Showing posts with label Pilpres 2019. Show all posts
Showing posts with label Pilpres 2019. Show all posts

Wednesday, April 10, 2019

GBK dan Embrio People Power


Desas-desus, Pilpres akan rusuh. Apa pemicunya? Kecurangan! Ternyata, kekhawatiran itu bukan isapan jempol. Amien Rais, tokoh Reformasi 98 sudah memberi peringatan.

Tidak hanya Amien Rais, Prabowo Subianto juga sudah mengingatkan kepada timses dan para pendukungnya, agar di Pilpres 2019 ini bisa meraih kemenangan di atas 25 persen. Pasalnya, ada dugaan kuat pihak sebelah akan mencuri belasan persen suara.

Ini peringatan dari Prabowo. Sangat keras. Pesannya tegas: ada rencana kecurangan angka yang fantastis. Jika ini betul terjadi, dan Prabowo kalah karena faktor kecurangan itu, people power bisa meledak.

Prof Dr Amien Rais, Tokoh Reformasi 1998. (Foto: Liputan6.com)

Agus Ma'sum, tim BPN yang khusus menangani urusan Daftar Pemilih Tetap (DPT) mengaku telah menemukan 17,5 juta DPT invalid, ganda dan bermasalah. Berulangkali temuan ini kabarnya sudah dilaporkan ke KPU. Minta kepada KPU untuk melakukan pengecekan dan perbaikan. Tapi, laporan itu tak ditindaklanjuti.

Dugaan BPN, kasus 17,5 juta DPT seperti telah disengaja dan merupakan bagian dari desain kecurangan. Inilah yang membuat kecurigaan pihak BPN kepada KPU dan kepada rezim penguasa semakin kuat.

Apa yang diungkapkan Prabowo bahwa ada potensi pencurian belasan juta suara sepertinya bukan bualan belaka. Ada datanya, dan sudah berulangkali dilaporkan ke KPU. Ini langkah prosedural yang sudah dilakukan. Tapi, BPN menilai KPU tak serius merespon laporan dan protes itu.


Di sisi lain, ada pihak yang menuduh ucapan Prabowo itu “hoaks”. Istilah hoaks memang rajin muncul di era pilpres ini. Tapi, kemunculannya seringkali tak lebih dari manuver politik yang bertujuan untuk mendelegitimasi lawan. Dalam konteks ini, Prabowo jadi sasaran.

Harus juga disadari dengan obyektif bahwa tak jarang apa yang diungkap Prabowo terbukti. Soal 11.000 triliun uang Warga Negara Indonesia (WNI) disimpan di luar negeri misalnya. Itu hoaks, kata kubu Jokowi. Belakangan diketahui, bahwa Jokowi sendiri pernah menyatakan hal yang sama dan mengaku mengantongi datanya.

Begitu juga ketika Prabowo bilang ada 1000 triliunan kebocoran APBN. Lagi-lagi dituduh hoaks. Beberapa hari kemudian KPK mengungkapkan bahwa kebocoran APBN memang terjadi. Angkanya sekitar 2000 triliun. Lagi-lagi, apa yang diucapkan Prabowo bukan isapan jempol.


Istilah “hoaks” di musim Pilpres sering jadi istilah yang bermuatan politis. Tak menunjukkan substansi dan makna aslinya. Tak lebih dari manuver politik untuk saling mendeligitimasi lawan. Dalam konteks ini, Prabowo jadi korbannya.

Strategi menebar hoaks, atau meng-hoaks-kan data yang belum terverifikasi, apalagi data itu ternyata terbukti benar, merupakan langkah politik yang tak semestinya dilakukan oleh siapapun dan dari kubu manapun.

Ini akan melukai kejujuran dan merusak standar kebenaran. Kita berharap, semua strategi politik yang dilakukan oleh masing-masing kubu baik 01 maupun 02 tetap tidak keluar dari pakem moral yang dimiliki oleh bangsa ini.

Kalau kejujuran dan kebenaran menjadi standar dalam membangun demokrasi di Pilpres 2019 ini, maka tak akan ada money politics. Tak akan ada intimidasi dan mobilisasi aparat-ASN. Tak ada lagi bagi-bagi sembako dan amplop. Tak akan ada 17,5 juta DPT yang bermasalah. Ini adalah praktik-praktik a-moral yang telah merusak demokrasi.


Jika pelanggaran kampanye yang masif itu tak segera dihentikan, dan kecurangan terbukti telah secara signifikan menjadi faktor kemenangan paslon tertentu, siapapun pemenang dalam Pilpres kali ini, potensi rusuh akan sangat besar.

Terutama jika paslon nomor 02 kalah, bukan karena selisih jumlah suara, tapi karena adanya kecurangan yang terukur dan bisa dibuktikan, maka people power hanya menunggu waktu.

Ah, itu kan karena mereka tak siap kalah. Stop! Jangan anggap remeh soal ini. Mari kita lihat fakta-fakta di lapangan, pelanggaran kampanye itu nyata dan masif. Bahkan dianggap telah melampaui batas. Sesuatu yang melampaui batas itu berpotensi menjebol dinding pertahanan batin rakyat.

Kita bisa saksikan hari ini di GBK, jutaan pendukung Prabowo dari berbagai wilayah hadir. Arak-arakan motor dari Solo, konvoi mobil dari Bandung, para pejalan kaki dari Surabaya dan Ciamis, Sewa sejumlah pesawat dari luar Jawa. Massa betul-betul militan dan bisa dimobilisasi. Hari ini jutaan rakyat berhasil memutihkan kawasan Senayan dan sekitarnya. Ini unjuk kekuatan yang tak boleh dianggap remeh.


Apakah mereka hadir karena digerakkan oleh cintanya kepada Prabowo? Sebagian mungkin iya. Tapi rasa kecewa dan marah kepada rezim penguasa hampir dipastikan sebagai alasan yang paling dominan. Marah, bukan saja karena faktor ekonomi dan semua masalah yang terkait pengelolaan pemerintahan, tapi juga perilaku politik rezim penguasa yang oleh mereka dianggap terlampau represif. Dan nampaknya, tak cukup waktu tersisa lagi bagi kubu Jokowi untuk meredam kemarahan rakyat itu.

Anda bisa bayangkan, jika kecurangan terbukti dan mereka tak terima, mungkinkah people power bisa dihindari? Karena itu, hentikan segala bentuk kecurangan dan praktik-praktik kampanye yang melanggar, jika kita ingin Pilpres aman. Hanya itu caranya. Tak ada cara yang lain. Siapapun yang akan jadi pemenang, jika Pilpres jurdil, pasti akan diterima oleh semua pihak. Rakyat niscaya akan legowo.

Kita semua ingin Pilpres ini aman dan damai. Untuk sampai pada harapan itu, syarat utama, kejujuran dan keadilan harus dipastikan hadir dalam Pilpres kali ini. 17,5 juta DPT mesti diperbaiki. KPU, Bawaslu dan aparat harus netral, dan tak ada mobilisasi ASN. Bagi-bagi sembako, amplop dan rekayasa dana bantuan dari APBN dan BUMN, harus dihentikan. Jika tidak, tak terbayang bagaimana keadaan negeri ini pasca Pilpres. GBK akan betul-betul bisa jadi embrio bagi lahirnya people power.

Tony Rosyid
Pengamat politik
Kumparan.com, 7 April 2019
https://kumparan.com/tony-rosyid/gbk-dan-embrio-people-power-1qqCldot7Uu

Friday, February 22, 2019

Sulitnya Menasehati Pendukung Fanatik

Pak Kasmudjo, dosen Jokowi saat menjadi mahasiswa Fak Kehutanan, UGM.

Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi saya berinteraksi –sekadar ngobrol dan berdebat kecil– dengan kelompok “pemuja” petahana. Saya beri istilah “pemuja”, karena mereka ini sudah menganggap petahana satu-satunya sosok yang akan menyelamatkan Indonesia. “Ratu Adil”-lah istilahnya.

Petahana tidak ada cacat sedikitpun bagi mereka. Ketika ditunjukkan kebodohan, kebohongan dan kegagalan petahana, mereka tetap tak bergeming. Pernah saya tunjukkan beberapa video petahana yang gagap dan gugup di depan kamera saat menjawab pertanyaan wartawan.

Pernah juga saya tunjukkan betapa petahana mengaku tidak membaca apa yang ditandatanganinya, juga mengaku IPK-nya tidak lebih dari 2, sampai ketidakmampuan beliau berbahasa asing.

Berbagai macam data yang seharusnya menggiring pemahaman bahwa petahana tidak kompeten atau tidak smart, ternyata tidak diindahkan oleh mereka. Awalnya saya tidak ambil pusing, karena itu hal biasa.


