Tuesday, April 15, 2014

Adil dan Makmur


Tujuan pembentukan negara Indonesia adalah rakyat yang adil dan makmur, begitu disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. Apa maksudnya? Tentu semua negara di dunia tujuannya sama, yakni kemakmuran hidup rakyatnya dan keadilan tanpa pandang bulu. Namun, konsep adil dan makmur ini tidak sama artinya bagi semua bangsa karena bergantung pada struktur budayanya. Paling tidak itulah isi pidato Soepomo, doktor hukum adat, dalam rapat-rapat pembentukan UUD pada 31 Mei 1945.

Negara, menurut Soepomo, “bersifat barang yang bernyawa”. Sesuatu yang bernyawa atau “hidup” mengandung tiga elemen dasar yang merupakan satu kesatuan utuh, yakni kehendak (yang bebas), cara berpikir, dan tindakan yang mengandung kekuatan kekuasaan. Yang ini bukan dari Soepomo, melainkan dari masyarakat adat Baduy yang kalau ditelusuri lebih jauh mirip seperti yang ada di Brihad Upanishad, India kuno.

Lembaga tertinggi yang kekuasaannya tak terbatas adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Inilah lembaga negara yang mewakili kehendak, keinginan, dan cita-cita seluruh rakyat Indonesia. Di situ pula duduk para wakil daerah dan golongan. Lembaga ini memiliki kekuasaan tertinggi negara, tetapi tidak menjalankan kekuasaan rakyat tersebut secara langsung. Kekuasaan MPR ini dimandatkan kepada presiden yang menjalankan kekuasaan rakyat tersebut.


Itulah sebabnya presiden cukup dipilih oleh MPR dan tidak meniru Amerika Serikat yang dipilih langsung oleh rakyat. Konsep ini bersifat Indonesia, yakni pemilik kekuasaan tidak menjalankan kekuasaan, sedangkan yang menjalankan kekuasaan (presiden) bukan pemilik kekuasaan yang sebenarnya. Inilah konsep “pasangan” atau “jodoh” atau “kekeluargaan” yang ada di segala segi kehidupan kaum jadul itu. Jelas sekali bukan penganut faham liberalisme maupun individualisme.

Dalam praktik sehari-hari, yang melaksanakan kekuasaan tak lain adalah rakyat sendiri di bawah pimpinan lokal masing-masing. Dengan demikian, ada lingkaran kekuasaan dalam UUD 1945, seperti dirumuskan oleh Abraham Lincoln, bahwa pemerintahan dibentuk dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang diharapkan tidak akan lenyap dari muka bumi.

Rakyat tak mungkin memerintah dirinya sendiri. Mereka memilih wakil-wakil yang mereka percayai dan duduk dalam lembaga yang dapat dihitung jumlahnya, yakni MPR. Kemudian rakyat memilih presiden melalui MPR. Presiden inilah yang memerintah rakyat, yang jika pemerintahannya tak membawa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat, rakyat tinggal mendesak MPR untuk mencabut mandatnya pada presiden. Kekuasaan itu sirkuler: dari rakyat kembali ke rakyat.

Tugas negara, dalam hal ini presiden dan pemerintahannya, mengantarkan seluruh rakyat menuju keadilan dan kemakmuran. Mengapa adil dan makmur? Inilah konsep pasangan atau jodoh dunia kuno kita, seperti pasangan kawula-gusti (rakyat-pemerintah), makro-mikro (rakyat-MPR), dan lahir-batin (makmur-adil).


Roh dan badan
Kemakmuran adalah persoalan lahir, tubuh (jasad), material yang di dunia kuno kita isinya hanya masalah “sehat” dan “kaya”. Keadilan adalah persoalan batin yang rohaniah atau spiritual yang isinya cuma satu: “masuk surga”. Tiga elemen tujuan negara ini dapat dijabarkan dalam puluhan item yang disesuaikan menurut kebutuhan setiap zaman, tetapi intinya tetap pasangan roh dan badan. Roh menghidupi badan, dan badan menjaga roh. Itulah sebabnya elemen hidup “sehat” amat esensial bagi manusia.

Kemakmuran dan kekayaan rakyat bukanlah satu-satunya tujuan negara. Pemerintah yang hanya mengklaim kesuksesannya berdasarkan meningkatnya pendapatan rakyat, tentu tak paham UUD 1945. Banyak masyarakat adat yang sudah “adil dan makmur” dalam budaya lokalnya justru terganggu karena program pemerintah yang hanya mencapai sasaran “kaya dan makmur”. Rakyat tidak hanya butuh yang lahir, tetapi pemenuhan kebutuhan yang batin seringkali justru lebih penting.


Keimanan dan kepercayaan agama apapun, dalam masyarakat religius, hal-hal yang rohaniah itu lebih utama daripada yang duniawi karena yang rohani menghidupkan, menggerakkan, dan memberikan tenaga pada tubuh. Tenaga, energi, kekuatan adalah esensi spiritual, begitu yang diungkapkan Leonardo da Vinci. Kita hidup dan bergerak karena yang rohani menyatu dalam tubuh. Gerak tubuh ini tak terpisahkan dari elemen pikiran dan keinginan manusianya. Dengan demikian, “adil” masuk dalam kategori hidup rohaniah.

Dunia modern kita saat ini telah jauh meninggalkan konsep-konsep kearifan lokal Indonesia ini. Kita memaksakan diri untuk hidup dalam “struktur budaya” masyarakat yang asal-usul dan perkembangannya berbeda dengan kita di Indonesia. Itulah sebabnya UUD 1945 kita bongkar dan disesuaikan dengan kebutuhan modern kita. MPR yang dirancang sebagai lembaga kehendak rakyat dan lembaga keinginan rakyat disingkirkan dan diganti dengan DPR yang justru dalam UUD hanya merupakan bagian dari MPR belaka.

Jika kelembagaan negaranya sudah seperti itu, bagaimana mungkin dapat jodoh dengan rakyat? Lantas, bagaimana mungkin masyarakat adil dan makmur dapat terwujud?

Jakob Sumardjo,
Budayawan
KOMPAS, 12 April 2014

No comments: