Showing posts with label Kampanye. Show all posts
Showing posts with label Kampanye. Show all posts

Wednesday, April 10, 2019

GBK dan Embrio People Power


Desas-desus, Pilpres akan rusuh. Apa pemicunya? Kecurangan! Ternyata, kekhawatiran itu bukan isapan jempol. Amien Rais, tokoh Reformasi 98 sudah memberi peringatan.

Tidak hanya Amien Rais, Prabowo Subianto juga sudah mengingatkan kepada timses dan para pendukungnya, agar di Pilpres 2019 ini bisa meraih kemenangan di atas 25 persen. Pasalnya, ada dugaan kuat pihak sebelah akan mencuri belasan persen suara.

Ini peringatan dari Prabowo. Sangat keras. Pesannya tegas: ada rencana kecurangan angka yang fantastis. Jika ini betul terjadi, dan Prabowo kalah karena faktor kecurangan itu, people power bisa meledak.

Prof Dr Amien Rais, Tokoh Reformasi 1998. (Foto: Liputan6.com)

Agus Ma'sum, tim BPN yang khusus menangani urusan Daftar Pemilih Tetap (DPT) mengaku telah menemukan 17,5 juta DPT invalid, ganda dan bermasalah. Berulangkali temuan ini kabarnya sudah dilaporkan ke KPU. Minta kepada KPU untuk melakukan pengecekan dan perbaikan. Tapi, laporan itu tak ditindaklanjuti.

Dugaan BPN, kasus 17,5 juta DPT seperti telah disengaja dan merupakan bagian dari desain kecurangan. Inilah yang membuat kecurigaan pihak BPN kepada KPU dan kepada rezim penguasa semakin kuat.

Apa yang diungkapkan Prabowo bahwa ada potensi pencurian belasan juta suara sepertinya bukan bualan belaka. Ada datanya, dan sudah berulangkali dilaporkan ke KPU. Ini langkah prosedural yang sudah dilakukan. Tapi, BPN menilai KPU tak serius merespon laporan dan protes itu.


Di sisi lain, ada pihak yang menuduh ucapan Prabowo itu “hoaks”. Istilah hoaks memang rajin muncul di era pilpres ini. Tapi, kemunculannya seringkali tak lebih dari manuver politik yang bertujuan untuk mendelegitimasi lawan. Dalam konteks ini, Prabowo jadi sasaran.

Harus juga disadari dengan obyektif bahwa tak jarang apa yang diungkap Prabowo terbukti. Soal 11.000 triliun uang Warga Negara Indonesia (WNI) disimpan di luar negeri misalnya. Itu hoaks, kata kubu Jokowi. Belakangan diketahui, bahwa Jokowi sendiri pernah menyatakan hal yang sama dan mengaku mengantongi datanya.

Begitu juga ketika Prabowo bilang ada 1000 triliunan kebocoran APBN. Lagi-lagi dituduh hoaks. Beberapa hari kemudian KPK mengungkapkan bahwa kebocoran APBN memang terjadi. Angkanya sekitar 2000 triliun. Lagi-lagi, apa yang diucapkan Prabowo bukan isapan jempol.


Istilah “hoaks” di musim Pilpres sering jadi istilah yang bermuatan politis. Tak menunjukkan substansi dan makna aslinya. Tak lebih dari manuver politik untuk saling mendeligitimasi lawan. Dalam konteks ini, Prabowo jadi korbannya.

Strategi menebar hoaks, atau meng-hoaks-kan data yang belum terverifikasi, apalagi data itu ternyata terbukti benar, merupakan langkah politik yang tak semestinya dilakukan oleh siapapun dan dari kubu manapun.

Ini akan melukai kejujuran dan merusak standar kebenaran. Kita berharap, semua strategi politik yang dilakukan oleh masing-masing kubu baik 01 maupun 02 tetap tidak keluar dari pakem moral yang dimiliki oleh bangsa ini.