Saya pikir, ini adalah fenomena defense mechanism (mekanisme pertahanan) saja. Namun, saya melihat argumentasi menarik dari mulut mereka, yang menggiring saya pada kesimpulan bahwa defense mereka bukan defense biasa.

Saya ingat salah satu teori tentang perilaku relijius orang-orang pagan (penyembah berhala). Mereka menyembah benda-benda, atau makhluk-makhuk seperti hewan dan tumbuhan, bukan karena akal tapi mereka yakin bahwa yang disembah itu mampu memberikan kebaikan.

JIka dipikir dengan akal, maka mereka tahu bahwa benda dan makhluk yang disembah itu tidak logis dapat memberikan kebaikan kepada mereka. Namun mengapa terus disembah? Pakar psikologi agama mengatakan, justru karena tidak logis itulah maka berhala-berhala itu disembah. Para penyembah berhala itu disebut sebagai orang-orang yang “mabuk keajaiban”.

Mereka adalah orang-orang yang menyukai keajaiban secara berlebihan. Sebagai contoh, untuk menjelaskan keajaiban yang dimaksud: para penyembah berhala itu tahu, kalau ingin kaya, mereka harus bekerja dengan rajin. Jadilah pedagang atau jadilah pegawai. Namun itu rasional, bukan keajaiban.


Ajaib itu menjadi kaya dengan menyembah batu! Tidak masuk akal, namun justru itulah yang namanya keajaiban. Kalau masuk akal, itu bukan keajaiban tapi logis, rasional. Dan yang logis, rasional itu biasa, bukan keajaiban.

Saya perhatikan, dinamika psikologis inilah yang berkerja dalam otak kelompok pemuja petahana tersebut. Semakin ditunjukkan bahwa petahana memiliki kekurangan-kekurangan dan tidak logis kalau beliau dapat memperbaiki Indonesia, mereka justru semakin bersemangat untuk mendukung petahana.

Beberapa diantara mereka mendebat dengan nasehat adiluhung orang Jawa, “wong pinter ora mesthi bener, wong bener ora mesthi pinter”.

Mereka mau mengatakan, “ya, petahana memang bodoh, tapi dia orang yang benar”. Padahal nasehat Jawa itu maksudnya, “wong (sing ketok) pinter ora mesthi bener, wong sing bener (ora kudu ketok) pinter”, karena tidak mungkin orang dapat mencapai kebenaran tanpa ilmu, dan orang yang pintar adalah orang yang berilmu.


Para pendukung jenis ini, akan semakin khusyuk membela petahana justru ketika ada bukti kekurangan dari petahana. Bagi mereka, dunia ini berjalan tak logis dan semuanya nampak bertentangan. Dengan kondisi utang yang melambung tinggi, BUMN banyak yang merugi, nilai tukar rupiah yang cenderung melemah, harga-harga turun-naik tak terkendali, dan kepercayaan terhadap pemerintah cenderung terus menurun, masih ada pemuja-pemuja yang percaya bahwa petahana masih mampu membalikkan keadaan.

Padahal kualitas pribadi beliau secara intelektual lemah, literasinya kurang, gagap dan gugup jika tampil tanpa teks, pergaulan dunianya kurang berwibawa, dan dinyatakan terang-terangan sebagai petugas (boneka) partai. Namun justru kualitas-kualitas itulah yang membuat mereka semakin berharap keajaiban, “bisa saja orang ini yang justru akan menyelamatkan Indonesia”. Itulah sebabnya Ruhut Sitompul mengatakan, “Jokowi adalah rahmat Tuhan untuk Indonesia”.

Perilaku seperti ini bukan barang baru di Indonesia. Ingatlah Ponari, dukun cilik yang dikabarkan mampu menyembuhkan segala macam penyakit dengan ‘hanya’ sebuah batu.


Masuk akal? Tidak! 
Tapi justru itulah yang mendorong orang-orang datang untuk merasakan keajaiban. Kalau Ponari itu seorang dokter spesialis dengan gelar akademik doktor (S3), pasti yang datang tidak sebanyak itu. Kenapa? Kalau dokter bisa menyembuhkan penyakit, itu bukan keajaiban. Itu logis! Biasa!

Saya sering tersenyum, namun berterima kasih atas perhatian kawan dan murid-murid saya yang menasehati, “Pak, jangan sering ngatain orang dungu. Tidak baik”. Namun, bagi saya, tidak ada kata yang pas untuk perilaku seperti ini selain “dungu”, karena mereka menolak ajakan berpikir logis, dan malah memaksa akalnya berpikir terbalik.

