksi, komunikasi dan aktivitas belajar-mengajar (studi) Al-Qurȃn yang berlangsung selama berpuluh tahun itu terus dia jalani tanpa kenal lelah. Bahkan meliputi hampir sebagian besar kota di negeri ini.

Dengan ghirah dan mobilitas yang luarbiasa itu dia mengajar kepada semua lapisan masyarakat tanpa memandang kelas, kedudukan sosial. Bahkan dari kalangan orang-orang yang tidak berpendidikan tinggi hingga profesor, doktor, rektor, dosen dsb. Dari masyarakat kebanyakan sampai kalangan ningrat di dalam lingkungan keraton.

Dia telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk berdakwah dalam arti yang sesungguhnya. Dan dari pengalaman belajar-mengajar (studi) Al-Qurȃn itu, dia telah sempat menyusun beberapa risalah berkaitan dengan tata-bahasa Al-Qurȃn ("berbeda" dengan buku-buku pelajaran bahasa Arab pada umumnya. Terutama berkaitan dengan pengertian mendasar tentang bahasa Al-Qurȃn dan bahasa Arab atau kalau boleh diperluas tentang budaya Al-Qurȃn dan budaya Arab).


Tentu dalam kesempatan ini saya tidak mungkin mengungkapkan materi-materi studi yang dia sampaikan selama ini. Karena disamping membutuhkan forum khusus, rasanya saya tidak mampu melakukannya seorang diri dengan secara memadai dan utuh.

Kini setelah dia meninggalkan kita, agaknya tidak ada di antara teman dan para muridnya yang mampu menggantikannya. Kecuali mereka yang masih memiliki dan mau melanjutkan ghirah yang telah dia tanamkan selama ini, kepada teman-teman dan murid-muridnya tersebut. Paling tidak, bisa dan mau melanjutkan aktivitas studi Al-Qurȃn di wilayah atau daerah tempat tinggal mereka masing-masing.

Misalnya untuk wilayah Jogja, bisa disebut ada dua bersaudara yang selama ini telah menunjukkan kredibilitas dan konsistensi mereka (dengan segala hormat dan permintaan maaf, saya tidak menyebut nama). Setidaknya kepada mereka berdua kita masih bisa berharap agar kiranya mau menjadi "penjaga gawang" agar kegiatan studi (ilmu) Al-Qurȃn tersebut terus berlanjut.

Joko Kahhar
Jogya, Jumat, 14 Mei 2021
https://www.facebook.com/joko.kahhar

Thursday, January 21, 2021

Indonesia Rumah Persaudaraan


Setiap tanggal 10 Desember kita merayakan Hari HAM Sedunia. Dan pada 10 Desember 2020 kemarin, kita peringati 72 tahun deklarasi universal hak asasi manusia (DUHAM). Dekalarasi ini merupakan kulminasi dari fakta kekerasan tak terkendali segelintir negara kuat. Selama masa ini, dunia menjadi arena pertarungan kekuatan fisik yang menumbalkan warga.

Dunia yang berjalan tanpa kepastian hukum dan norma yang berlaku umum telah mengubah kehidupan menjadi keadaan darurat yang konstan. Filsuf Thomas Hobbes melukiskan kondisi ini: bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua.

Para penguasa bertindak sewenang-wenang. Warga kehilangan kepercayaan pada para pemimpin. Hukum tak punya arti dan tak punya taring karena ditafsirkan sesuka hati seturut kuasa dan uang. Kondisi ini mengantar dunia ke jurang kehancuran tragis.

Situasi kelam ini memunculkan kesadaran pentingnya sebuah panduan bersama yang menggerakkan keyakinan para pemimpin negara Barat pada paruh pertama abad ke-20 untuk mendeklarasikan paham universal HAM. Ada kesadaran bersama bahwa kehidupan masyarakat global tidak dapat dibangun atas dasar kekuatan fisik.