Kalau kejujuran dan kebenaran menjadi standar dalam membangun demokrasi di Pilpres 2019 ini, maka tak akan ada money politics. Tak akan ada intimidasi dan mobilisasi aparat-ASN. Tak ada lagi bagi-bagi sembako dan amplop. Tak akan ada 17,5 juta DPT yang bermasalah. Ini adalah praktik-praktik a-moral yang telah merusak demokrasi.


Jika pelanggaran kampanye yang masif itu tak segera dihentikan, dan kecurangan terbukti telah secara signifikan menjadi faktor kemenangan paslon tertentu, siapapun pemenang dalam Pilpres kali ini, potensi rusuh akan sangat besar.

Terutama jika paslon nomor 02 kalah, bukan karena selisih jumlah suara, tapi karena adanya kecurangan yang terukur dan bisa dibuktikan, maka people power hanya menunggu waktu.

Ah, itu kan karena mereka tak siap kalah. Stop! Jangan anggap remeh soal ini. Mari kita lihat fakta-fakta di lapangan, pelanggaran kampanye itu nyata dan masif. Bahkan dianggap telah melampaui batas. Sesuatu yang melampaui batas itu berpotensi menjebol dinding pertahanan batin rakyat.

Kita bisa saksikan hari ini di GBK, jutaan pendukung Prabowo dari berbagai wilayah hadir. Arak-arakan motor dari Solo, konvoi mobil dari Bandung, para pejalan kaki dari Surabaya dan Ciamis, Sewa sejumlah pesawat dari luar Jawa. Massa betul-betul militan dan bisa dimobilisasi. Hari ini jutaan rakyat berhasil memutihkan kawasan Senayan dan sekitarnya. Ini unjuk kekuatan yang tak boleh dianggap remeh.


Apakah mereka hadir karena digerakkan oleh cintanya kepada Prabowo? Sebagian mungkin iya. Tapi rasa kecewa dan marah kepada rezim penguasa hampir dipastikan sebagai alasan yang paling dominan. Marah, bukan saja karena faktor ekonomi dan semua masalah yang terkait pengelolaan pemerintahan, tapi juga perilaku politik rezim penguasa yang oleh mereka dianggap terlampau represif. Dan nampaknya, tak cukup waktu tersisa lagi bagi kubu Jokowi untuk meredam kemarahan rakyat itu.

Anda bisa bayangkan, jika kecurangan terbukti dan mereka tak terima, mungkinkah people power bisa dihindari? Karena itu, hentikan segala bentuk kecurangan dan praktik-praktik kampanye yang melanggar, jika kita ingin Pilpres aman. Hanya itu caranya. Tak ada cara yang lain. Siapapun yang akan jadi pemenang, jika Pilpres jurdil, pasti akan diterima oleh semua pihak. Rakyat niscaya akan legowo.

Kita semua ingin Pilpres ini aman dan damai. Untuk sampai pada harapan itu, syarat utama, kejujuran dan keadilan harus dipastikan hadir dalam Pilpres kali ini. 17,5 juta DPT mesti diperbaiki. KPU, Bawaslu dan aparat harus netral, dan tak ada mobilisasi ASN. Bagi-bagi sembako, amplop dan rekayasa dana bantuan dari APBN dan BUMN, harus dihentikan. Jika tidak, tak terbayang bagaimana keadaan negeri ini pasca Pilpres. GBK akan betul-betul bisa jadi embrio bagi lahirnya people power.

Tony Rosyid
Pengamat politik
Kumparan.com, 7 April 2019
https://kumparan.com/tony-rosyid/gbk-dan-embrio-people-power-1qqCldot7Uu

Friday, December 14, 2018

Bukalah Matamu!


Mulai agak meroket September, Oktober. Nah, pas November itu bisa begini (tangan menunjuk ke atas),” kata Jokowi di Istana Bogor, Rabu 5 Agustus 2015. (banyak media cetak dan televisi menjadi saksi).