Mengapa bisa begitu? Jiwa mereka mabuk keajaiban. Orang yang mabuk, selalu ingin merasakan sesuatu yang memabukkan itu. Kalau sesuatu yang memabukkan itu berupa khamr (miras), maka khamr (miras) lah yang diinginkan. Dalam kasus ini, sesuatu yang memabukkan itu adalah “keajaiban”, maka keajaiban akan menjadi klangenan buat mereka. Semakin ajaib, semakin menarik.

Bila Ratna Sarumpaet dijuluki sebagai Ratu Bohong, maka Raja Bohongnya siapa?

Terakhir, saya ingin mengingatkan, buat kawan-kawan muslim yang masih mabuk keajaiban. Sadarlah! Ingat, mukjizat terbesar Rasulullah saw ialah Al-Quran. Beliau, tidak memfungsikan Al-Quran sebagai alat pertunjukkan (show) keajaiban kepada orang beriman.

Beliau tidak pernah terbang walaupun kalau beliau minta kepada Allah, pastilah dikabulkan. Beliau tidak membelah lautan seperti Nabi Musa as., tidak pula tahan dibakar api seperti Nabi Ibrahim as. Mengapa? Karena keajaiban-keajaiban itu ditujukan untuk orang-orang yang sulit memahami kebenaran dengan akalnya.

Sedangkan Rasulullah saw menunjukkan mukjizat Al-Quran kepada orang-orang beriman dengan penjelasan rasional, sehingga keyakinan itu menancap kuat dalam akal-budi dan hati-sanubari orang beriman.

Jangan biasakan akalmu mabuk keajaiban, karena itu sama dengan menutup pintu hidayah. Bagaimana Al-Quran yang logis dan rasional itu dapat diterangkan kepada otak yang sudah dibiasakan mabuk keajaiban, kawan?

Please .... 

Dr. Ichsanuddin Noorsy, BSc, SH, MSi
Ekonom Indonesia
dan Pengamat Politik Ekonomi Indonesia

Friday, February 8, 2019

Mau Janji Apalagi Pak Presiden?


Luar biasa! Siapa yang tak kagum dengan ide dan gagasan cemerlang Jokowi di tahun 2014. Lepas itu ide Jokowi atau gagasan timsesnya. Atau gagasan “para futuristik” yang sengaja disiapkan untuk mengangkat citra Jokowi.

Di saat Indonesia bergantung pada mobil Jepang, Korea dan Eropa, ide Mobnas Esemka muncul. Masyarakat terhenyak. Kaget dan kagum! Begitu cerdas dan brilian.

Tidak hanya Mobnas Esemka. Jokowi juga menawarkan gagasan tol laut. Konsepnya sangat cemerlang. Indonesia adalah negara kepulauan. Jarak satu pulau dengan pulau yang lain terlalu jauh. Akibatnya, pertumbuhan lambat dan tidak merata. Ada ketimpangan terutama di Indonesia bagian Timur. Maka dengan tol laut, jarak antar pulau bisa didekatkan. Ketimpangan teratasi, terutama di bidang ekonomi.


Tidak hanya tol laut. Jokowi juga memperhatikan hutang negara yang cukup besar. Mulai Soeharto hingga SBY, Indonesia tergantung dengan hutang, terutama pada Bank Dunia dan IMF. Maka Jokowi katakan stop hutang. Indonesia harus berdaulat secara ekonomi agar tidak didikte negara lain. Ini terobosan yang sangat berani. Tak ada satupun presiden di Indonesia yang berani melakukan ini.

Tidak hanya stop hutang. Indonesia harus stop impor pangan. Berhenti impor beras, kedelai, ikan, sayur, garam, jagung, gula, cabe, bawang putih dan buah. Apalagi yang belum disebutkan? Tanya Jokowi kepada massa yang hadir di Muktamar PKB 2014. Ini cara jitu untuk menjaga kedaulatan pangan dan eksistensi para petani. Ide yang sangat rasional mengingat Indonesia memiliki tanah yang subur dan laut yang sangat luas. Jadi, nggak perlu impor.

Dollar ditekan di angka 10 ribu rupiah, dan pertumbuhan ekonomi di angka 7-8 persen. Jauh melampaui masa SBY yang berada di angka 5,8 persen. Dengan begitu, rakyat Indonesia punya harapan kesejahteraan di masa depan. Dengan ekonomi yang sehat, stabil dan terus mengalami pertumbuhan, maka mudah bagi Indonesia untuk bisa buy back Indosat yang dijual saat pemerintahan Megawati.