Adagium usang, si vis pacem para bellum: jika mau berdamai, bersiap-siaplah berperang, tidak memiliki kekuatan lagi karena telah menelan jutaan korban. Totalitarianisme abad ke-20, baik totalitarianisme atas nama bangsa (fasisme), atas nama ras (rasisme) maupun atas nama kelas sosial (sosialisme), telah berakhir pada pembantaian massal jutaan manusia. Dalam bahasa Rousseau, kekuatan belaka harus diterjemahkan ke dalam bahasa hukum, ketaatan buta menjadi kewajiban rasional sebagai jaminan perdamaian sosial.

"Der Starkste ist nie stark genug, um immerdar Herr zu bleiben, wenn er seine Staerke nicht in Recht und den Gehorsam nicht in Pflicht verwandelt: Yang paling kuat sekalipun tidak pernah cukup kuat untuk tetap menjadi tuan jika ia tidak berhasil menerjemahkan kekuatan itu ke dalam hukum dan ketaatan menjadi kewajiban (JJ Rousseau, Der Gesellschaftsvertrag, I,3: 8)".

Maka, dalam konteks sosio-historis ini, deklarasi HAM merupakan bentuk protes moral dan jawaban politis atas sejarah penindasan yang mendera umat manusia. Deklarasi HAM dapat dipandang sebagai puncak prestasi intelektual abad pencerahan yang menjadikan martabat manusia sebagai basis legitimasi etis universal kehidupan bersama pada umumnya serta konsep negara hukum demokratis khususnya (Otto Gusti Madung: Dialektika antara Agama dan Teori Diskursus dalam Diskusi tentang Hak-hak Asasi Manusia, 2013).


Deklarasi universal melihat HAM sebagai hak-hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia secara kodrati, universal, dan abadi. Pasal 1 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Hak asasi ini keberadaanya mendahului institusi negara. Maka, negara tidak berhak menghilangkan HAM setiap warga. Pengakuan negara atas hak setiap warga merupakan bukti negara menghormati martabat manusia.

Maka, hak adalah suatu klaim yang dapat dibenarkan, berdasarkan landasan moral dan hukum untuk memiliki atau memperoleh sesuatu atau untuk bertindak dengan cara tertentu (Dorkwin 267: 1978). John Locke menegaskan bahwa klaim-klaim HAM itu semata-mata karena kita adalah manusia (Natural Rights Theory, Locke).


Malu dan bosan
UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis (basic law) sebagai Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Deklarasi universal HAM termuat dalam UUD 1945 dalam Pasal 27-34 mencakup hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pasal-pasal ini telah merepresentasi empat elemen dalam deklarasi universal HAM, yaitu penghargaan terhadap individu tiap manusia berhadapan dengan kelompok sosial, penghargaan pada pribadi individual, kebebasan sipil dan hak politik, serta pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya (ecosoc).

Fakta ini membuktikan bahwa Deklarasi Universal HAM telah menjadi jantung konstitusi negara kita. Pertanyaannya adalah apakah jantung konstitusi itu masih berdegup atau tidak, di tengah realitas kehidupan berbangsa?

Sebagai rakyat kecil yang mengais hidup di pinggiran negeri ini, sejujurnya ada rasa bosan dan malu untuk menulis realitas bangsa yang diseraki perilaku tidak terpuji para pemimpin. Mata manusiawi telah lama sakit dan nurani kemanusiaan terkoyak oleh pesta pora elite di atas derita rakyat. Tragedi kemanusiaan yang menginspirasi lahirnya deklarasi HAM tetap eksis dalam kemasan baru.


Mengutip Antologi 100 Puisi Taufiq Ismail, "Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia" (YI, 2003), rakyat sekadar menjadi pasien penderita rasa malu di negeri yang sedang sakit dan dokter-dokternya gagap memberi terapi. Reformasi 1998 hanya sebentuk pil penenang.