Keinginan untuk subsidi BBM, saya kira tidak ada masalah. Subsidi bagi rakyat kecil adalah sebuah keharusan,” ujar Jokowi menanggapi permintaan para tukang ojek, di Jl. Borobudur 18 (16/6/2014, Republika).

Klausulnya jelas, Indosat bisa diambil kembali, hanya belum kita ambil. Kuncinya hanya satu, kita –buy back–, kita beli kembali. Tapi ke depan ekonomi harus tumbuh 7 persen,” janji Jokowi. (22/6/2014, Tempo.com).

Kita harus berani stop impor pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok,” kata Jokowi di Gedung Pertemuan Assakinah, Cianjur, Jawa Barat, Rabu (2/7/2014, Kompas.com).

Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. Menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun,” jelasnya saat ditemui di Gedung DPR, Selasa (3/6/2014, Liputan 6).


Janji adalah hutang
Hasilnya? Hingga November 2017 dan November 2018, meroket yang dimaksud tak pernah kunjung terjadi. Keharusan subsidi bagi rakyat kecil yang disampaikan dihadapan para tukang ojek itu bukan hanya dicederai, tapi malah diberi beban yang amat dahsyat. Meski baru empat tahun memerintah, Jokowi bukan hanya mencabut, tapi sudah 12 kali menaikkan harga BBM. Padahal tukang ojek itu ibaratnya mereka ‘bernapas’ dengan BBM.

Tentang janji –buy back– Indosat yang dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi 7 persen, itu pun jauh dari kenyataan. Bahkan tragisnya, pemerintah justru sedang bersiap-siap melego aset-aset Pertamina. Itu sebabnya ribuan karyawan Pertamina, jumat (20/7/18) lalu, melakukan demo. Jika masih nekad, maka puluhan ribu karyawan Pertamina akan mogok.

Lalu, soal impor macam-macam: beras, daging, sayur, buah, kedelai yang secara berapi-api dikatakan akan distop, faktanya? Jokowi menikmati impor-impor berikutnya. Petani, nelayan, pedagang mengalami kesulitan dan mereka sama sekali tidak dihiraukan. Jutaan ton beras diimpor dengan tenang.


Terkait hutang yang juga dengan gagah perkasa dikatakan tidak akan dilakukan lagi, nyatanya? Per-Mei 2018 melonjak Rp 4.180 triliun. Menurut RMOL.co, hutang Indonesia memasuki babak paling beresiko.

Masih sederet janji yang tak ditepati. Anehnya orang seperti Denny Siregar masih membelanya. Lebih tepat memujanya seakan ia mampu menutupi seluruh fakta yang ada.

Dan membuat orang seperti Kapitra Ampera yang selama ini berada dalam barisan perjuangan bela ulama, terseret ke gelombang kekuasaan hingga mau berada dalam lingkaran itu, meski janji penguasa dan fakta tak dipenuhi.

Bahkan ulama sekelas TGB pun seolah dibutakan dengan apapun alasan yang ia kemukakan, faktanya ia secara sadar berpaling ke tempat yang seharusnya dikritisi. Apalagi dia memiliki basis agama yang kuat.

Bahkan ucapan-ucapannya seolah menjadi pembenar perbuatan yang tak sama antara janji dengan kenyataan. Janji dalam agama mana pun bisa dikatagorikan dengan hutang. Dan hutang, hukumnya wajib dibayar.


Mendukung dan memilih memang menjadi hak privat, hak yang dilindungi undang-undang. Tapi, menafikan fakta-fakta yang ada, sungguh tak bisa dipahami akal sehat. Dan, kelak akan dimintakan pertanggung jawaban di pengadilan yang sesungguhnya.

Fakta yang ada, tersaji dengan terang-benderang. Bahkan janji kontra fakta juga terlihat dengan jelas. Tak ada alasan untuk tidak melihatnya. Tak ada pula alasan dengan cara apa pun untuk membenarkannya.