Ekonomi yang stabil memudahkan Indonesia untuk mempertahankan subsidi, termasuk BBM. Jadi, tak perlu menaikkan harga BBM, karena itu akan membebani dan menyengsarakan rakyat. Malah Pertamina bisa didorong untuk menjadi lebih kuat dari Petronas milik Malaysia. Keren. Gagasan Jokowi memang benar-benar memukau.

Untuk mensukseskan semua rencana ini, perlu kabinet ramping yang diisi oleh para profesional. Karena yang dibutuhkan adalah kerja. Betul kata Jokowi, memang nggak perlu kabinet gendut. Apalagi jadi bancakan parpol, sekadar untuk bagi-bagi kursi jabatan politik. Setuju!

Hebat! Sungguh mengagumkan! Inilah ide, gagasan dan program cemerlang Jokowi tahun 2014. Semua terasa baru, cerdas dan berani. Hanya orang gila yang nggak tertarik dengan gagasan-gagasan hebat ini. Jadi normal ketika kubu Jokowi menandai taglinenya dengan “Koalisi Indonesia Hebat”. Semua serba herois.

Bohongnya hebat. Hebat bohongnya!

Pertanyaannya cuma satu, dan hanya satu: apakah ide, gagasan, program dan janji politik Jokowi di 2014  itu nyata? Mampu direalisasikan? Dan jawabannya sangat jelas. Ternyata tidak! Bahkan meleset jauh! Inilah kenyataan pahit yang harus diterima rakyat setelah hampir lima tahun menunggu janji Jokowi.

Kita mesti obyektif untuk melihat faktanya. Apalagi, ini menyangkut negara dan nasib anak bangsa. Gagasan itu hebat hanya ketika direalisasikan. Sama sekali tidak hebat kalau hanya jadi gagasan. Apalagi gagasan itu diungkapkan sebagai janji kampanye, lalu tak mampu dibuktikan.
Ini bukan lagi semata-mata soal kompetensi. Tapi, ini juga menyangkut problem moral.

Tak terealisirnya begitu banyak janji politik Jokowi akan ditandai rakyat sebagai bagian dari “cacat moral” seorang pemimpin negara. Apapun program yang dijanjikan Jokowi berikutnya, tak akan dipercaya lagi oleh rakyat. Akan ditandai sebagai “kebohongan”. Ini risiko sosial dan politik yang harus dihadapi Jokowi di Pilpres 2019.

Ketika janji Jokowi tak terealisir, maka muncul sejumlah pertanyaan. Pertama, apakah Jokowi dan timnya sadar dari awal bahwa janji-janji politiknya memang tidak akan bisa direalisasikan? Kalau benar begitu, berarti bohong dan menipu dong? Ini soal integritas moral. Bagaimana bangsa ini bisa dipimpin oleh orang yang tak punya standar moral?


Kedua, apakah karena Jokowi tidak paham dan tidak mengerti soal negara, sehingga asal buat janji? Nah, ini menyangkut kapasitas. Ketiga, ataukah janji-janji itu sengaja didesain semata-mata untuk kampanye, bukan untuk menjadi program yang akan direalisasikan? Ini malah lebih parah lagi. Bila demikian, berarti dusta tingkat dewa.

Apapun alasannya, ide, gagasan dan program yang tertuang dalam janji politik harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Baik pertanggungjawaban moral maupun politik.
Yang jelas, tak terealisasikannya janji politik, apalagi banyak jumlahnya, itu indikator paling nyata dari kegagalan seorang kepala negara.

Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menilai itu kecuali dengan istilah ‘gagal’. Setiap orang yang wanprestasi, adalah orang yang gagal. Dan yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah ke-legowo-an Jokowi untuk mengakui kegagalan itu, lalu meminta maaf kepada rakyat.


Dari semua gagasan yang cemerlang dan menghipnotis rakyat di tahun 2014 itu, memberi kesimpulan bahwa kehebatan Jokowi ternyata hanya ada di janjinya. Bukan pada realisasi program kerjanya. Jika Jokowi berani mengakui kegagalannya, lalu minta maaf kepada rakyat, maka ini akan menjadi keteladanan.

Seandainya diapun kalah di Pilpres 2019, Jokowi akan turun dengan terhormat. Seorang pemimpin mesti berani mengakui kesalahan dan kegagalannya, lalu minta maaf kepada rakyat. Itu baru kesatria. Gentleman!