Bangsa di negeri yang subur makmur kaya-raya nan molek permai ini terpuruk karena dongeng kebesaran ekonomi yang kehilangan daya bius; dan rakyat terus merasa sakit disuntik dengan retorika dan slogan-slogan yang kehilangan mujarabnya menyembuhkan amnesia sejarah.

Para elite kekuasaan, baik politik maupun ekonomi, dari Jakarta hingga ke daerah terus saja memerintah berbendera korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Mereka memerintah dengan cara korup (mencuri milik bersama dan makan sendiri), kolusi (mencuri milik bersama dan makan di antara sesama koruptor) dan nepotisme (mencuri milik bersama dan makan bersama keluarga). Hasil curian mereka terus melegenda, bahkan semakin menggila di tengah penderitaan rakyat akibat pandemi Covid-19.

Bosan itu bukan sekadar istilah psikologi. Ada riak politis yang membeku dalam perasaan muak terhadap cara elite mengelola bangsa. Bosan itu semacam manuver batin rakyat jelata yang menuntut perubahan dengan jalan membosani sepak terjang pengelola negara yang tak kunjung memberi solusi di tengah keterpurukan. Rasa bosan itu bisa saja memasuki wilayah populis berskala sosial politik, bahkan berpotensi menuju matinya rasa kebangsaan. (VOX, Ledalero, Seri 43/1/1999: 7).


Rumah rakyat
Indonesia adalah hasil konsensus bersama seluruh bangsa. Mereka adalah pribadi-pribadi yang dalam konsepsi HAM dan agama-agama didefinisikan sebagai wajah, citra Allah (Imago Dei). HAM mesti menjadi landasan demokrasi. HAM adalah ungkapan dari prinsip martabat manusia.

Dari perspektif ini, martabat manusia dipahami sebagai prinsip etis yang memiliki validitas transhistoris serta kriteria yang melampaui segala model masyarakat. Maka, proses kerja pemerintahan yang demokratis mesti memperhatikan eksistensi setiap individu yang diselaraskan dalam konstitusi negara.

Prinsip utama adalah kesetaraan, kebebasan, kesejahteraan, dan keamanan. Nilai-nilai dasar ini telah lama menjadi kemewahan bagi mayoritas rakyat. Kondisi ini semakin diperparah dengan perilaku elite yang terasing dari demokrasi dengan basis HAM yang menjadi jantung konstitusi.


Kembali ke rumah rakyat adalah sebuah solusi rasional atas rasa malu dan bosan bernada cemooh. Kebosanan rakyat lebih dahsyat dari teror terang-terangan sebab menyertakan unsur kompulsif yang oleh Sigmund Freud diidentifikasi sebagai "kompleks terdesak". Pemberontakan model ini cenderung irasional. Karena rakyat tetap dalam kesangsian abadi.

Dalam perspektif filsuf Rene Descartes, kembali ke rumah rakyat berarti menguji suatu kebenaran dengan pendekatan rasional-konstitusional sambil mempertanyakan segala hal yang terjadi menuju perubahan. Hal ini dapat mencegah kesangsian abadi versi kompleks dengan ekspresi keputusasaan yang parah, seperti misalnya sebagian rakyat Papua yang menuntut opsi kemerdekaan karena hak-hak dasarnya terabaikan.


Rumah rakyat adalah kota adil yang kembali menyatukan seluruh rakyat yang telah lama mengungsi karena bosan dan malu menjadi bagian bangsa ini. Rumah rakyat adalah Indonesia tempat rakyat hidup bersama sebagai satu keluarga yang demokratis di bawah hukum yang adil dan benar.

Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa kita perlu memperluas hukum kekeluargaan untuk membentuk suatu bangsa, yaitu keluarga dalam lingkungan yang luas, tempat semua orang bisa hidup bersaudara (Gandhi, 2009: 145).

Steph Tupeng Witin,
Penulis,
Alumnus STFK Ledalero, Flores

KOMPAS, 10 Desember 2020