Semua terbuka di atas meja. Tapi anehnya, semua seperti tersamarkan. Bahkan ada yang berani memfatwakannya bahwa hanya Jokowi-lah yang terhebat memimpin negeri.

Coba simak lirik lagu Ebiet G Ade “Masih ada waktu”:

Kita dapat mencoba meminjam catatan-Nya
Sampai kapankah gerangan
Waktu yang masih tersisa
Semuanya menggeleng, semuanya terdiam,
semuanya menjawab tak mengerti
Yang terbaik hanyalah segera bersujud,
mumpung kita masih diberi waktu

Ya, mumpung masih ada waktu.

M. Nigara,
Wartawan senior,
Mantan Wasekjen PWI
https://opiniindonesia.com/2018/12/14/bukalah-matamu/

Friday, May 30, 2014

Pagelaran Sudah Cukup


Akhirnya pilihan partai-partai politik mengerucut ke dua kelompok. Partai Demokrat memilih untuk berdiri sendiri. Maka rasanya cukup lengkap sudah kita berwacana-wacana tentang para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) karena semakin banyak bicara, akan makin membuka kesempatan timbulnya keraguan atau munculnya kampanye hitam. Yang pada tahap ini rasanya menjadi tidak fair lagi, dan hanya membuat rakyat semakin bingung.

Ini bukan kontes Indonesian Idol demi mendulang suara. Karena sekalipun selalu dikatakan rakyat sudah cukup pandai, tetapi jangan sampai mereka menjadi korban hasutan yang merugikan masa depan bangsa ini.

Yang dikonteskan sebaiknya platform dan program setiap kelompok sehingga rakyat mendapat pilihan yang adil, tanpa harus diobok-obok lagi emosinya tentang masalah-masalah pribadi sehingga kembali melangkah mundur.


Misalnya, salah satu yang ramai dikampanyekan selama 2014 ini adalah soal ekonomi kerakyatan. Karena membawa nama “rakyat” tentu rakyat ingin lebih tahu tentang maksud istilah itu, sekalipun istilah itu sudah dipakai sejak zaman Bung Hatta pada awal-awal merekahnya Republik ini.

Istilah semula adalah “ekonomi rakyat” yang kemudian saat ini berubah menjadi “ekonomi kerakyatan”. Bung Hatta ingin memopulerkan sistem itu dengan hadirnya sistem koperasi. Masyarakat masa kini, yang tidak terlalu mafhum sejarah ekonomi waktu itu, tentu tidak tahu apakah sistem koperasi itu berjalan sesuai yang diharapkan atau tidak. Sekalipun di Belanda sistem itu boleh dikatakan sukses besar.

Keraguan tentang pengejawantahan sistem ekonomi kerakyatan bisa menimbulkan tanda tanya, apakah akan ada hubungannya dengan nasionalisasi, seperti yang akhir-akhir ini diasumsikan? Sebab, dengan perkembangan ekonomi dunia seperti sekarang, sikap dan tindakan yang bisa menimbulkan kesalahpahaman sebaiknya memang harus dihindari.


Peran pemerintah
Berbeda dengan sistem pasar bebas sepenuhnya (kapitalisme liberal), dalam sistem ekonomi kerakyatan tentunya pemerintah akan memainkan peran yang semakin aktif dalam mengadakan perubahan pada sistem yang selama ini berlaku. Memang, sekalipun tidak harus dengan menjalankan nasionalisasi secara serampangan yang akan merusak tertib ekonomi yang sudah dibangun selama ini, sesuai dengan UUD kita, hadirnya pemerintah makin diperlukan demi memenuhi hajat hidup orang banyak.