Sayangnya, sepanjang hampir lima tahun Jokowi jadi presiden, belum pernah terdengar ia mengakui kesalahan dan kegagalannya, lalu minta maaf kepada rakyat. Kendati kesalahan dan kegagalan itu begitu nyata di mata publik, seperti mobil Esemka, ekonomi ‘meroket’, buy back Indosat, dll. Soal ini, Prabowo jauh lebih gentle dan rendah hati dibanding Jokowi. Kasus Ratna Sarumpaet yang belum tentu Prabowo ikut bersalah, namun Prabowo berani minta maaf ke publik. Ini salah satu bukti bahwa Prabowo lebih berani, lebih kesatria!

Kegagalan Jokowi menunaikan janji-janjinya yang seabrek itu dan keengganannya meminta maaf kepada rakyat akan menjadi memori negatif di otak sejarah bangsa ini. Dalam memori sejarah itu akan tertulis: Yang hebat dari Jokowi adalah janjinya, bukan kerjanya. Alias Omdo. Maka, di Pilpres 2019 ini rakyat akan nyinyir bertanya: “Mau janji apa lagi Pak Presiden?

Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Kumparan, 18 Januari 2019
https://kumparan.com/tony-rosyid/mau-janji-apalagi-pak-presiden-1547776901974776034

Sunday, January 27, 2019

Muhammadiyah di Tahun Politik

Din Syamsuddin (kiri) dan Syafii Maarif (kanan).

Sejak Reformasi tahun 1998, Muhammadiyah selalu berusaha menjaga netralitasnya dalam politik.

Pada masa kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif (1998-2005), dengan slogannya “menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik”, bisa dikatakan Muhammadiyah menerapkan kebijakan netralitas pasif.

Pada periode kepemimpinan Din Syamsuddin (2005-2015), Muhammadiyah berubah dari netralitas pasif ke netralitas aktif dengan slogan “menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik”. Seperti apakah politik Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Haedar Nashir (2015-2020), terutama dalam menghadapi pemilihan presiden pada 17 April 2019 nanti?

Layang-layang kreatif bentuk kecebong dan kampret, nampak indah melayang di langit biru.

Berbeda dari periode-periode sebelumnya, kali ini tidak dimunculkan slogan tertentu untuk merumuskan hubungan Muhammadiyah dengan politik. Ketiadaan slogan tertentu itu bisa memiliki beragam tafsir. Bisa jadi Muhammadiyah memilih untuk apolitik dan bisa juga ini merupakan perwujudan dari kebingungan menentukan sikap di tengah polarisasi politik yang tajam, termasuk di dalam tubuh Muhammadiyah sendiri.

Seperti yang berulang kali ditegaskan oleh Haedar Nashir, Muhammadiyah kali ini memilih untuk menjadi “jembatan” dalam politik nasional yang dikotomis dan saling menafikan. “Jika semua ormas maupun lembaga Islam masuk dalam ranah politik, maka akan terjadi politisasi di Indonesia,” ujarnya.

Memilih untuk menjadi jembatan dalam perpolitikan nasional yang sering kali terbelah antara kubu “kampret” dan “kecebong” atau “Islamis” dan “Pancasilais” dan juga menjembatani hubungan yang timpang antara minoritas dan mayoritas sering harus menempuh jalan terjal dan berliku.

Dalam posisi ini, seseorang atau sebuah organisasi harus siap untuk tak mendapatkan apa-apa dan bahkan dihujat dua kubu yang berkompetisi.


Cacat calon
Muhammadiyah menyadari bahwa ketika politik sudah sering kehilangan kewarasannya, perlu ada kelompok yang merelakan dirinya untuk terus mengingatkan, wa tawashau bil-haqqi wa tawashau bis-shabr (mengingatkan tentang kebenaran dan kesabaran).

Masing-masing kubu saat ini seperti buta, atau sengaja membutakan diri, terhadap kelemahan dan cacat dari calonnya. Mereka berusaha, meminjam istilah Avishai Margalit dalam bukunya, The Ethics of Memory (2000), untuk “melupakan” (forget) dan “memaafkan” (forgive) segala cacat dan noda dari calonnya.

Satu kubu melupakan jejak-jejak persoalan yang terkait hak asasi manusia (HAM) dari calon presidennya serta membungkus calon wakil presidennya dengan aura “kesantrian” atau bahkan “keulamaan”. Sementara kubu satunya harus menoleransi “a bit of intolerance” dengan mengangkat beberapa orang yang selama ini memiliki rekam jejak intoleransi menjadi bagian inti pencalonannya guna membentengi diri dari penggunaan isu identitas.

Artikel tentang Jokowi oleh Tom Power, akademisi dari ANU (Australian National University).

Bahkan, mereka ikut mengadopsi elemen dari otoritarianisme (authoritarianism) dalam pemerintahannya demi memenangi Pilpres 2019 nanti (Tom Power, 2018). Meskipun banyak dari pendukung kedua kubu itu yang tahu tentang cacat dan noda ini dan sebelumnya sering berteriak tentang hal ini, kali ini mereka memilih membisu untuk sementara waktu.

Demi akhaffud dararain (memilih yang lebih ringan mudaratnya), kata mereka.

Berbagai ormas Islam memilih untuk terjun langsung dalam gelanggang politik. Bahkan, kantor organisasi Islam tertentu pun saat ini sudah berubah menjadi kantor partai atau posko pemenangan pilpres.

Hal ini di antaranya yang ikut memengaruhi lahirnya polarisasi yang mencoba membenturkan kelompok-kelompok Islam sebagai “NU vs the rest of Islam” atau “Islam Nusantara vs other Islam”.

Old Santri (Santri Tradisional) dan New Santri (Santri Milenial). Terserah mau pilih yang mana, dua-duanya santri.

Dikotomi yang berkembang saat ini bukan lagi antara Muslim dan non-Muslim, melainkan “santri tradisional” vs “santri milenial” atau “old santri” vs “new santri”. Kelompok yang pertama adalah para santri dan alumni pesantren tradisional, kelompok yang kedua adalah didikan halaqoh-halaqoh di berbagai kampus dan alumni sebuah gerakan melawan pencalonan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Desember 2016.

Jika pada tahun 1990-an new santri itu mengacu kepada alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) atau Universitas Islam Negeri (UIN), saat ini mereka itu tak lagi dimasukkan dalam kategori new santri, tetapi sudah bergabung dengan old santri.

Aliansi NU-PNI-PKI pada masa lalu sudah sering kali disebut di berbagai media sosial. Perlawanan terhadap Islam Nusantara juga terjadi di beberapa tempat, seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Banten. Sebagian orang ketakutan jika Nahdlatul Ulama (NU) betul-betul masuk dalam pusat kekuasaan nantinya akan menghalangi Islam yang lain (Islam non-NU), seperti yang terjadi dengan kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Haedar Nashir, Ketum PP Muhammadiyah saat ini.

Tugas Muhammadiyah
Selain polarisasi di atas, beredar pula pemahaman yang dikotomis terhadap Pancasila dan kebangsaan, antara kelompok yang mendengungkan “NKRI Bersyariah” dan “NKRI [Tanpa Syariah]”, antara Pancasila dan pemahaman sila pertama yang eksklusif atau “Pancasila yang Bertauhid” dan “Pancasila yang inklusif serta pluralis”.

Berbagai benturan dan potensi perpecahan di masyarakat itulah kiranya yang membuat Muhammadiyah secara institusi tak masuk ke politik praktis. “Agar bangsa ini ada kartu pengaman. Kalau semua instansi keagamaan rebutan dalam kepentingan politik, nanti bangsa ini makin mengalami politisasi”, demikian pilihan politik Muhammadiyah saat ini, seperti ditegaskan Haedar Nashir.

Tugas Muhammadiyah adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa dan saat ini berusaha menjadi jembatan yang mempertemukan berbagai kelompok yang berseberangan. Pemilihan presiden merupakan proses atau ritual politik lima tahunan yang menjadi bagian dari dinamika kehidupan kebangsaan.

Jangan sampai proses ini lantas membuat bangsa ini terpecah dan bermusuhan satu sama lain. Demikian pesan moral yang sering disampaikan di Muhammadiyah.

Ahmad Najib Burhani,
Peneliti Senior LIPI
KOMPAS, 25 Januari 2019

Friday, December 14, 2018

Bukalah Matamu!


Mulai agak meroket September, Oktober. Nah, pas November itu bisa begini (tangan menunjuk ke atas),” kata Jokowi di Istana Bogor, Rabu 5 Agustus 2015. (banyak media cetak dan televisi menjadi saksi).

Keinginan untuk subsidi BBM, saya kira tidak ada masalah. Subsidi bagi rakyat kecil adalah sebuah keharusan,” ujar Jokowi menanggapi permintaan para tukang ojek, di Jl. Borobudur 18 (16/6/2014, Republika).