Ini mengindikasikan bahwa pemerintah akan lebih banyak berperan tentang alokasi sumber-sumber daya yang ada. Alasannya, sumber daya di bumi pertiwi faktanya makin menipis, sementara itu ledakan penduduk menuntut penyediaan pangan yang lebih besar dan dibarengi dengan tuntutan pemerataan pendapatan. Peningkatan jumlah penduduk yang makin mendekati seperempat miliar tentu saja tidak bisa diabaikan.

Dalam kaitan itu, sektor swasta perlu lebih banyak bekerja sama dengan pemerintah dalam menetapkan prioritas penanaman modal dan sekaligus merumuskan kebijakan teknologi yang lebih tepat, mengingat menurunnya kinerja sektor industri. Untuk menciptakan 'orde baru' lagi di bidang perekonomian nasional memang diperlukan perubahan besar-besaran, yang didukung kebijakan dan kebijaksanaan nasional yang lebih mengutamakan pemerataan kekayaan dan penghasilan masyarakat.

Karena kekayaan maupun kekuasaan selalu bersifat terbatas, perlu ada aturan tentang cara mendistribusikan hal-hal tersebut secara fair, transparan dan adil. Karena selalu saja ada oknum atau kelompok yang serakah dan ingin memonopoli sendiri dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Maka peraturan yang transparan dan tegas selalu diperlukan demi ketertiban, lebih-lebih memang tidak ada keberlimpahan yang sifatnya terus-menerus abadi.

Walaupun ada yang mengatakan, keterbatasan selalu menimbulkan ketimpangan distribusi, namun pendapat itu masih harus diragukan kebenarannya. Kenyataannya, manusia yang masih merasa memiliki sumber daya sebanyak yang memuaskan hatinya pun, mereka yang serakah tetap tidak peduli akan kebutuhan orang-orang lain.


Mengapa ramalan selalu meleset ?
Sekitar tiga dasawarsa yang lalu kita pernah diramalkan oleh Arlington Forecasting International Company bahwa antara tahun 1996-2005, Indonesia akan menjadi negara ke-7 termaju setelah Australia, Amerika, Kanada, Inggris, Swedia dan Jerman Barat. Kabar semacam itu tentu saja menggembirakan karena memberikan sebentuk harapan kemajuan yang cerah. Konon kesimpulan itu adalah hasil olahan komputer lembaga tersebut setelah mendapat 64 indikator, lebih dari 200 tren, dan lebih dari 3.500 peristiwa. Semua berkaitan dengan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan energi.

Kini kita semua tahu, bahwa ramalan itu terbukti jauh meleset! Ramalan kesuksesan Indonesia bukan pertama kali itu diadakan. Masalahnya agar bisa terprogram sesuai dengan kebutuhan maka komputer memerlukan data masukan yang tepat dan akurat. Yang menjadi pertanyaan, apakah indikator pendidikan masyarakat Indonesia waktu itu telah masuk dalam sistem pengolahan komputernya?

Kesulitan-kesulitan praktis dan normatif strategi pendidikan, maupun biayanya yang luar biasa besar, menuntut penelaahan sistem yang ada. Dan pertanyaan selanjutnya adalah; mana yang lebih penting bagi Indonesia, apakah pendidikan yang bertitik berat pada sejarah dan falsafah serta perkembangan kecerdasan pada umumnya, atau bertitik berat pada ketrampilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya?


Faktanya, sistem pendidikan kita disusun oleh kalangan menengah ke atas yang tidak pernah secara langsung merasakan pendidikan macam apa yang sebenarnya diperlukan oleh rakyat jelata sehingga memungkinkannya untuk bisa melakukan mobilitas ke atas (vertikal). Fakta lain, masih banyak pula yang beranggapan bahwa memiliki kredensial seperti ijazah, gelar, atau sertifikat akan menjamin kesempatan dan penempatan kerja.

Tenyata tidak. Dengan kredensial yang sama, anak dari kalangan menengah ke atas akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan; sebab sikap dan perangai seseorang, yang juga merupakan persyaratan penting untuk dapat bekerja, terbentuk bukan di ruang kelas. Jadi ditinjau dari segi ketenagakerjaan, pendidikan formal yang sifatnya umum, dengan demikian tidak selalu menguntungkan bagi anak-anak rakyat jelata.