Klausulnya jelas, Indosat bisa diambil kembali, hanya belum kita ambil. Kuncinya hanya satu, kita –buy back–, kita beli kembali. Tapi ke depan ekonomi harus tumbuh 7 persen,” janji Jokowi. (22/6/2014, Tempo.com).

Kita harus berani stop impor pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok,” kata Jokowi di Gedung Pertemuan Assakinah, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (2/7/2014, Kompas.com).

Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. Menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun,” jelasnya saat ditemui di Gedung DPR, Selasa (3/6/2014, Liputan 6).


Janji adalah hutang
Hasilnya? Hingga November 2017 dan November 2018, meroket yang dimaksud tak pernah kunjung terjadi. Keharusan subsidi bagi rakyat kecil yang disampaikan dihadapan para tukang ojek itu bukan hanya dicederai, tapi malah diberi beban yang amat dahsyat. Meski baru empat tahun memerintah, Jokowi bukan hanya mencabut, tapi sudah 12 kali menaikkan harga BBM. Padahal tukang ojek itu ibaratnya mereka ‘bernapas’ dengan BBM.

Tentang janji –buy back– Indosat yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen, itu pun jauh dari kenyataan. Bahkan tragisnya, pemerintah justru sedang bersiap-siap melego aset-aset Pertamina. Itu sebabnya ribuan karyawan Pertamina, jumat (20/7/18) lalu, melakukan demo. Jika masih nekad, maka puluhan ribu karyawan Pertamina akan mogok.

Lalu, soal impor macam-macam: beras, daging, sayur, buah, kedelai yang secara berapi-api dikatakan akan distop, faktanya? Jokowi menikmati impor-impor berikutnya. Petani, nelayan, pedagang mengalami kesulitan dan mereka sama sekali tidak dihiraukan. Jutaan ton beras diimpor dengan tenang.


Terkait hutang yang juga dengan gagah perkasa dikatakan tidak akan dilakukan lagi, nyatanya? Per-Mei 2018 melonjak Rp 4.180 triliun. Menurut RMOL.co, hutang Indonesia memasuki babak paling beresiko.

Masih sederet janji yang tak ditepati. Anehnya orang seperti Denny Siregar masih membelanya. Lebih tepat memujanya seakan ia mampu menutupi seluruh fakta yang ada.

Dan membuat orang seperti Kapitra Ampera yang selama ini berada dalam barisan perjuangan bela ulama, terseret ke gelombang kekuasaan hingga mau berada dalam lingkaran itu, meski janji penguasa dan fakta tak dipenuhi.

Bahkan ulama sekelas TGB pun seolah dibutakan dengan apapun alasan yang ia kemukakan, faktanya ia secara sadar berpaling ke tempat yang seharusnya dikritisi. Apalagi dia memiliki basis agama yang kuat.

Bahkan ucapan-ucapannya seolah menjadi pembenar perbuatan yang tak sama antara janji dengan kenyataan. Janji dalam agama mana pun bisa dikatagorikan dengan hutang. Dan hutang, hukumnya wajib dibayar.


Mendukung dan memilih memang menjadi hak privat, hak yang dilindungi undang-undang. Tapi, menafikan fakta-fakta yang ada, sungguh tak bisa dipahami akal sehat. Dan, kelak akan dimintakan pertanggung jawaban di pengadilan yang sesungguhnya.

Fakta yang ada, tersaji dengan terang-benderang. Bahkan janji kontra fakta juga terlihat dengan jelas. Tak ada alasan untuk tidak melihatnya. Tak ada pula alasan dengan cara apa pun untuk membenarkannya.

Semua terbuka di atas meja. Tapi anehnya, semua seperti tersamarkan. Bahkan ada yang berani memfatwakannya bahwa hanya Jokowi-lah yang terhebat memimpin negeri.

Coba simak lirik lagu Ebiet G Ade “Masih ada waktu”:

Kita dapat mencoba meminjam catatan-Nya
Sampai kapankah gerangan
Waktu yang masih tersisa
Semuanya menggeleng, semuanya terdiam,
semuanya menjawab tak mengerti
Yang terbaik hanyalah segera bersujud,
mumpung kita masih diberi waktu

Ya, mumpung masih ada waktu.

M. Nigara,
Wartawan senior,
Mantan Wasekjen PWI
https://opiniindonesia.com/2018/12/14/bukalah-matamu/