Semestinya, ada sistem yang membuat pemerataan pendidikan informal di kalangan anak-anak dari segenap lapisan sosial. Antara lain, misalnya, gerakan pramuka dan pandu, atau ormas pemuda dan pelajar yang benar-benar tumbuh dari masyarakat, yang pernah populer di era orde lama, sehingga bisa menjadi sarana mengurangi ketimpangan pergaulan sosial.

Toeti Prahas Adhitama,
Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 23 Mei 2014

Sunday, September 27, 2009

Dinasti Soeharto Berlanjut Lagi ?


Pasca pemilu, apapun yang terjadi, analisa mendalam perlu diambil demi masa depan bersama. Ibarat mengedit sebuah film berjudul Pemilu 2009, saya harus memutuskan dari mana film dimulai, dan di mana film itu berakhir, dengan meninggalkan sebuah pesan kepada penontonnya. Film tersebut kita tonton bersama lalu kita coba menangkap pesan dari film tersebut, pesan itu menjadi bahan referensi bagi kita bersama, untuk melangkah ke film seri berikutnya.

Di tengah proses editing, ternyata saya merasa perlu menampilkan flashback atau cuplikan-cuplikan film, 5 bahkan 10 tahun yang lalu. Bahkan lebih dari itu, karena sesungguhnya, sejarah masa kini dan yang akan datang, adalah sebuah sinetron kehidupan yang perlu dilihat secara keseluruhan, jika kita ingin memahami film tersebut secara utuh.

Beberapa bulan sebelum pemilu legislatif, beberapa talkshow menampilkan topik visi misi partai secara proporsional, mungkin semua partai peserta pemilu mendapat kesempatan yang sama dalam menyampaikan visi misinya. Dan semua visi misi partai (selain Partai Demokrat) adalah kritik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan, tidak terkecuali visi misi partai PAN, PKS, PKB dan PPP, (empat partai yang kemudian ternyata berkoalisi dengan partai yang dikritiknya). Semuanya mengkritik kinerja pemerintahan yang sedang berjalan.


Materi kritik antara lain tentang hutang yang terus bertambah, pengelolaan sumber daya alam dan pembagian hasilnya yang selalu lebih menguntungkan pihak asing. Ada pula yang menyinggung tentang sumber dana kampanye yang belum transparan yang memungkinkan dana asing masuk dengan konsekuensi yang diperkirakan akan merugikan rakyat Indonesia.

Ajakan untuk kembali ke konstitusi UUD ‘45 adalah salah satu solusi yang mereka tawarkan waktu itu, salah satunya pasal 33 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam oleh Negara dan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ibarat pertempuran dunia persilatan, Partai Demokrat dikeroyok rame-rame oleh para pengkritiknya.

Namun apa yang terjadi setelah pemilu legislatif usai dan dimenangkan oleh Partai Demokrat? PKB dan PPP tanpa pikir panjang langsung merapat untuk berkoalisi dengan partai yang beberapa bulan sebelumnya mereka kritik itu. Khusus PAN dan PKS beberapa saat mengalami pergolakan internal antara kubu yang memilih untuk tidak berkoalisi vs kubu yang menganggap koalisi merupakan pilihan yang lebih bijak.

Kemudian kedua partai tersebut mengajukan cawapres, mungkin dengan maksud untuk mengawal kebijakan-kebijakan presiden terpilih di masa datang. Sambil menunggu jawaban, kedua partai dengan sekuat tenaga mencoba meredam konflik internal partai masing-masing.

Tanpa mereka sadari cawapres yang mereka tawarkan ternyata tidak pernah sedikit pun diperhatikan, apa lagi dipertimbangkan untuk diterima. Jauh sebelum keputusan itu diambil, SBY mengatakan sudah mengantongi sebuah nama, namun baru akan ia buka pada saatnya nanti.

Saya baru sadar sekarang, strategi untuk terus memberi harapan kepada kedua partai tersebut adalah sebuah strategi jitu untuk tetap memegang buntut PKS dan PAN agar supaya tidak lari ke partai atau koalisi lain.


Satu lagi kemungkinan yang hampir pasti, alasan SBY menunda pengumuman cawapres pilihannya adalah untuk menghindari manuver The King Maker “Amien Rais” yang sangat ditakuti lawan-lawan politiknya. Sampai pada hari terakhir pendaftaran calon presiden pada pukul 7 malam, yang artinya tinggal 12 jam sebelum hari H, barulah nama Boediono muncul.

Dan benar perkiraan Demokrat, ada perlawanan dari PAN mupun PKS, tapi sudah tidak cukup waktu lagi bagi mereka untuk berimprovisasi. The King Maker Amien Rais pun tidak bisa lagi melakukan manuvernya.

Kampanye pun akhirnya dilakukan oleh semua capres dan cawapres. BLT adalah senjata pamungkas Partai Demokrat. Penawaran yang lebih bagus dari BLT yang ditawarkan oleh partai lain, karena waktu yang terlalu singkat membuat tawaran menarik itu tak sempat terdengar oleh seluruh rakyat.

Banyak yang menganggap tim sukses pemenang pemilu mempunyai strategi yang hebat, bagi saya mereka biasa-biasa saja. Kalau kita lihat data BPS, lebih dari 60% rakyat Indonesia adalah rakyat miskin, sebagian besar malah tinggal di pedesaan, alhasil waktu menonton televisi mereka tidak banyak, karena waktu mereka sudah habis untuk bekerja mencari sesuap nasi.

Ditambah lagi TV nasional kita yang belum 100% independen, buktinya banyak iklan Mega Pro yang ditolak. Pola pikir mereka simple saja, pilih lagi SBY, maka BLT dilanjutkan. Mereka tidak tahu kalau sebenarnya dana BLT hanya sampai bulan September atau Oktober saja, seperti yang dengan jujur diakui oleh tim sukses SBY dalam salah satu acara di Metro TV seusai pemilu Pilpres.


Bagi saya pada saat BLT dibagikan di situlah kampanye partai Demokrat sudah dimulai. Itulah sebabnya survey yang dilakukan sebelum pemilu oleh beberapa lembaga menunjukkan tingkat elektabilitas SBY yang tinggi. Dan elektabilitas yang tinggi itu perlahan-lahan menurun seiring dengan penyampaian visi misi partai-partai lain yang mencoba mencerahkan kepada publik tentang bagaimana keadaan Indonesia apa adanya.

Yang menarik, elektabilitas JK menjelang pemilu menunjukan grafik yang menanjak naik cukup cepat. Bahkan salah satu penyelenggara survey mengatakan, jika pemilu diundur beberapa bulan lagi, kemungkian JK bisa menang. Bila itu yang terjadi, berarti kampanye Golkar sebenarnya sukses, dengan pertimbangan, dalam waktu singkat bisa mempengaruhi elektabilitas SBY yang dibangun jauh sebelum Pemilu, yakni pada saat BLT mulai dibagikan.

Khusus mengenai BLT saya yakin itu adalah ciptaan JK, karena saya meliput pembahasannya sekitar 3 tahun lalu, dan master filmnya pun mungkin masih ada di Kantor Pos Pusat dekat Lapangan Banteng. Tapi design JK tentang BLT waktu itu dananya diambil dari penghematan dana subsidi BBM, bukan dari pinjaman asing seperti temuan BPK belakangan ini.

Tapi sekali lagi rakyat miskin tidak punya waktu untuk memikirkan siapa yang menciptakan BLT dan dari mana sumber dana BLT, yang ada dalam benak mereka adalah simple saja, pilih lagi SBY maka BLT dilanjutkan.

Rakyat miskin pun tidak punya waktu memikirkan kontrak karya pengelolaan sumber daya alam kita yang lebih meguntungkan pihak asing, mereka juga tidak terlalu memikirkan hutang Negara yang bertambah 400 triliun seperti yang diinformasikan oleh Rizal Ramli, salah satu capres independen. Padahal hutang itu akan membebani kita semua hingga ke anak cucu kita di kemudian hari, dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan barang lain pada umumnya sebagai akibat berkurangnya subsidi untuk membayar hutang.


Singkatnya, mereka juga tidak percaya pada janji-janji capres lain yang sesungguhnya lebih bagus dari sekedar BLT. Mereka lebih percaya dengan apa yang sudah dan sedang berjalan yaitu BLT.

Satu lagi imajnasi saya tentang kemenangan Demokrat, baik pada Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009 adalah, mungkin … sebenarnya yang mewarisi tahta Dinasti Soeharto adalah SBY, bukan Golkar, dan apalagi Prabowo mantan mantunya. Khusus di tahun 2004, saya yakin sekali Soeharto waktu itu masih merupakan tokoh yang bisa menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin Indonesia. Ibarat organisasi mafia di Itali, ia masih merupakan Godfather yang dari tempat tidurnya bisa mengatur pergerakan para pengikutnya.

Saya teringat dalam suatu talkshow-nya AA Gym, saat AA Gym sebagai presenter menanyakan apakah SBY akan mengusut kasus Soeharto, baik itu penelusuran hartanya di luar negeri maupun kasus-kasus yag lainnya? Pada waktu itu SBY diam saja, tidak menjawab! Bahkan beberapa detik sempat terjadi … hening … tanpa ada suara, sebelum akhirnya AA Gym menegur, “ Halo, halo pak … kok diem?” SBY tetap diam dan akhirnya iklan masuk sebagai penyelamat dan mencairkan suasana yang kaku. Dan setelah iklan berlalu AA Gym mengalihkan pertanyaan ke topik yang lain. Bukti lainnya adalah di kedua Pemilu baik tahun 2004 maupun 2009, Demokrat selalu menang di daerah Cendana.

So, kalau benar prediksi saya, tanpa Amien Rais sadari, dan juga mungkin tanpa PKS sadari, mereka telah berkoalisi dengan pewaris tahta musuh lamanya di kala reformasi. Menurut saya sebaikya kedua partai itu berkoalisi dengan Golkar “Baru” atau dengan Gerindra. Namun sayang sekali, seperti yang telah saya uraikan di atas, mereka semua kini sudah terjerat dan kehabisan waktu untuk berimprovisasi.


Akhir kata saya ingin mengingatkan kepada rekan-rekan sebangsa dan setanah air, bahwa seburuk apapun pemerintahan yang ada sekarang, yang menjadi musuh kita adalah their mind, pola pikirnya, sedang orang-orangnya adalah tetap saudara sebangsa yang mesti kita cintai juga. Pertanyaannya sekarang, bisakah kita berperang dengan their mind tanpa melukai orang-orangnya? Demi persatuan dan kesatuan bangsa, jawabnya adalah: harus bisa!!!

Dan mungkin juga demikianlah yang ada dalam benak saudara-saudara kita di PAN dan di PKS, mereka akan mengkoreksi dari dalam. Betapapun sulitnya mereka pasti akan mengeluarkan segenap kemampuannya demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh beberapa partai oposisi untuk selalu mengontrol dengan ketat jalannya pemerintahan.

Dan semua yang mereka lakukan itu pastilah demi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dengan tanpa melupakan Persatuan Indonesia. Semoga begitu.
Amiiin ….
Wassalam.

Rudi Imam, 14 Juli 2009
http://rudiimam.blogdetik.com/2009/07/14/dinasti-soeharto-berlanjut-lagi/